Muda, Merdeka, tapi Asing dengan Sistem Politik Sendiri
Dalam submisi Open Column ini, sekaligus merayakan Hari Kemerdekaan, Julia Prabarani merefleksikan kepekaannya terhadap situasi politik di Indonesia dan menyadari betapa signifikannya peran anak muda dalam berbagai babak sejarah nasional.
Words by Whiteboard Journal
Hari ini, Indonesia memperingati hari jadinya yang ke-78 tahun sebagai negara yang merdeka. Kekalahan Jepang dari sekutu pasca bom atom Hiroshima dan Nagasaki kiranya menjadi turning point dari perjuangan kemerdekaan Indonesia. Pejuang kemerdekaan mengupayakan agar proklamasi kedaulatan segera dikumandangkan. Lantas, terjadilah peristiwa pra-proklamasi paling terkenal dan menyesaki buku pelajaran PPKn di sekolah dahulu: peristiwa Rengasdengklok. Golongan muda menculik Soekarno dan Hatta untuk mendesak agar proklamasi segera dilaksanakan.
Begitu besar kiprah anak muda terhadap peristiwa politik Indonesia saat itu. Tetapi kini, mengapa saya merasa jauh dari politik di Indonesia?
Selama 19 tahun saya hidup, pemilu telah dilaksanakan selama 4 kali. Sudah empat kali pula terjadi perubahan terhadap pemerintahan di Indonesia, but nothing really affected my life tho. Sekolah tetap menuntut saya untuk menguasai belasan mata pelajaran, kesejahteraan ekonomi keluarga saya tetap berkutat di lingkaran yang memuakkan, e-KTP tetap harus difotokopi, dsb.
Pemilu 2024 kelak akan didominasi oleh generasi milenial dan generasi Z. Survei Komisi Pemilihan Umum (KPU) menunjukkan bahwa kedua generasi tersebut mendominasi 56,45% dari keseluruhan daftar pemilih tetap. Akan tetapi, banyak kekhawatiran bahwa kedua generasi tersebut apatis terhadap politik. Dan saya, yang merupakan bagian dari generasi tersebut, tidak bisa menyalahkan fakta yang ada.
Sepanjang saya mengonsumsi pendidikan SD hingga SMA, tidak pernah sekalipun saya terpapar terhadap pendidikan politik. Sejujurnya, saya tidak tahu apakah PPKn sudah cukup dan dapat dikategorikan sebagai pendidikan politik. Yang jelas, mengenyam pendidikan di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik membuat saya, mau tidak mau, harus melek terhadap isu-isu politik.
Pelarangan mengangkat isu politik dalam instansi pendidikan dasar membuat anak muda tidak memiliki ruang untuk membincangkan, bahkan memulai diskursus mengenai isu tersebut. Ketika saya masih SMP, pernah ada teman sekelas yang melakukan pembicaraan mengenai politik di lingkungan sekolah. Akan tetapi, mereka mendapatkan teguran keras dari guru. Hal tersebut dapat dipahami karena ASN dituntut untuk bersikap netral dan kampanye dilarang dilakukan dalam instansi pendidikan. Tidak heran, sempitnya ruang bagi anak muda untuk peduli terhadap politik membuat mereka menjadi kurang atentif dan cenderung apatis terhadapnya.
Ujaran kebencian dari buzzer yang memenuhi lini masa media sosial, edukasi politik dari parpol yang terburu-buru, serta pengumbaran janji-janji untuk meraih atensi masyarakat melalui kunjungan daerah merupakan pola yang dapat saya temui tiap tahun politik kian mendekat. Pendekatan dengan gaya old school tentunya tidak akan cukup untuk menggaet pendukung dari kalangan muda. Bias-bias dalam metode kampanye yang kepalang oldschool membuat pemilih ditempatkan sebagai obyek dalam pemilu.
Generasi muda yang digadang-gadang menjadi kunci dalam kontestasi politik 2024 mulai menyadari hal tersebut. Perubahan pendekatan politik kini ramai-ramai dilakukan oleh partai politik dengan cara yang lebih modern melalui media sosial dan perekrutan influencer untuk menjadi kader. Perubahan metode pendekatan dari yang statis menjadi lebih dinamis merupakan perubahan yang perlu diapresiasi oleh pemilih muda, tapi apakah hal tersebut cukup? Perlukah kader tanpa latar belakang politik diajangkan di kontestasi pemilu? Apakah hal tersebut dapat mengubah masyarakat dan pemilih muda menjadi subyek politik?
Stigma yang kepalang buruk
Korup, elitis, dan extravagant adalah kata yang menurut saya tepat untuk menggambarkan politik Indonesia. Belakangan ini kita dijejali kasus-kasus seperti dugaan korupsi menara BTS, pembunuhan yang melibatkan petinggi Polri, pejabat tinggi yang cawe-cawe dalam pemilu, dan masih banyak kasus kriminal lainya.
Saya memilih kata extravagant karena mahalnya biaya politik di Indonesia. Sebagai contoh, partai-partai politik yang berpartisipasi pada Pemilu 2019 lalu menggelontorkan uang dengan total mencapai Rp2,34 triliun. Pengeluaran terbanyak dipimpin oleh PDIP (Rp345 miliar), disusul Partai Golkar (Rp307 miliar), lalu Partai Nasdem (Rp232 miliar). Tentunya, masih ada 8 partai lain yang menghamburkan uang dengan nilai lebih dari Rp100 miliar untuk pesta demokrasi tersebut. Dapat dibayangkan semahal apa pesta demokrasi milik kita.
Kritikus asal NTT, Ignas Kleden sudah sejak lama menilai praktik perpolitikan di Indonesia sebagai sesuatu yang tidak ideal. Melalui artikel “Indonesia Setelah Lima Tahun Reformasi” yang dimuat dalam Jurnal Analisis CSIS vol. 32 no. 2, ia mengutarakan bahwa terdapat beberapa hal yang tidak ideal dalam keberjalanan Indonesia. Beberapa di antaranya adalah kondisi di mana pengerahan dana untuk memenangkan pemilu lebih diutamakan daripada pengerahan dana untuk melakukan program kemasyarakatan. Kemudian adalah diskursus politik lebih didominasi oleh sirkulasi elit ketimbang diskursus tentang program-program partai.
Uang memanglah hal utama dalam kehidupan. Namun, tepatkah anggaran sebesar itu dipergunakan untuk kampanye saja? Padahal, faktanya pendidikan politik masih belum mempan untuk meraih kepedulian anak muda.
Politik bagaikan dua mata pisau yang menjadi instrumen penting sepanjang 78 tahun Indonesia eksis. Indonesia pernah mengalami krisis pada 1965 dan 1998 karena politik, tetapi politik dan anak muda pula yang menyelamatkannya. Ketika saya menyadari seberapa jauh pemahaman saya terhadap sistem politik dan merefleksikannya, ketika itu pula saya menyadari bahwa politik mempengaruhi berbagai aspek dalam kehidupan saya. Jumlah uang semesteran saya, upah kerja part time saya, konser musik idola saya, pajak dalam makanan saya, semua hal tersebut berkaitan dengan politik melalui produknya.