Modernitas , Kesepian, dan Hal Lainnya yang Menggerogoti Kita
Column: Submisi dari Mario Hartanto yang menuliskan tentang rasa kesepian yang timbul di tengah perkembangan modernitas.
Words by Whiteboard Journal
“Modern loneliness, we’re never alone
But always depressed, yeah
Love my friends to death
But I never call and I never text”
— Lauv, Modern Loneliness
Bulu kuduk berdiri, mata tertegun dan seketika merinding mulai menghampiri saat pertama kali mendengar penggalan lagu di atas. Bagaimana tidak, sebagai seorang yang memiliki obsesi besar dan mempunyai love hate relationship dengan sosial media, lagu ini menghujam saya hingga ke dasar diri membayangkan betapa akuratnya dengan kondisi dunia masa kini.
Modernitas. Istilah ini muncul pertama kali di Eropa pasca-abad pertengahan yang berarti “terkini”. Modernitas tumbuh dari kelaparan manusia akan rasa ingin tahu, yang kemudian menghasilkan pengetahuan membangun peradaban yang berkembang kian hari. Siapa sangka yang dari penemuan mesin cetak pada tahun 1440 manusia dapat mencapai titik hari ini, di mana teknologi menjadi bagian tak terelakkan dalam kehidupan sehari-hari?
Salah satu hal yang tidak bisa dipisahkan dari modernitas adalah teknologi. Meminjam definisi Sardar (1987), teknologi adalah sarana dalam memecahkan masalah yang mendasar dari setiap peradaban manusia, termasuk permasalahan bagaimana manusia berupaya memenuhi hakikatnya sebagai Homo Socialis yang membutuhkan interaksi dengan sesamanya. Permasalahan dalam berkomunikasi pun dapat seiring berjalannya waktu dapat teratasi. Manusia mulai menciptakan simbol yang dapat dipahami oleh manusia lain, yang kemudian berkembang menjadi bahasa. Bahasa pun mengalami perkembangan menuju bentuk konkrit yaitu tulisan, yang kemudian pada era ini akrab menggunakannya dalam mengirim pesan singkat lewat gawai kita masing-masing.
Tak hanya memecahkan masalah, teknologi juga turut mengubah cara manusia dalam berkomunikasi. Jika dahulu bangsa Mesir Kuno memerlukan merpati pos untuk menyampaikan pesan, sekarang hanya dalam gerakan jari dan konektivitas internet pesan pun sampai. Jika dahulu perlu berhari-hari untuk menerima pesan, sekarang hanya dalam hitungan mikrodetik pesan pun diterima, bahkan secara real-time. Akan tetapi, kemudahan dan transformasi ini pun menghasilkan permasalahan baru bagi manusia, yaitu kesepian yang mewabah.
Kesepian, yang berasal dari terminologi bahasa Inggris “Loneliness” menurut Bruno (2000) adalah keadaan mental dan emosional yang dicirikan adanya perasaan terasing dan kurangnya hubungan yang bermakna dengan orang lain. Dua hal yang digarisbawahi merupakan pokok kesepian di mana teknologi secara tidak langsung memiliki andil di dalamnya.
Ciri pertama adalah perasaan terasing. Berkat teknologi, kita menjadi makhluk yang terasing lebih dari era manapun dalam sejarah manusia. Manusia pun kian hari kian asing terhadap sesamanya, mata terpaku menikmati konten dalam gawainya sendiri, abai terhadap sesama di sekitar (bahkan di hadapannya), hingga menjadi akrab dengan keterasingan itu sendiri. Tidak perlu jauh-jauh, cukup berkaca dari keseharian saja. Coba periksa berapa jam kita mengecek gawai kita setiap harinya? Seberapa sering kita melakukan Phubbing (istilah untuk orang yang asik bermain dengan gawainya ketika berkumpul bersama orang lain) terhadap orang di sekitar kita?
Ciri kedua adalah kurangnya hubungan bermakna. Tentu kita semua paham bahwa berberapa pesan singkat tidak dapat menggantikan kepuasan (dan sensasi) interaksi dengan tatap muka langsung. Mulai dari intonasi suara, gerakan tubuh, hingga gesture fisik tertentu seperti jabat tangan, pelukan, dan kontak fisiknya pun tak bisa digantikan oleh sebatas emoji belaka. Hal ini pun berimplikasi pada kurangnya makna yang dihasilkan karena interaksi hanya didasarkan pada pertemuan semu.
Memang benar kemudahan teknologi yang ada memungkinkan kita untuk berkoneksi dengan lebih banyak orang dan jangkauan yang lebih luas. Tetapi konsekuensi yang kadang tidak sadari adalah pemahaman bahwa manusia merupakan makhluk terbatas, bahwa akan selalu ada sesuatu yang dikorbankan dan konsekuensi yang menghantuinya. Seiring meluasnya jangkauan, kedalaman pun akan berkurang. Semakin banyak yang kita punya, semakin kita terpapar banyak pilihan, semakin kita terjebak dalam kebingungan yang berujung kepada kehampaan dan kehilangan makna. Hubungan pun semakin dangkal dalam era ini karena bukan didasari kedalaman makna, melainkan oleh algoritma semata.
Terlepas dari argumentasi dan idealisme yang ada, tak bisa dipungkiri modernitas menciptakan banyak kemungkinan dan memecahkan banyak masalah dalam hakikat manusia sebagai makhluk sosial. Teknologi pun mampu mendekatkan yang jauh, menjangkau yang tak dapat dijangkau, dan (seharusnya) membuat orang merasa lebih terhubung satu sama lain. Untuk menutup tulisan ini, saya akan mengutip cerita terkenal dari kebudayaan Amerika Kuno:
“A fight is going on inside me, it’s a terrible fight between two wolves. One is evil and the other is good.”
“Which wolf will win?”
“The one you feed.”
—M.H