Metal Gear Solid dan Disrupsi Media Penutur Cerita
Pada submisi column kali ini, Misu Satriyo membedah ekplorasi video game storytelling yang terdapat pada game Metal Gear Solid.
Words by Whiteboard Journal
Evolusi Media Permainan Elektronik
What was the first video game you ever played?
Bagi mereka yang mengidentifikasi diri sebagai bagian dari generasi X, kemungkinan besar jawaban dari pertanyaan di atas adalah Tetris, Space Invaders, Galaga, atau Pac-Man yang besar di masa kejayaan konsol Atari. Bagi millennials seperti saya, jawabannya mungkin sedikit lebih beragam; mulai dari Sonic The Hedgehog di platform Sega Genesis, Mario Bros di platform Nintendo Entertainment System (NES), hingga Crash Bandicoot yang dirilis secara eksklusif di konsol sejuta umat; Playstation 1.
Jika kita perhatikan, hampir seluruh video game saat itu merupakan permainan sederhana tanpa alur cerita yang berarti. Hal ini berkaitan erat dengan keterbatasan teknologi baik dari segi hardware maupun software. Salah satu faktor hambatan terbesar dari segi hardware adalah kapasitas memori yang terlampau kecil sehingga tidak dapat memuat data software yang terlalu kompleks. Pada masa itu, video game hanyalah sebuah perangkat lunak (software) sederhana yang didesain untuk hiburan berdurasi singkat (short burst entertainment).
Namun, seiring dengan berkembangnya teknologi, video game pun menjadi semakin kompleks dan variatif―baik secara konsep, game design, maupun dari segi plot cerita―yang kemudian berevolusi secara masif menjadi bagian dari pop culture di berbagai belahan dunia.
Di awal masa transisi itulah, mulai timbul realisasi publik bahwa video game merupakan sebuah media yang lebih dari sekedar mainan anak-anak. Jika ada film untuk pasar anak-anak dan pasar dewasa, mengapa video game tidak juga dibuat demikian?
Video game sebagai art medium sudah lama diperdebatkan berbagai kalangan. Pertanyaan utamanya kurang lebih seperti ini: Apakah video game dapat dianggap sebagai media ekspresi seni yang setara dengan film, musik, dan buku? Jika tidak, mengapa? Jika iya, bagaimana bisa?
Video Game Sebagai Media Penutur Cerita
Not all video games are created equal.
Sebelum berbicara mengenai video game sebagai media seni, perlu kita pahami terlebih dahulu bahwa not all video games are created equal. Ada game yang didesain untuk dimainkan secara kompetitif, ada yang ditujukan untuk sekadar having mindless fun. Namun, ada juga game yang didesain sebagai media penyampai cerita interaktif yang tidak terikat oleh batasan runtime sepanjang 2 jam seperti media film pada umumnya.
Kali ini saya akan sedikit membahas tentang jenis video game yang ke tiga; video game as a storytelling device.
Mendesain video game yang berfungsi sebagai media penutur cerita bukanlah hal yang sederhana. Bagi saya, sebuah game yang baik dapat dilihat dari 3 aspek utama, yaitu; game design, creative direction, serta plot. Sebuah game perlu memiliki gameplay loop yang menarik, dengan progression system yang memuaskan (rewarding). Dari sisi kreatif, saya pribadi sangat suka dengan game yang memiliki premis cerita dan teknik storytelling yang unik, musik yang merangsang emosi, serta elemen grafis dan audio yang immersive sehingga mampu membawa audiens masuk ke dalam dunianya.
Cara Kerja “Metal Gear Solid”
When video games get married with cinematography.
Salah satu game favorit saya sejak kecil adalah Metal Gear Solid 1 (selanjutnya; MGS) dari serial Metal Gear karya Hideo Kojima yang dirilis pada tahun 1998 untuk konsol Sony Playstation 1. Kesuksesan MGS baik secara substansi maupun secara komersial berhasil menelurkan sebuah franchise yang menginspirasi berbagai game bergenre stealth action lainnya, yang pada akhirnya berpengaruh besar terhadap industri video game secara keseluruhan hingga saat ini.
Mengusung jargon “tactical espionage action”, secara umum, konsep game design dari MGS cukup sederhana, yaitu mencapai objektif yang ditentukan tanpa terdeteksi oleh musuh. Namun konsep sederhana ini dikemas secara kreatif dan inovatif oleh Kojima dengan bentuk aksi infiltrasi agen rahasia dalam rangka menghentikan perang nuklir, sehingga premis sederhana tersebut dapat tumbuh dan berkembang menjadi suatu pengalaman bermain yang kompleks dan engaging.
Rasa puas yang didapatkan ketika bermain MGS tidak diukur dari seberapa banyak musuh yang berhasil kita kalahkan, namun dari seberapa banyak yang berhasil kita kelabui tanpa terdeteksi. Sepanjang permainan, kita disuguhkan dengan berbagai macam cara untuk dapat bersembunyi dan menyelinap dari patroli musuh untuk mencapai objektif yang juga beragam. Hal tersebut menuntut pemain untuk terus berpikir kreatif sebagai problem solver, dan hal inilah yang membuat saya “jatuh cinta” dengan serial MGS.
Seperti yang sudah saya sebutkan sebelumnya, gameplay loop utama MGS yaitu bergerak dari titik A ke titik B tanpa terdeteksi oleh musuh, lalu mengalahkan boss yang berada di titik B. Jika kita terdeteksi oleh musuh di tengah perjalanan, kita diberi kesempatan untuk melawan atau lari dan bersembunyi, sampai musuh kehilangan jejak. Namun, melawan musuh secara head-to-head biasanya tidak dianjurkan karena senjata dan amunisi yang kita miliki amat sangat terbatas. Terlebih lagi, musuh baru akan terus berdatangan tanpa henti sampai kita berhasil bersembunyi dan menghilangkan jejak.
Oleh karena itu, kita sebagai pemain diberikan berbagai macam opsi untuk bersembunyi dan menghilangkan jejak―seperti bersembunyi di dalam kotak kardus ataupun meletakkan objek di lantai untuk mengalihkan perhatian musuh―agar kita dapat mencapai tujuan dengan selamat. Mekanisme ini memotivasi pemain untuk terus bereksperimen dengan cara-cara yang kreatif.
Salah satu hallmark feature seri MGS adalah boss battle yang juga tidak kalah menarik dan inspiratif. Setiap boss memiliki lebih dari satu cara untuk mengalahkannya, sehingga kreatifitas pemain lagi-lagi berperan sangat penting terutama dalam hal puzzle solving. Selain itu, setiap boss juga memiliki gimmick yang unik, contohnya boss bernama Psycho Mantis yang mengharuskan pemain untuk memindahkan colokan kabel kontroler PS1 dari port player 1 ke port player 2 agar ia tidak dapat membaca atau memprediksi gerakan kita. Jika tidak, maka Psycho Mantis akan terus menghindar dari serangan-serangan yang kita lontarkan.
Interactive Storytelling Sebagai Ladang Basah Penulis Kreatif
The best story is the one with “us” in it.
Dari segi storytelling, kisah epik militer berbumbu politik serta aksi heroik Solid Snake (nama karakter utama) yang cukup emosional, membuat kita seolah sedang membaca novel best-seller tentang pahlawan spionase yang selalu membuat penasaran dengan kelanjutan ceritanya. MGS juga memiliki banyak adegan cinematic layaknya film Hollywood dan juga berbagai soundtrack original yang sangat mendukung suasana penyampaian cerita. Ditambah lagi dengan kualitas grafis yang terhitung sangat realistis pada masanya.
Walaupun seri Metal Gear Solid mengusung latar belakang sejarah geopolitik di dunia nyata (seperti Krisis Rudal Kuba dan intrik perang dingin antara Amerika Serikat versus Uni Soviet) serta tema-tema teknologi masa depan berbau fiksi ilmiah (artificial intelligence, nanotechnology), namun Kojima tidak pernah lupa untuk selalu memberikan sentuhan supranatural di dalamnya.
Hideo Kojima sebagai penulis, sutradara, dan game designer dari franchise Metal Gear Solid dikenal cukup ‘nyentrik’, terutama dalam hal cara penyampaian cerita. Kisah agen spionase berlatar belakang militer sekalipun dapat diolah oleh beliau menggunakan bumbu racikan khas Kojima dengan menyematkan elemen-elemen mistis dan fantasi di dalam cerita-ceritanya. Tidak luput juga momen-momen 4th-wall-breaking yang selalu berhasil membuat audiensnya tersenyum di tengah permainan.
Karakter Psycho Mantis yang secara literal mampu membaca isi pikiran orang lain adalah salah satu contohnya. Saya belum menyebutkan bahwa ia juga dapat terbang melayang-layang sesuka hati dan memiliki kemampuan telekinesis. Bahkan di seri-seri Metal Gear selanjutnya, Psycho Mantis juga diperlihatkan mampu melakukan teleportasi. Belum lagi karakter-karakter pendukung lainnya seperti Vulcan Raven; seorang shaman (dukun Voodoo) yang memiliki intuisi supranatural serta Sniper Wolf yang dikisahkan mampu berkomunikasi dengan serigala.
Elemen-elemen supranatural tersebut biasanya tidak diceritakan secara gamblang dari mana asal usulnya, dan audiens dibiarkan mengawang begitu saja dalam menikmati absurditas dunia a la Hideo Kojima. Namun ke-absurd-an inilah yang paling melekat dalam brand image Kojima sebagai maestro di ranah video game storytelling.
Paket Lengkap Dalam Bentuk Perangkat Lunak
It takes a lot of expertise to package “everything” into one coherent product.
MGS adalah game pertama yang menyadarkan saya bahwa industri video game merupakan industri yang masif dan melibatkan berbagai jenis disiplin ilmu; mulai dari programming, script writing, desain, animasi, concept/visual art, acting, voice acting, 3D modelling, hingga ke ranah musik dan sinematografi.
Semua aspek tersebut dikemas dalam satu paket perangkat lunak yang tersusun rapi sehingga mampu meninggalkan impresi pengalaman yang berkesan dan membekas bagi saya hingga saat ini―seperempat abad kemudian. Bagi saya, video game adalah kulminasi puncak dari perjalanan industri kreatif, maka, mengesampingkannya sebagai media seni dan literasi menurut saya adalah tindakan yang kurang bijaksana. Semoga Indonesia bisa segera memiliki Intellectual Property (IP) epik sekelas Metal Gear Solid di masa yang akan datang.