Minimnya Genre Coming of Age dalam Sastra Indonesia
Membahas miskinnya sastra Indonesia dalam genre coming of age
Words by Whiteboard Journal
Kendati sudah dirilis sejak akhir Februari silam, film “Lady Bird” masih meninggalkan kesan yang amat mendalam bagi saya. Rasanya belum pernah saya menonton film coming of age yang demikian tajam, realistis, kontekstual, relevan, dan menyentuh seperti ini. “Lady Bird” tak ayal membuat saya berkontemplasi; betapa minimnya film dan buku coming of age karya dalam negeri yang terbit dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir ini.
Coming of age—atau yang kerap disebut pula sebagai bildungsroman—adalah genre yang menitikberatkan cerita pada perjalanan pribadi tokoh-tokohnya dalam melalui peralihan masa muda menuju kedewasaan. Istilah bildungsroman berakar dari bahasa Jerman dan pertama kali diperkenalkan oleh Karl Mongenstern. Berasal dari kata bildung yang berarti pendidikan, suatu karya sastra dapat dikategorikan sebagai bildungsroman bila terdapat narasi edukasional dalam cerita yang mendorong pembaca untuk menuju peningkatan moral dan psikologis sampai pada titik kesempurnaan tertentu.
Sederet karya klasik mendunia yang dihasilkan oleh penulis dari beragam era bisa dikategorisasikan dalam genre ini, mulai dari “To Kill A Mockingbird” milik Harper Lee, “The Catcher in the Rye” karya J.D. Salinger, Louisa May Alcott dengan “Little Women”, “The Adventures of Huckleberry Finn” karya Mark Twain, hingga “Bumi Manusia” karya Pramoedya Ananta Toer, dan masih banyak lagi. Karya fiksi fantasi populer yang lebih modern semacam seri “Harry Potter” karangan J.K. Rowling pun dapat dikategorisasikan dalam genre ini. Tak ketinggalan pula beragam novel coming of age yang sukses diadaptasi ke layar lebar dalam beberapa tahun belakangan ini, seperti “The Perks of Being a Wallflower” milik Stephen Chbosky, Wonder oleh R.J. Palacio, dan “Call Me by Your Name” karangan André Aciman.
Kendati seluruh judul yang saya sebut di atas termasuk dalam kategori genre coming of age, tentu masing-masing karya sastra ini memiliki fokus yang berbeda ketika menyoroti pergulatan hidup remaja dan problematika yang dialaminya. Karya sastra tak hadir dalam ruang hampa, sehingga konflik yang dibahas pun seyogianya berkaitan dengan konteks yang terjadi di zamannya. Kualitas suatu karya—tak terkecuali genre coming of age—dapat dinilai melalui kelancarannya dalam bercerita tanpa mengurangi kejujuran dan kecermatannya dalam menanggapi persoalan-persoalan sosial yang ada di sekelilingnya, mulai dari isu tentang kesenjangan kelas, politik identitas, kriminalitas, rasisme, ketidaksetaraan gender, seksualitas, dan lain-lain.
Sayangnya, sastra Indonesia masih amat miskin genre coming of age—apalagi yang diterbitkan oleh Angkatan 2000. Seakan terdapat dua kutub ekstrem dikotomis yang tak memungkinkan genre coming of age ditempatkan di salah satunya maupun di antaranya. Di satu sisi, terdapat karya sastra ‘serius’ yang mendobrak melalui bahasan seksualitas penuh simbolisme hinggankritik satir akan kondisi sosial politik tertentu; sedangkan di kutub lainnya, karya sastra ‘populer’ membingkai cerita yang digadang-gadang inspiratif dalam tema religiusitas yang semu dan nasionalisme yang dangkal namun toh tetap laris-manis di pasaran.
Lebih lanjut, jika berbicara tentang selera pasar, genre metropop atau chicklit nampaknya sedang berada di puncak tangga popularitasnya. Genre ini umumnya mengisahkan gejolak mid-life crisis dari tokoh-tokohnya, mulai dari konflik perihal percintaan, keluarga, pertemanan, karir, dan lain-lain. Walaupun digemari karena ceritanya realistis dan dewasa, bagi saya genre ini pun masih belum cukup berkembang di Indonesia. Sudut pandang yang cenderung heteronormatif dibalut dalam setting urban dan problematika khas kota metropolitan tentu bukan suatu hal yang sepenuhnya relevan bagi pembaca dari beragam kalangan.
Masih jelas pula di ingatan bahwa dulu saya sempat tumbuh bersama buku-buku dengan cap teenlit di sampulnya. Sesuai labelnya, akronim dari teen literature ini merupakan salah satu jenis novel populer bertemakan kehidupan remaja. Genre ini pun masih banyak diminati sampai sekarang. Lantas, apa bedanya teenlit dengan coming of age? Jelas berbeda. Kebanyakan teenlit berkutat pada kisah percintaan picisan dan impian idealisme yang stereotipikal. Konflik-konflik lainnya kerapkali menjadi bumbu yang hanya nampak di permukaan dan tak repot-repot dikembangkan. Teknik telling dan showing yang kerapkali digunakan terbukti gagal dalam membangun kedalaman cerita. Lain halnya dengan coming of age yang menitikberatkan pada kompleksitas karakter dan serangkaian pasang surut yang dialaminya.
Dari kacamata Sosiologi, perubahan dari masa anak-anak menuju gerbang kedewasaan adalah isu yang tak pernah sederhana. Tak sedikit budaya yang memiliki ritual dan upacara spiritual yang khusus dipraktekkan menjelang masa tersebut datang. Coming of age adalah ketika kita terbangun pada suatu hari dengan segala sesuatu yang sepenuhnya berbeda—proses yang terasa amat panjang sekaligus terasa begitu tiba-tiba. Dibebani tanggung jawab yang tak kita kenal sebelumnya. Menatap tubuh sendiri dan mendengar suara sendiri yang anehnya tak familiar bagi kita. Merasakan emosi-emosi yang tak kita ketahui pasti namanya. Mulai mengetahui kegiatan mana yang kita gemari sepenuh hati. Mulai memilah label-label mana yang hendak kita gunakan sebagai ornamen sehari-hari. Mulai memahami identitas pribadi.
Coming of age adalah ketika tidak ada satu pun hal yang berjalan dengan benar. Kita benci memiliki keluarga yang kacau dan tak peduli, namun kita juga tak suka dengan orangtua yang tiap harinya mengadakan sesi bicara. Coming of age adalah ketika tidak ada satu pun hal yang tepat. Beberapa hal dari diri kita nampak menyedihkan karena terlalu berlebihan, sedangkan hal lainnya tak layak dibanggakan karena memiliki beragam kekurangan.
Bagi saya, coming of age adalah genre yang signifikan karena ia menampilkan cerita yang realistis dan representasi yang dekat dengan keseharian. Semua orang pasti pernah dan akan mengalami proses pendewasaan—terlepas dari bagaimana detail proses tersebut berjalan. Problematika coming of age adalah isu yang universal sekaligus juga personal. Jika dibaca oleh mereka yang memang tengah mengalami pergulatan batin serupa, karya coming of age yang tepat tentu bisa menjadi sebuah panduan alih-alih fiksi belaka.
Karya coming of age yang tepat bisa memandu kita menjalani kehidupan dan menjatuhkan pilihan pada hal-hal yang bijak. Ia membantu kita mengeksplorasi luapan emosi sekaligus meyakinkan kita agar percaya pada potensi diri sendiri. Ia mengajarkan kita tentang penerimaan diri dan toleransi. Ia membantu kita memahami bahwa manusia adalah makhluk multidimensional dan identitas diri adalah konstruksi sosial budaya yang cair. Ia memberi kita kekuatan untuk melanjutkan hidup dan menghadapi hari esok, walaupun hari ini rasanya seperti dunia telah berakhir.
Keberanjakan dewasa adalah masa yang amat krusial. Pola pikir, idealisme, passion, bagaimana kita memaknai dunia, serta tujuan dan rencana hidup yang terbentuk pada proses itu tentu akan terus kita bawa seiring bertambahnya usia. Bahkan bisa jadi kesengsaraan mid-life crisis yang kini ramai dikeluhkan khalayak sedikit banyak merupakan konsekuensi dari proses coming of age yang kurang diperhatikan, diperhitungkan, serta minim representasi dan referensinya dalam karya sastra. Mungkin saja.