Pemilu Tempat Mengadu Harapan, tapi Saya Justru Kehilangan Paman
Dalam submisi Open Column ini, Muhamad Kusuma Gotansyah mengingat peristiwa tragis yang menimpa pamannya serta 894 petugas KPU lain yang menjadi korban pesta demokrasi dan bagaimana peristiwa itu membuatnya menjadi apatis.
Words by Whiteboard Journal
Belakangan ini, belajar untuk percaya tampak sebagai pilihan yang mudah. Saat menumpangi ojol untuk ke kampus, melewati kerumunan baliho monoton dari depan rumah sampai gerbang perumahan, aku sempat berpikir, apakah harus belajar percaya—percaya, kepada salah satu wajah tersebut? Percaya… kepada demokrasi? Alangkah indahnya jika kepercayaan pada bolongan paku di atas sebuah kertas bergambar orang-orang yang mungkin tidak begitu kita kenal bisa membukakan jalan untuk pembaruan, perbaikan, kesejahteraan, kesetaraan. Betapa hebatnya jika kepercayaan pada muka-muka kaku beresolusi rendah di pinggir-pinggir jalan dapat membuahkan hasil yang menakjubkan. Bayangkan dunia yang sesempurna itu, di mana pemilihan umum dapat menghasilkan kemenangan yang berpihak pada kebaikan. Berpihak pada kelemahan, pada ketertindasan, pada kematian.
*****
Menjelang Pemilu 2014, J meninggal dunia. Jasadnya ditemukan di samping rel kereta api. J meninggalkan istrinya dan tiga orang anak perempuan yang masih dalam usia sekolah formal. J adalah seorang petugas Komisi Pemilihan Umum (KPU). Sebelumnya beliau bekerja di pemerintahan. J lulusan APDN dan punya ikatan dinas. Di setiap tempat kerjanya, J dikenal sebagai pekerja yang tekun, berdedikasi tinggi, teliti, dan jujur. Kebetulan, beliau juga pamanku.
Kabar kepergian J mengagetkan keluarga besar. Waktu itu kami sempat bertemu dengan keluarga almarhum. Ibu mengenang masa-masa pascareformasi, di saat suaminya, ayahku, di-PHK. Pada suatu hari di masa-masa itu, J pernah mendatangi rumah Ibu sambil membawa sejumlah uang lemburnya. Adik tiri Ibu itu merasa punya rezeki lebih, lalu berniat ingin membantu Ibu dan ayahku menghadapi waktu-waktu sulit. Kata Ibu hari itu hujan deras. J muncul di depan rumahnya basah kuyup, membawa sebuah tas yang berusaha ia jaga agar tetap kering dengan menyembunyikannya di balik jaket. Istri J punya cerita lain. Ia ingat dengan sebuah tugas sekolah anak sulungnya di mana murid-murid disuruh menulis tentang kedua orang tua masing-masing. Anak sulungnya menulis bahwa ayahnya, J, bisa memasak berbagai makanan enak. Sementara ibunya, menurutnya, adalah seorang dosen yang pintar tetapi punya kemampuan memasak yang sangat buruk.
Ibu dan istri J terus berbagi cerita, menggali-gali kenangan baik tentang J untuk menyembuhkan duka. Upaya ini terasa berhasil, namun istri J dan ketiga anaknya merasa duka yang menggelayut itu perlahan berubah jadi rasa penasaran, dan tidak butuh waktu lama untuk menjelma teror.
Tidak ada kenangan baik yang bisa menutup-nutupi kenyataan bahwa J, pamanku, adik tiri Ibu, seorang suami dan ayah dari tiga anak perempuan, mati dengan tidak wajar. Beliau terkapar di rel kereta api dan diduga bunuh diri. Beberapa hari sebelum J meninggal, istrinya mendapati kelakuannya agak mencurigakan. J kerap terbangun tengah malam, terlihat ketakutan, dan dengan penuh kewaspadaan memeriksa pemandangan di luar jendela lewat celah gorden. Saat istrinya mengantarkan J pakai mobil ke tempat kerjanya, J sempat ketakutan dan memohon untuk ganti arah. Ia juga sering mengintip ke belakang mobil, atau tepatnya ke tempat duduk belakang, seolah ada seseorang yang menguntitnya.
Menurut istrinya, J tampak sangat ketakutan di hari-hari terakhirnya. Tepat di hari ia meninggal dunia, J pamit dengan istrinya untuk sholat Jumat. Tidak lama setelah itu terdengar kabar ada jasad seorang laki-laki di samping rel kereta api. Jasad itu adalah J.
Semuanya terjadi sejak J menjadi petugas KPU. J menjabat di saat Indonesia sedang sibuk menyambut perayaan pesta demokrasi lima tahunannya. Ia tahu tanggung jawabnya sangat berat di lingkungan tersebut, tetapi ia juga yakin bahwa pekerjaan barunya itu akan sangat mencukupi keluarganya dalam hal finansial. J adalah orang yang sangat jujur, dan kejujurannya itulah yang menjadi awal dari akhir hidupnya yang tragis. Suatu malam, J mengaku pada istrinya bahwa ia ditawarkan uang dalam jumlah yang sangat, sangat besar, untuk memenangkan salah satu paslon. Ia juga mengaku, bahwa ia menolak tawaran tersebut mentah-mentah. ”Indak namuah den doh. Bahayo ko mah, urusan sugo narako,” ucap J pada istrinya malam itu.
Istri J bersyukur—mungkin ‘bersyukur’ istilah yang sangat aneh—bahwa jasad suaminya masih bisa ditemukan, dan oleh karena itu sebuah proses pengebumian yang layak masih bisa dilaksanakan. Tidak lama setelah pengebumian J, anak sulungnya, yang menyukai masakan-masakan enaknya itu, melihat sosok bayangan hitam besar, seolah memantau di pojokan rumah, atau dekat jendela. Istri J menyadari tingkah laku anak sulungnya yang menjadi aneh. Lama kelamaan anak bungsu dan tengahnya juga melihat hal-hal yang sama. Istri J pun, mulai merasa ada teror yang pelik menggentayangi rumah mereka.
Ketiga anak J dan ibu mereka pindah rumah beberapa waktu kemudian. Mereka tidak mau dilakukan penyelidikan lanjut, mereka juga enggan menjadikan kematian J bahan gorengan media. Hidup mereka mulai membaik perlahan, namun apa yang terjadi dengan J, serta hal-hal yang mengikutinya, tidak akan pernah mereka lupakan.
Aku juga tidak pernah melupakan hal tersebut. J pamanku. Peristiwa itu terjadi di saat aku masih SMP. Pelajaran pertamaku tentang ‘politik di luar buku paket’, adalah kematian seorang kerabat yang banyak menimbulkan tanda tanya. Aku belajar bahwa uang punya derajat yang lebih tinggi dari kejujuran, apalagi nyawa. Bagi seorang anak SMP, hal ini sangat mengejutkan. Bahwa politik, demokrasi, dan hal-hal lain yang membuntuti keduanya, bisa disederhanakan menjadi sebuah permainan uang. Bagi seorang anak SMP, hal ini sangat menakutkan.
Tahun 2019 aku memasuki umur di mana aku sudah bisa menggunakan hak pilihku dalam pemilu. Tahun itu juga tahun jahanam untuk ‘politik’ dan ‘demokrasi’ di ‘Indonesia’. Demonstrasi-demonstrasi yang memakan banyak nyawa tidak bersalah, brutalitas polisi terhadap orang-orang lemah, yang juga mencakup anak-anak, Pemilu ulang, politik identitas yang menggila, hingga salaman baik-baik di stasiun MRT adalah beberapa peristiwa yang bisa kuingat. Tahun itu menjadi pelajaran keduaku: kurang lebih Pemilu memang mirip dengan pemilihan ketua OSIS di saat aku SMA dulu, di mana calon yang gagal masuk ruang OSIS tidak menjadi oposisi, melainkan menjadi pacar ketua OSIS terpilih.
Tahun itu, lewat berita, aku juga mengetahui bahwa banyak orang-orang yang bertugas di bawah KPU meninggal dunia, konon karena kelelahan. Jika beritanya dicari di Google, angka yang sering muncul di judul-judul berita mencecah 894 nyawa, angka yang sangat tidak sedikit. Tepatnya, tidak ada kehilangan nyawa tak bersalah dan tanpa kejelasan yang bisa dianggap sedikit. Berita tentang kematian-kematian itu menghilang ditelan waktu. Pesta demokrasi berlangsung meriah dan nyawa-nyawa itu pun tampak lebih baik dilupakan saja dulu. Tahun itu aku ingat pamanku, J. Tahun itu aku tidak menggunakan hak pilih perdanaku.
*****
Merak Terbang: Melayani Rakyat, Terbukti Berjuang. Tulisan itu menemani foto seorang bapak-bapak berpakaian putih dan berpeci, berpose dengan kedua telapak tangan bertemu, seperti emoji Whatsapp yang populer itu. Foto dan tulisan itu ada pada sebuah baliho di atas sejalur got yang beberapa minggu sebelumnya dirombak dan disemen untuk diperbaiki.
Aku selalu ingat pamanku J setiap berjalan melewati baliho-baliho, stiker-stiker di tiang listrik, poster-poster di dinding-dinding warga, yang memperlihatkan wajah-wajah tersenyum, dengan pose khas masing-masing, dan catchphrase masing-masing yang kadang katro dan kadang norak. Aku juga ingat 894 orang yang tidak aku kenal, yang konon meninggal karena keletihan pada perayaan demokrasi lima tahun lalu.
Kenangan akan kepergian pamanku J membuatku apatis. Aku merasa tidak akan ada perubahan sampai kapan pun. Demokrasi itu bullshit, dan semuanya toh akan hancur juga. Kiamat sudah dekat, dan tidak ada yang bisa dilakukan ketika hal itu terjadi. Mencolok wajah favorit di kertas suara tidak akan mengubah apa-apa.
Walau begitu, ajakan untuk belajar percaya menggaung-gaung di setiap sudut. Tidak percaya sama A? Wajar! Makanya percaya sama B saja. B itu masih banyak masalah, lebih baik percaya pada C yang jelas keberpihakannya. Padahal, D punya prinsip yang lebih kuat, dan lebih layak untuk dipercaya. Setali tiga uang dengan harapan, kepercayaan tampaknya juga menjadi mainan asyik demokrasi.
Aku adalah pelajar yang buruk. Pelajaran soal percaya-percayaan ini kadang berakhir dengan tidak percaya pada apa-apa dan siapa-siapa. Aku hanya kepikiran tentang pamanku J, dan juga mungkin 894 orang yang konon meninggal karena (lagi-lagi, konon) keletihan itu. Ketika ada caleg-caleg yang membantu melunasi tunggakan BPJS orang-orang, apakah pamanku J bisa percaya bahwa mereka tidak menyuap orang-orang yang ia tolong dengan uang melimpah untuk kelak memilihnya?
Ketika ada baliho yang membawa-bawa ‘keturunan asli’ dan ‘pejuang rakyat’, apakah pamanku J bisa percaya bahwa mereka tidak akan meneror sebuah keluarga kecil secara fisik maupun mental, untuk mencapai keinginan mereka?
Ketika ada partai muda yang menolak memperlihatkan dukungannya pada pasangan calon mana pun sambil mempertunjukkan prinsip-prinsip yang tampak menarik, serta memperagakan etika berpolitik yang bijak dan segar, apakah pamanku J bisa percaya bahwa mereka tidak akan mendorong seseorang dari kereta api yang sedang melaju demi memperlancar urusan mereka? Aku tidak tahu apakah tahun ini akan menjadi pelajaran ketigaku atau tidak.