On Being a Queer and Eternalizing the Death of One
Dalam submisi open column ini, Zar Mose menulis obituari untuk mengenang kematian kakaknya, yang juga seorang queer, sebagai sebuah kisah hidup yang menakjubkan–meski kerap diwarnai pilu.
Words by Whiteboard Journal
20 Desember 2022. Kamar kosku redup meski hari sudah siang. Wangi sepi lebih kental dari wangi pesing sperma yang telah mengering di lembar-lembar tisu. Aku bahkan belum membersihkan tubuhku. Kepalaku saja enggan menoleh. Apalagi menggerakkan sekujur tubuhku. Aku capek. Rasanya tulangku diperas hingga keluar cairan sumsumnya.
Siang itu mendadak menjadi hari paling gelap bagiku. Sahabat kakakku yang sulung menelpon, “Adek yang sabar ya,” Suaranya tidak jauh, seolah-olah dia sedang berbisik persis di dalam telingaku. Di dalam kepalaku, aku telah akrab dengan kalimat ini. Aku mengerti apa yang dia maksud. “Kamu tidak usah pikirkan kenapa, Adek, doakan Kakakmu di sana.”
Dalam tradisi keluargaku, tidak ada yang pernah berani menuturkan kata “meninggal” atau “mati”. Kami selalu memecahnya menjadi kepingan-kepingan kecil. Sama seperti kata “cinta” dan “sayang”, kami takut pada kekuatan yang dimiliki kata-kata ini sehingga kami menghancurkannya. Kekuatan yang mendorong kami menjadi rapuh, lemah, canggung, dan cemas.
Sebagai orang Minang, kami diajarkan hidup bergurukan alam—merupa tanduk kerbau yang kuat, yang membawa kemenangan pada suku Minang. Tapi kemenangan seperti apa yang hendak diupayakan tubuh kakakku yang telah tewas dalam rentetan trauma, memaksanya menjadi sesosok gladiator yang menangkup lukanya kemana-mana di tengah penonton yang haus (menjadi) Tuhan.
Sebelum keberangkatanku melaksanakan KKN ke Randudongkal pada 2021, untuk kali pertama aku berbicara dekat dengan kakak. Kami menghabiskan sepanjang malam berkendara dengan mobil pick-up untuk mengutarakan segala yang tidak berani kami sampaikan selama ini. Usia kami terpaut 11 tahun. Karena ketahuan berpacaran dengan perempuan, kakak selalu dijadikan contoh yang buruk oleh kedua orang tua, yang membuat kami tumbuh terpisah dan dibatasi kebencian. Lama sudah kakakku hidup terisolasi karena identitasnya.
Aku tidak mengenalnya begitu lekat, apalagi versinya yang ini: yang rapuh; yang jujur merindukan peluk; yang ingin melihat aku bahagia hidup di luar negeri dan menikah dengan laki-laki yang mencintaiku utuh. Kakakku bercerita ingin melakukan operasi pengangkatan payudara atau yang biasa disebut top-surgery. Ia merasa “bersalah” dan ada yang salah dengan tubuhnya. Kakak yakin dengan pengangkatan payudara, dia bisa lebih menerima dirinya sendiri. Malam itu pula aku mengerti bagaimana segala yang membuatnya bertahan adalah Tuhan.
“Allah menguatkanku.”
Tapi bersamaan dengan itu pula, pertanyaan terus menjadi kabut dalam kepalanya: “kenapa Allah menciptakan orang-orang seperti kita?”
Pertanyaan yang ia layangkan menggantung di atas langit sampai sekarang.
Itulah kali pertama kami berdua deras dalam kejujuran. Satu malam yang singkat tapi cukup untuk membuatku mengenalinya lebih dalam. Satu malam yang biru bagi dua individu queer untuk menjadi lebih terang dibandingkan bintang-bintang. Mobil pick-up kami terus bergerak pelan menyisiri jalanan. Kami berdua menangis puas dan lepas. Begitu sampai di rumah, kami kembali berlagak asing. Kami khawatir jika kedekatan yang tiba-tiba ini menimbulkan kecurigan, terutama bagi aku yang masih belum ketahuan.
Aku meraung. Aku hafal suara kakak ketika dia mengucapkan kata “manyarah”. Suara itu menggebuki isi kepalaku. Dadaku pecah menjadi keping-keping penyesalan dan rasa bersalah. Aku gagal menjadi pelindung. Aku gagal mewujudkan cita-cita kakakku untuk melakukan top-surgery. Aku menangis, mengumpati diriku dan semua sanak saudara yang berupaya menghubungiku. Setan! Kalian semua pembunuh! Air mata kalian palsu! Kemana kalian selama kakak masih hidup?
Aku bergegas mencari cara untuk pulang ke Padang. Aku meminjam uang manajer untuk membeli tiket pesawat. Sebagai gantinya, gajiku di bulan depan langsung dipotong. Sembari mengemasi semua barang-barang ke dalam koper, aku meminta sahabatku pergi ke Puskesmas untuk menjemput obat-obat yang biasa aku konsumsi. Aku tidak akan mati sebelum aku bisa melihat pusara kakakku.
Perjalanan ke bandara terasa begitu lama. Sepanjang perjalanan hal-hal buruk menghantuiku. Rekaan skenario bagaimana kakakku meninggal terus bermunculan. Ingatan-ingatan sewaktu aku kecil terputar ulang, kali ini bersih dan jelas: remaja bertubuh ringkih yang pertama kali tahu rasa mencintai; wajah dan tubuhnya yang lebam; kata-kata umpatan yang menusuk telinganya; upaya kabur dari rumah; rentetan terapi konversi; ustaz-ustaz yang memercikkan air suci di setiap sudut kamar kakak; dan aku. Ada aku yang kala itu baru duduk di bangku sekolah dasar, mengetahui bahwa kelak seperti itu pula kehidupan yang akan aku lewati. Mungkin, jika aku ketahuan. Tapi aku beruntung. Hingga esai ini ditulis, aku masih aman.
Aku ingin bisa pulang ke rumah hari ini juga. Aku bersikeras.
“Kakak saya bunuh diri. Saya harus segera pulang,” laporku pada petugas bandara yang panik melihatku masuk ke pintu keberangkatan dengan kondisi menangis. Tapi sial, aku terbentur urusan administrasi. Surat vaksinasi menjadi penghalang keberangkatan. Petugas bandara menginfokan satu-satunya cara adalah aku harus punya surat keterangan meninggal dunia dari RT domisili kakakku—yang mustahil didapatkan secepatnya. Petugas bandara tidak bisa melakukan apa-apa untuk membantu selain memintaku duduk untuk menenangkan diri.
Aku kembali ke kos dengan kekecewaan yang mengubun-ubun. Dalam benakku, aku ingin memberikan penghormatan terakhir untuk beliau. Aku akan menyolatkannya, dari jauh, sebagai seorang pria. Tapi hatiku terasa sesak. Bagaimana aku akan menyolatkannya ketika aku tidak yakin pada Tuhan yang ini: yang menggaristakdirkan kematian tragis kakakku; Yang berkehendak agar kakakku mati menghidupkan luka-luka lebam yang berusia abadi di jasadnya; Yang menggaristakdirkan kelak aku akan diperkosa dan akan merawat trauma ini seperti seorang ayah tunggal, yang tidak punya tempat pulang untuk berbagi cerita luka dengan saudara yang terus mengenali wajahnya (bahkan) di dalam gelap.
Kemana hidup ini akan aku bawa? Jika hidup ini sendiri juga telah menggerogoti akarku. Aku layu. Sebatang pohon layu yang entah kenapa selalu berhasil bertarung dengan waktu.
Tuhan, bila kau adalah musim, jadilah Engkau musim yang aku lewati untuk sampai di sini.
— Ocean Vuong
Kakak selalu menitipkan Tuhan dalam pesan-pesan baiknya. Tuhan Allah. Iya, Allah. Aku tidak bisa membayangkan betapa ia akan kecewa bila mengetahui aku telah menjadi kapal yang terombang-ambing. Satu waktu aku menghadiri misa. Di lain waktu aku terus menangis dalam sujudku. Dan binar mataku sukar berbohong dalam kagumku pada ketenangan sebuah klenteng. Apa aku ini? Kak, aku ini apa?? Kapal? Daging? Puisi-puisi pincang? Obat-obat anti-depresan di Puskesmas? Dildo? Lubang? Mesin pencetak uang? Tanduk kerbau? KERBAU? Jarum infus? Poppers? A bottom? Penyair yang gagal? Adik yang gagal? Mahasiswa sastra semester tua yang tidak kunjung lulus? Muslim? Katolik mingguan?
Kakak wafat 5 hari sebelum Natal. Semarang hujan. Pohon-pohon cemara sintetis sudah dipasang toko-toko di sepanjang jalan. Mal, kafe, ruang-ruang publik ramai dengan gemerincing lonceng Natal. Seharusnya, ada sukacita jatuh menemani hujan. Tapi kali itu, hanya duka yang tersisa menjadi jejak di sepanjang jalan.
Di malam Natal, aku berjalan sendirian ke pasar antik Kota Lama. Di balik wangi-wangi usang itu aku melihat patung Kristus. Raut wajahnya yang melankolis berteteskan air mata dari logam. Di sana, Ia hanya barang usang lain yang dijejerkan bersama benda-benda yang berbobotkan berat kenangan. Tidak peduli semulia apa Ia. Tidak peduli bahwa kurban darah dan daging-Nya lah yang (dipercaya) menghidupkan napas yang sudah tuntas bernegosiasi dengan Waktu. Wajah-Nya yang iba meneteskan air mata dari logam. Aku melihat-Nya lekat-lekat. Tidak ada apa-apa selain hampa.
Bapa Ibrahim, apakah bunuh diri pernah menjadi pertimbanganmu untuk tetap senantiasa mencari Tuhan? Apakah kau pernah bergelut dengan tubuhmu sendiri dan menyaksikan siapa yang kalah antara kalian berdua? Siapa yang kalah? Apa kau pernah tahu rasanya kalah? Oh, bodohnya pertanyaan ini. Kau bahkan tidak habis dimakan api.
Aku melewati malam dengan berandai-andai. Kakak tidak pernah menuntaskan studinya di jurusan yang sama denganku, Sastra Inggris. Oleh karena itu, aku dulu berpesan agar kakak menghadiri wisudaku, di mana kami akan menggunakan selempang yang sama, bertuliskan “Sarjana Sastra Inggris”. Andai saja aku bisa mengajak kakak bertemu dengan mantan kekasihku. Mereka bisa menjadi teman akrab karena sama-sama menggemari mesin, mobil, dan sepeda motor.
Bagaimana jika suatu saat aku bisa hidup di luar negeri dan bisa dengan bebas mencintai siapapun. Siapa orang pertama yang akan aku hubungi jika kekasihku kelak melamarku? Andai ia bisa menghadiri acara pembacaan buku keduaku yang terinspirasi dari hidupnya. Aku yakin semua yang hadir akan berdiri dan bertepuk tangan menghormati kehadirannya. Ia, kemudian, akan diundang menjadi pembicara di berbagai seminar kajian gender dan seksualitas. Kami akan hidup di satu apartemen sederhana di kota Jakarta atau mungkin Semarang. Kami akan mengadopsi seekor golden retriever atau kucing Persia dan menamainya Maximus seperti yang selama ini ia cita-citakan.
Aku terus diingatkan agar senantiasa berdoa untuk almarhum. Itu adalah sebaik-baiknya cara yang bisa memudahkan langkahnya di Akhir nanti. Maka, aku berdoa—dalam berbagai upaya. Salah satunya melalui puisi. Aku ingin menciptakan ayat-ayat sendiri, yang jelas mengalamatkan langsung kesengsaraan kakakku. Bagiku, puisi tidak hanya menjelma doa. Tapi upaya taksidermi: merias jasad dengan metafora dan memajangnya di dinding-dinding indah dunia sastra. Aku dan kakak adalah mahasiswa sastra. Kami paham, seperti inilah kematian yang kami inginkan: kematian yang berkenangan.
Kuburan Unikorn
mari kita bermain layang-layang di saat jangkrik
saling berderik membahasakan ladang yang bisu
mari kita tarik tali layangan sampai
kita tersungkur tersandung batu
mari kita menghitung jumput detik yang tersisa
hingga jari-jari kita keriput dan ditumbuhi uban
masih banyak hal yang ingin kutuakan
bersamamu. kuingin usia tidak mengenal lapuk
seperti matahari tidak mengenal wangi malam
kuingin jam memiliki zebra cross agar setiap
waktunya untuk melaju aku bisa diam saja
menggenggammu tanpa khawatir akan ditabrak
masa. lalu kita berjalan pulang dengan selamat
ke pusara kita yang bersebelahan
kita mengompos merawat tanah
memperkenalkannya pada ujung pelangi.
tulang kita yang t’lah hancur kapur
merias kelopak-kelopak bunga melati
kita tenun rumput-rumput kuning yang keropos
meski di bawah sini jasad kita tidak lebih
dari uraian cerita mitos
Semarang, Februari 2023
Ketakutan yang menggerayangi kepalaku terasa lebih dekat sejak terakhir kali aku masih duduk di sekolah dasar menyaksikan gambaran kehidupan yang kelak akan aku lewati melalui kulit lebam-lebam kakakku. Memar itu semakin terasa perih. Seperti ini lah bagaimana trauma diturunkan, pikirku. Sekarang apa yang bisa aku lakukan, selain merakit bunga-bunga dari kehidupan yang hanya menyisakan aku untuk berjuang. Hanya tersisa aku dari cerita ini. Selagi aku masih menggenggam nyawa, aku akan merawat kisah-kisah-nya. Yang tersisa lah yang bertugas mencatat sejarah. Mengabadikan hidup dan kematiannya.