Oppenheimer: Kisah Kemenangan atau Tragedi Kemanusiaan?
Dalam submisi open column ini, Romi Putra mengingatkan kita akan rambu-rambu penting penerapan sains di tengah maraknya antusiasme publik terhadap film Christopher Nolan terbaru, “Oppenheimer”.
Words by Whiteboard Journal
Bagi sebagian besar orang, mungkin Oppenheimer tidak lebih dari sekadar judul film garapan Christopher Nolan, yang tentunya harus ditonton karena begitu banyak orang membicarakannya. Terlebih lagi, siapa pun yang mengaku melek pop culture tentu bakal bersumpah mati tidak boleh ketinggalan menontonnya di bioskop. Tetapi, rasanya sangat mungkin pula kalau sebagian besar orang yang pergi menonton film tersebut sebelumnya tidak pernah dengar, tahu, apalagi peduli tentang siapa itu Oppenheimer sebenarnya.
Nama Oppenheimer bisa jadi memang tidak sebeken nama-nama ilmuwan dan penemu lain seperti Albert Einstein, Thomas Alva Edison, atau Sir Isaac Newton. Ia tidak pernah memenangkan Nobel Prize seperti yang dimenangkan Albert Einstein pada 1922, ia tidak menemukan sebuah alat yang digunakan hampir seluruh umat manusia seperti Thomas Alva Edison, dan namanya juga jarang dijumpai dalam buku sains SD, SMP, atau SMA—sangat berbeda jika dibandingkan dengan nama Sir Isaac Newton. Namun kenyataannya, tidaklah berlebihan untuk mengatakan bahwa Julius Robert Oppenheimer merupakan salah satu ilmuwan paling berpengaruh dalam sejarah umat manusia hingga saat ini.
Pada 1939, seorang fisikawan bernama Leo Szilard mengirimkan sebuah pesan yang juga ditandatangani oleh Albert Einstein kepada Presiden Amerika Serikat saat itu, Franklin D. Roosevelt. Dalam pesan tersebut, Szilard memperingatkan Roosevelt tentang kemungkinan Jerman Nazi untuk menciptakan bom atom dan menganjurkan Amerika Serikat untuk segera memulai program pengembangan bom atom. Menindaklanjuti surat tersebut, Oppenheimer ditunjuk untuk memimpin Los Alamos Laboratory sebagai bagian dari Proyek Manhattan untuk menciptakan senjata nuklir pertama di dunia pada tahun 1942. Penunjukan tersebut dilatari dunia yang sedang diselimuti Perang Dunia Kedua dengan Jerman, Jepang, dan Italia sebagai aktor utama dari Blok Poros dan Amerika Serikat, Britania Raya, dan Prancis sebagai aktor utama dari Blok Sekutu.
Ambisi untuk melakukan ekspansi bagi ras Arya di bawah bendera konsep Lebensraum berujung pada seorang lelaki berkumis separo menembakan peluru ke kepalanya di sebuah bunker di Berlin, 30 April 1945. Menyusul kematian Adolf Hitler, Jerman Nazi menyerah terhadap Blok Sekutu pada 7 Mei 1945. Proyek Manhattan tidak selesai tepat waktu untuk bisa menundukkan Jerman Nazi di Eropa Barat. Usaha untuk menghentikan Jerman Nazi harus ditempuh melalui sederet pertempuran yang dimulai dengan invasi oleh tentara sekutu bernama sandi “Operasi Overlord”. Walaupun begitu, tunduknya Jerman Nazi bukanlah penanda Perang Dunia Kedua telah usai. Amerika Serikat masih harus menghadapi Jepang di medan pertempuran Asia Pasifik, dan di teater Asia Pasifik inilah Proyek Manhattan berhasil menunjukkan buah hasilnya.
Kota-kota di Jepang dibombardir dari udara, “Operasi Downfall” disusun sebagai rencana untuk menginvasi Jepang dan mengakhiri Perang Dunia Kedua. Namun pada akhirnya, dengan alasan untuk menghindari potensi kerugian materi dan hilangnya ratusan ribu nyawa tentara Amerika Serikat yang mungkin terjadi melalui operasi tersebut, “Little Boy” dijatuhkan dari pesawat Boeing B-29 Superfortress di atas Kota Hiroshima pada 6 Juni 1945, dan “Fat Man” di atas Kota Nagasaki pada 9 Juni 1945. Tentara dan warga sipil tewas tanpa pandang bulu, sebagian karena ledakan, lainnya karena radiasi material radioaktif. Perang Dunia Kedua berakhir dengan kemenangan Blok Sekutu ketika Jepang menyerah pada 2 September 1945.
Sejak saat itu, mahakarya Proyek Manhattan yang dipimpin oleh Julius Robert Oppenheimer selamanya merubah alur sejarah umat manusia. Manusia berhasil menunjukkan kemampuannya untuk memusnahkan dirinya sendiri dengan cara yang efektif dan efisien. Pengetahuan atas kemampuan tersebut lantas tidak cukup menghasilkan teror atau horor dalam hati manusia yang berujung kepada berhentinya produksi senjata sejenis. Pengetahuan tersebut justru berujung pada perlombaan—tentang siapa yang bisa lebih mengintimidasi siapa dengan—jumlah senjata nuklir yang lebih banyak.
Tentunya perlombaan yang dimaksud adalah perlombaan hulu ledak nuklir antara Amerika Serikat dan Uni Soviet sepanjang Perang Dingin berlangsung. Puncaknya, terdapat lebih dari 60,000 hulu ledak nuklir di dunia. Sekarang terdapat sekitar 12,000 hulu ledak nuklir dengan daya ledak berkali-kali lipat lebih dahsyat dari “Little Boy” dan “Fat Man”. Bom dengan daya ledak terbesar yang pernah diledakkan adalah Tsar Bomba dengan daya ledak 3,333.33 kali lebih kuat dari “Little Boy”. Dengan potensi menghancurkan maha dahsyat dan tanpa diskriminasi, hanya orang sinting yang berharap perang nuklir kelak tercatatkan sebagai bagian dari sejarah umat manusia.
Sains memperlihatkan kepada kita wujudnya sebagai pedang bermata dua. Ia bisa membawa kemajuan dan kemaslahatan, dan ia juga bisa membawa kehancuran dan penderitaan. Sepertinya, kebanyakan orang akan setuju bahwa mengetahui bagaimana cara memisahkan Uranium-235 dan Uranium-238 atau berapa banyak neutron yang dilepaskan dalam reaksi fisi sebuah atom Plutonium-239 tidak memberikan manfaat praktis dalam kehidupan sehari-hari. Paling-paling, kalau kalian menjadi peserta kuis cerdas cermat fisika nuklir. Itu juga kemungkinannya sangat kecil. Namun, di era ketika penggunaan teknologi tidak bisa lagi terhindarkan dan dipasangkan dengan era demokrasi dan kebebasan berpendapat—yang segala sesuatunya diputuskan oleh suara terbanyak—pengetahuan saintifik dasar atas kebijakan publik yang berkaitan dengan penerapan teknologi atau sains menjadi penting untuk dimiliki oleh masyarakat. Entah itu kebijakan tentang perubahan iklim ataupun proliferasi dan penggunaan hulu ledak nuklir sebagai segelintir contohnya. Tidak salah rasanya untuk mengatakan bahwa pemahaman atas ilmu pengetahuan yang dimiliki masyarakat bakal menentukan masa depan seperti apa yang akan diciptakan.
Apakah film Oppenheimer membawa pesan tentang potensi horor dan kengerian yang bisa dihasilkan ilmu pengetahuan atau tidak? Tentunya saya tidak peduli. Karena bagi saya, tugas utama sebuah media hiburan entah itu film, musik, novel, ataupun komik adalah memberikan hiburan. Tapi yang jelas, saya merasa aneh juga ketika awan jamur yang membubung tinggi ke langit adalah adegan yang akan sangat saya nantikan dalam film tersebut.