Padi Menunduk Bila Berisi, Netizen Beropini demi Sensasi
Pada submisi Open Column kali ini, M. Dwiki Mahendra mempertanyakan sejauh mana kebebasan berpendapat bisa diterapkan di era seperti sekarang.
Words by Whiteboard Journal
“Pandemi udah jalan hampir 6 bulan di Indonesia, dan timeline masih ngeributin apakah COVID19 ini ada atau ngga. Beneran bahaya atau ngga. Bayangin, debatnya masih di beneran bahaya atau ngga.” — @falla_adinda on Twitter
Tempo hari saya membaca sebuah cuitan dari akun seorang dokter yang berbunyi seperti itu, ya singkatnya menunjukkan keprihatinannya terhadap diskursus yang terjadi di masyarakat terkait pandemi Covid-19. Di sisi lain, kita mungkin juga telah familiar dengan kasus musisi yang mempertanyakan bahaya pandemi ini, yang bahkan kemudian berargumen dengan dasar teori konspirasi. Baru-baru ini, ada pula kasus di mana seorang ahli ekonomi Indonesia yang mengklaim bahaya dari termometer infrared atau juga dikenal dengan thermo gun.
Di era pandemi ini, menjelajahi media sosial maupun internet merupakan hal yang semakin berarti bagi kita. Meskipun kita telah memasuki new normal dengan memulai aktivitas seperti biasanya, semuanya belum terasa normal. Terbatasnya interaksi langsung serta diberlakukannya work from home selama lockdown juga telah mengubah cara kita dalam bersosialisasi. Keterbatasan tersebut membuat kita semakin mengandalkan media sosial dan internet lebih dari sebelumnya.
Melalui media sosial, kata dapat bergerak lebih cepat. Kita dapat beralih dari sebuah artikel ke artikel lainnya dalam hitungan detik. Twitter, sebagai contoh, telah bertransformasi dari sekadar media sosial menjadi sesuatu yang lebih dapat dikatakan sebagai real time news feed, paling tidak bagi sebagian orang. Melalui Twitter, penggunanya dapat memulai sebuah utas panjang atau sekedar membagikan cuitan singkat maupun tautan sebuah artikel yang kemudian dapat di-retweet oleh ribuan pengguna lainnya.
But wait, isnt it supposed to be good?
Memang benar bahwa dengan mudahnya akses terhadap berbagai informasi, kita telah berhasil mengatasi permasalahan manusia di masa lampau. Jika kita melihat era sebelum globalisasi atau bahkan revolusi industri, terbatasnya akses terhadap sumber daya maupun informasi menjadi akar dari berbagai masalah yang menghambat kemajuan umat manusia. Contohnya ialah bagaimana sebelumnya manusia menganggap bahwa bumi merupakan pusat tata surya. Ide ini tumbuh dan bertahan hanya karena tidak terdapat cara yang dapat dilakukan untuk mendapatkan informasi terkait tata surya sebelum teleskop ditemukan oleh Galileo untuk membuktikan Heliosentrisme Copernicus.
Meski demikian, proses penyebaran informasi di era modern ini bak pedang bermata dua. Aksesibilitas terhadap informasi yang menjadi semakin mudah membuat semua orang dapat melakukan riset dan investigasi mandiri — now everyone can be an “expert” — bahkan tanpa memiliki kemampuan dan teknik memilah sumber dan data. Isu inilah yang kemudian dibahas dalam buku yang ditulis oleh Tom Nichols dengan judul “The Death of Expertise”. Dalam “The Death of Expertise“, Nichols menyoroti hubungan antara pakar dan masyarakat di negara demokrasi. Hubungan antara pakar dan masyarakat kian memburuk di mana kepercayaan terhadap pakar mulai menghilang sehingga masyarakat memilih untuk percaya hanya terhadap ‘penelitian’ mereka dan mungkin sumber alternatif lainnya. Meskipun buku ini fokus terhadap situasi di Amerika Serikat, terdapat kesamaan kasus di negara-negara demokrasi lainnya, termasuk Indonesia. Salah satu penyebab dari memburuknya hubungan antara pakar dan masyarakat ialah meningkatnya akses terhadap informasi melalui internet.
Internet menawarkan akses informasi kepada hampir semua orang. Akan tetapi, fakta ini tidak hanya mempengaruhi kualitas informasi yang beredar, namun juga bagaimana informasi tersebut diproses oleh otak kita. Ketika setiap orang merasa bahwa mereka dapat menjadi ‘pakar’ hanya dengan membaca artikel ataupun jurnal di luar spesialisasi mereka, ini akan menjadi sesuatu yang cukup berbahaya. Terlebih jika mereka memutuskan untuk membagikan ‘pengetahuan’ mereka yang terbatas tersebut kepada orang banyak.
Perilaku ini tercermin melalui berbagai platform di internet. Sebagai contoh, di media sosial kerap kali kita temui sebuah akun gaya hidup yang mungkin ikut menuliskan artikel terkait isu internasional maupun politik hanya untuk tetap terlihat relevan. Kenyataan bahwa terdapat cukup banyak media yang menyampaikan berita atau informasi hanya demi menjadi relevan tanpa menyelidiki secara mendalam tentang isu-isu tersebut akan menciptakan ilusi bagi pembaca bahwa mereka telah mengetahui informasi tersebut secara komprehensif. Ilusi ini juga dijelaskan dalam Dunning-Krugger Effect di mana ketika kita memiliki pengetahuan yang terbatas atas suatu subyek, justru kita akan cenderung merasa percaya diri terhadap pengetahuan dan juga pendapat kita terhadap subyek tersebut.
Selain itu, hal lain yang perlu lebih diperhatikan ialah bagaimana istilah agree to disagree telah digunakan secara berlebihan. Istilah ini semakin sering digunakan tanpa pandang bulu bak pemadam percakapan. Terdapat banyak kejadian di mana pendapat seorang pakar dibantah dengan berbagai dalih, termasuk dengan dalih kebebasan berpendapat. Masyarakat cenderung percaya dan menggunakan demokrasi sebagai dalih dari argumen mereka. Pandangan bahwa dalam sistem demokrasi memberikan masyarakat kesetaraan, termasuk dalam berpendapat adalah sebuah mispersepsi. Demokrasi memang menawarkan kemerdekaan berupa kebebasan berpendapat dan kesetaraan, namun kesetaraan yang dimaksud dalam demokrasi ialah kesetaraan politik serta kesetaraan di mata hukum.
Oleh karena itu kebebasan berpendapat maupun ekspresi pada akhirnya tidak bersifat absolut dan memiliki batasan-batasan tertentu. Kapasitas seseorang dalam menyampaikan pendapat dinilai dari latar belakang individu tersebut sehingga tentunya tidak semua pendapat itu setara. Seorang pakar yang memiliki latar belakang pendidikan dan pengalaman akan suatu bidang tentunya memiliki pengetahuan dan juga pemahaman yang lebih mumpuni dibandingkan orang awam. Namun, tentunya kepakaran orang tersebut tentu tidak berlaku di bidang yang lainnya. Yang perlu diingat ialah bahwa bukan berarti seorang pakar tidak pernah salah, namun kemungkinan pakar berbuat salah akan lebih jauh kecil dibandingkan kesalahan yang dapat dibuat oleh orang awam.
Masalah ini tidak sepenuhnya tentang salah dan benar, namun persoalan ini cukup membahayakan. Hal ini dapat menyebabkan misinformasi, jika bukan disinformasi. Informasi pada dasarnya hanya bersifat sebagai objek. Information does nothing on its own sehingga pada akhirnya yang menentukan bagaimana informasi digunakan adalah kita. Untuk itu agar kita dapat mengonsumsi informasi dengan lebih baik, kita harus lebih mendidik dan meningkatkan kesadaran diri. Sebagai individu, warga negara dan warga internet kita harus dapat mengetahui sumber yang dapat dipercaya, memahami bagaimana peran kita dalam persebaran informasi, serta berpendapat sesuai dengan bidang kita. Pada akhirnya kita harus mengerti dan mengakui bahwa beberapa masalah bukanlah bagian kita untuk berpendapat.