Mimpi Buruk Kafka yang Menjadi Realitas Kita
Dalam submisi column ini, Fahma Ainurrizka menceritakan kembali kisah tragis Gregor Samsa, tokoh utama dari novel Metamorfosa Samsa karya Franz Kafka, dan bagaimana hal tersebut telah menjelma menjadi realitas yang dihadapi manusia modern setiap harinya.
Words by Whiteboard Journal
“Ketika pada suatu pagi terbangun dari mimpi buruk, Gregor Samsa mendapati dirinya telah berubah menjadi seekor serangga raksasa yang menjijikkan di ranjangnya.”
Membuka cerita dengan kalimat di atas, Franz Kafka bercerita tentang peristiwa yang menimpa tokoh utamanya tersebut pada realitas yang banal, suram, dan tanpa jalan keluar selain kematiannya sendiri. Peristiwa tersebut menyeretnya pada untaian pertanyaan tak berkesudahan mengenai eksistensi manusia: bagaimana cara kita “mengada”? Apa yang berharga dan apa yang dilakukan jika hal yang dianggap penting dan berharga itu hilang bahkan dirampas paksa?
Apakah kehidupan menjadi tak berarti?
Gregor Samsa yang tiba-tiba berubah menjadi seekor serangga raksasa itu merupakan seorang pedagang keliling yang menjadi tulang punggung keluarga. Kita tidak diberi waktu untuk bertanya: mengapa dan bagaimana Gregor menjadi seekor serangga raksasa? Motif apa yang menempatkan Gregor Samsa pada kesialan dan jebakan labirin ini? Gregor, tanpa adanya persetujuan dan pemahaman akan situasi yang dihadapinya, diseret ke kondisi tercerabut dari identitas dirinya sebagai manusia. Ia tak lagi mengenali dirinya sendiri. Kemalangan ini datang saat sebelumnya ia merasa baik-baik saja dan tak ada hal lain yang perlu ia khawatirkan.
Membaca Metamorfosa Samsa terasa seperti memasuki lorong gelap, suram, aneh, dan tanpa penjelasan. Bayangkan jika kamu tiba-tiba ditempatkan di ruang hampa menyesakkan tanpa adanya jalan keluar, tetapi usahamu untuk keluar dan bertahan hanya sia-sia dan berakhir kalah. Perasaan inilah yang membuat istilah kafkaesque muncul untuk menyebut gaya penceritaan Kafka.
Namun, segala keganjilan yang menimpa Gregor tidak menjadikan cerita ini bak magis ataupun sihir. Ia hadir layaknya hal natural yang sepatutnya terjadi; bahwa sejak awal Gregor berubah menjadi serangga raksasa menyedihkan dan rangkaian nestapa kemudian mengikutinya, tanpa adanya kesanggupan untuk mengurai takdirnya sendiri. Sebab, barangkali, kita paham tentang ketidakmampuan untuk berbuat akan banyak hal.
Kafka tidak mendeskripsikan secara jelas jenis serangga yang menggambarkan penampakan fisik Gregor Samsa. Dalam narasinya, Kafka menyebut serangga sebagai Ungeziefer, yaitu binatang kecil yang mengganggu atau menjijikkan, misalnya kumbang, kecoak, lalat, kutu, dan tikus sedangkan pembantu keluarga Samsa menyebutnya sebagai Mistkäfer, yaitu kumbang yang hidup di rabuk.
Manusia Pekerja
Metamorfosis Gregor menjadi “kecoa” membuat keluarga Samsa mesti medefinisikan kembali cara mereka bertahan hidup dan bersikap terhadap Gregor. Apakah fisik serangga raksasa yang melekat pada Gregor menjadikan dirinya sosok lain; bukan Gregor sepenuhnya?
Di pagi saat terbangun dari mimpi buruk, Gregor tampak tak diberikan kesempatan untuk memproses ulang kejadian dalam dirinya atau sekadar memikirkan cara agar dirinya dapat kembali seperti semula; sebagai manusia seutuhnya.
Kendati ia menjadi kecoa—yang bukan disebabkan olehnya, alih-alih hal eksternal jauh dari jangkauannya—ia masih berusaha sekuat tenaga untuk bangun dan mengejar kereta yang berangkat pukul lima. Ia mengkhawatirkan dirinya yang tak bisa melunasi utang orangtuanya dan mencemaskan dirinya yang bakal terlambat datang ke kantor.
Di tengah terpaan nestapa, yang ia pikirkan hanyalah: tak boleh bermalas-malasan di tempat tidur. Padahal, ia belum bisa dan mesti bersusah payah mengendalikan fungsi tubuhnya yang baru. Untuk sekadar turun dari tempat tidur pun ia kelimpungan. Gregor merasa lebih takut dipecat dan tak menghasilkan uang ketimbang mendapati dirinya menjadi kecoa. Ia terus-menerus merutuki ketidakmampuannya sampai di kantor sebelum pukul tujuh.
Keterasingan Manusia Modern
Alegori Gragor Samsa ini lekat kaitannya dengan kehidupan manusia modern yang terasing, teralienasi, dan tak mengenal dirinya sendiri. Gregor, seperti masing-masing dari kita, hanyalah sekrup-sekrup kecil yang menyusun mesin raksasa kapitalisme. Laku hidup kita sebatas ditentukan untuk mencapai tujuan perusahaan dan mengejar target-targetnya. Kita tidak pernah dilihat sebagai individu unik, alih-alih sebatas komoditas yang dapat dicampakkan sewaktu-waktu saat tak lagi dibutuhkan.
Hal ini diperparah dengan kehadiran Kepala Kepegawaian yang berkunjung ke rumah Gregor hanya karena ia belum hadir di kantor tepat waktu barang sehari. Ketidakhadirannya di kantor adalah sebuah kesalahan, dosa besar, dan tanda kemalasan. Absennya Gregor di kantor dinilai sebagai suatu kecurigaan dan tentu bakal merugikan perusahaan. Sebab, raupan keuntungan sangat bergantung pada individu pekerja yang bahkan terasingkan dari hasil kerja mereka sendiri.
Potret Gregor yang mendapati diri menjadi serangga menjijikkan serupa saat kita melihat bahwa diri kita masih hidup di suatu pagi dan kenyataan memberi tahu bahwa hari belum jua berakhir dan kamu mesti memaksakan diri untuk bangkit dari tempat tidur. Di tengah rangkaian perasaan khawatir, cemas, bersalah, dan penat, kamu mesti menata diri untuk bekerja dan menyelamatkan diri. Semua hal tampak mekanis: kamu seperti dikejar-kejar sesuatu dan kamu terus berlari untuk suatu hal yang tak dimengerti sebab kamu merasa bahwa di ujung sana ada setitik harapan semu akan kebahagiaan. Katakanlah kiamat bakal datang sekarang juga kalau kamu berhenti sebentar dan melambatkan diri.
Nyaris tiap-tiap dari kita pernah menjadi begitu mirip dengan serangga menjijikkan tak berguna dan terasingkan dari manusia lain.
Sebelum metamorfosis menimpa Gregor, ia sudah lebih dahulu merasa terasingkan sebagai pekerja. Ia menjalani rutinitas mekanis dan berulang tanpa akhir. Ia tak pernah benar-benar memiliki pengalaman personal dan mengenal orang lain secara “benar” dan intens. Pekerjaan merebut ruang-ruang personal yang bahkan tak sempat dimilikinya.
Kemudian, saat dirinya berubah menjadi kecoa, ia pun masih tetap terasingkan dari interaksi keluarganya. Ruang gerak dan perilakunya menjadi terbatas. Ia terpenjara dan tersisihkan di kamarnya–tak ada kehadiran keluarga di sisinya.
Gregor tambah terasing saat mendapati bahwa tak satupun keluarganya yang memahami ucapannya. Ia tak mampu menyuarakan segala keresahannya. Ia betul-betul menjadi kecoa tak berguna yang hidup untuk mendapati keterasingannya sendiri. Di sisi lain, ia mengerti arti tiap perbincangan keluarganya di jam makan, yang melulu membicarakan keadaan keuangan dan kemungkinan yang dimiliki keluarga mereka, tanpa pernah membahas Gregor.
Keluarga Samsa terlalu sibuk memikirkan pekerjaan dan imaji kebahagiaan dalam lembar uang, tanpa sekalipun mengerti bahwa kecoa itu tetaplah Gregor, bagian dari keluarganya. Usai kejatuhan Gregor, Ayahnya memilih bekerja di sebuah bank, sang Ibu menjahit untuk toko mode, sedangkan adiknya Grete bekerja sebagai penjual sambil belajar steno dan bahasa Prancis. Pekerjaan seakan merampas sisi empati dan naluri kemanusiaan mereka. Secepat itu pula keluarga Samsa menihilkan jerih payah yang pernah dilakukan Gregor dengan mengabaikan dan menganggapnya tak ada.
Mereka pun tak pernah kedapatan menjenguk Gregor. Sang ibu ketakutan setiap kali melihat penampakan tubuh Gregor. Sang ayah bahkan melihatnya dengan pandangan jijik dan berkali-kali berusaha membunuhnya. Hanya sang adik Grete yang mengurusnya dan memberikan makan. Itupun sembari menahan rasa jijik yang tak tertahankan, sebab Gregor hanya berselera memakan sayuran setengah busuk, tulang-tulang sisa makan malam, dan keju yang sudah tak layak dikonsumsi manusia.
Kekerasan Keluarga
Metamorfosa Samsa terdiri dari tiga bab yang kedua babnya melulu diakhiri dengan melibatkan kekerasan yang dilakukan sang ayah terhadap Gregor. Di bagian pertama, Pak Samsa mendorong Gregor melewati pintu hingga bagian samping tubuhnya tergores. Di bagian kedua, Gregor nyaris mati di tangan ayahnya karena dilempari apel sebelum akhirnya ditengahi oleh sang ibu.
Penggambaran sosok ayah dalam Metamorfosa Samsa dipengaruhi oleh ketakutan Kafka terhadap ayahnya, Hermann Kafka. Ia pernah menuliskan sosok kejam sang ayah dalam Letter to His Father (Brief an der Vater) yang menceritakan tindakan abusif dan menyakitkan yang dilakukan Hermann kepadanya.
Simbolisasi Lukisan dan Apel
Di kamar Gregor, terdapat lukisan dari potongan ilustrasi majalah yang dibingkai dengan pigura emas. Lukisan itu menggambarkan seorang perempuan yang duduk tegak dengan topi bulu dan kulit ular boa sambil mengangkat sarung tangan bulu. Saat Gregor kesulitan merangkak secara bebas ke seluruh penjuru ruangan karena berat cangkang di tubuhnya; Grete dan sang Ibu berinisiatif mengosongkan kamar Gregor. Termasuk dengan membawa pergi semua perabot dan lukisan tersebut.
Gregor merasa bahwa membawa keluar semua perabot di kamarnya sama halnya dengan melupakan masa silamnya sebagai manusia dan memperlihatkan bahwa keluarganya sudah melepaskan harapan dan meninggalkannya. Padahal, semua perabot di kamarnya berpengaruh baik terhadap kondisi Gregor; ia membutuhkannya untuk menjaga dirinya tetap waras dan sebagai upaya untuk terus mengidentifikasi dirinya sebagai manusia. Gregor berusaha menyelamatkan lukisan itu—mungkin lukisan itu pula menjadi satu-satunya entitas penghapus lara di tengah segala hal di dunia ini yang melulu diukur secara materiel.
Gregor merayap ke lukisan itu dan menekankan tubuhnya ke kaca pigura; menjaga lukisan tersebut tetap bersamanya. Namun, sang Ibu yang tidak pernah melihat Gregor dalam versi menjijikkan tak sengaja melihatnya sehingga membuat ibunya terkejut lantas pingsan.
Pak Samsa yang baru kembali pulang bekerja mengetahui bahwa sedang terjadi kekacauan, ia menganggap Gregor telah melakukan tindak kekerasan kepada ibunya. Ayahnya berubah emosional dan melemparinya dengan bombardir apel; yang menghantam dan tersangkut di punggung Gregor dan naasnya membuatnya terinfeksi serta kesakitan. Banyak yang merujuk apel ini sebagai simbolisasi buah terlarang pada kisah Adam dan Hawa di Taman Surga yang membuatnya “dikutuk” ke Bumi; ini pula yang menandai titik balik penderitaan Gregor dan membuat keluarganya melupakan Gregor seutuhnya.
Alienasi
Sebulan usai perubahan fisik Gregor, keluarga Samsa memutuskan untuk menyewakan beberapa kamar di apartemen kepada tiga orang lelaki. Hal ini pula yang membuat kehidupan Gregor makin tersisih. Kamarnya dijadikan sebagai gudang penyimpanan barang-barang sampai-sampai tidak ada ruang lapang bagi Gregor tinggal. Grete pun kini mulai ogah-ogahan memberinya makan dan nafsu makan Gregor pun merosot turun serta tubuhnya mulai oleng akibat luka fisik yang ditorehkan sang ayah di tubuhnya.
Hingga puncaknya, saat Gregor melihat permainan biola Grete di ruang makan sehingga membuat ketiga penyewa mengenali tampilan fisik Gregor yang menjijikan. Ketiga penyewa itu lantas memutuskan untuk keluar dari apartemen keluarga Samsa tanpa bayaran sepersen pun.
Hal ini membuat Pak Samsa marah tak keruan karena merasa Gregor adalah kesialan bagi perekonomian keluarga. Didorong ucapan Grete yang meyakinkan bahwa serangga menjijikkan itu bukanlah kakaknya, melainkan “monster”, mereka berusaha menyingkirkan Gregor hingga akhirnya ia meninggal dan ditemukan oleh pembantu tua yang sama sekali tidak takut melihat fisik Gregor.
Lingkaran Duka
Berbeda dengan kalimat pembuka yang begitu prihatin, novelet ini diakhiri dengan sebuah awal baru bagi keluarga Samsa. Mereka memutuskan untuk meminta izin tidak masuk kerja dan berlibur ke pinggiran kota. Apartemen yang dulu dipilihkan Gregor pun ditinggalkan, mereka memilih apartemen yang lebih kecil dan ringkas. Grete tumbuh menjadi gadis cantik dan menarik; mereka sedang mencarikan lelaki yang tepat bagi Grete.
Entah apakah awal baru yang ditandai dengan adegan Grete merenggangkan tubuh adalah pengulangan metamorfosis dengan nestapa yang sama yang dialami Gregor sebagai kelas pekerja atau justru sebaliknya.
Namun, di tengah entah kebahagiaan atau nestapa setelah ketiadaan Gregor, kita mesti menyepakati bahwa di antara rutinitas menyedihkan yang pernah ia lalui, Gregor Samsa bahagia dalam kematiannya.