Menyendiri di Masa Pandemi
Pada submisi column kali ini, Yunia Dewi Fathmawati membedah tentang kesendirian dan cara menghadapinya di masa pandemi.
Words by Whiteboard Journal
“I find it wholesome to be alone the greater part of the time. To be in company, even with the best, is soon wearisome and dissipating. I love to be alone. I never found the companion that was so companionable as solitude.”
(Henry David Thoreau dalam Walden)
Kutipan di atas diambil dari sebuah buku berjudul Walden karya Henry David Thoreau, seorang filsuf Transendentalisme Amerika. Dalam buku tersebut, Thoreau menceritakan dengan cukup detil tentang bagaimana rasanya hidup menyendiri di hutan dan jauh dari hiruk-pikuk keramaian dan peradaban. Buku ini memang sengaja ditulis oleh Thoreau sebagai sebuah “reportase” dari eksperimen yang dia buat dan lakukan sendiri. Dia sengaja mendirikan sebuah kabin kecil di dekat danau Walden untuk tempat “mengkarantina diri” selama kurang lebih dua puluh enam bulan dengan kondisi yang serba terbatas. Walaupun sebenarnya, selama kurun waktu tersebut Thoreau tidak benar-benar sendirian, dia tidak sepenuhnya “pertapa” di sana. Terkadang, Thoreau masih bersosialisasi dengan orang lain, hanya memang membatasi diri dalam hal interaksi sosial.
Sebenarnya tidak ada yang tahu pasti tujuan Thoreau melakukan eksperimen ini untuk apa. Beberapa orang berasumsi kalau Walden adalah sebuah bentuk protes politik individual Thoreau terhadap sistem kapitalisme Amerika dan gaya hidup masyarakat modern. Asumsi lain yang muncul adalah bahwa eksperimen “isolasi diri”-nya Thoreau ini adalah sebagai salah satu perjalanan self spiritual-nya. Di sisi lain, ada juga yang berpendapat kalau Walden merupakan bagian dari personal declaration of independence-nya Thoreau sendiri. Tiap orang berhak punya interpretasi masing-masing terhadap karya ini, tapi disadari atau tidak, jika ditelaah lebih lanjut, sebenarnya gambaran besar situasi kehidupan Thoreau dalam buku Walden memiliki kemiripan dengan apa yang sedang kita hadapi sekarang ini: Kondisi kita yang serba terbatas akibat pandemi COVID-19.
Dalam artikelnya yang dimuat di New York Times, Holland Cotter (2020) berpendapat bahwa kondisi kita saat ini secara garis besar kurang lebih sama dengan apa yang dialami Thoreau dalam Walden. Perbedaannya adalah jika kita terpaksa terjebak di dalam situasi yang tidak pasti ini: Terpaksa membatasi kontak sosial dengan orang lain, terpaksa bekerja/belajar di rumah, dan banyak lagi keterpaksaan lainnya, sementara Thoreau secara suka rela menciptakan skema yang hampir sama. Meminjam istilah yang dipakai Cotter, Thoreau di sini menempatkan dirinya dalam sebuah keadaan yang bernama constructed solitude atau kesunyian/kesendirian yang terkonstruksi. Di samping perbedaan itu, meskipun apa yang kita hadapi sekarang bukanlah kondisi yang sengaja kita pilih, namun sebenarnya kita dapat memanfaatkan momen selama pandemi ini untuk menempatkan diri kita ke dalam mode solitude. Kita dapat memanfaatkan masa ini untuk belajar bagaimana caranya untuk “menyendiri secara utuh”.
Bagi sebagian orang, kata ‘kesendirian’ atau ‘kesunyian’ atau ‘solitude’ mungkin terdengar menakutkan, terutama untuk mereka yang sisi ekstrovert-nya lebih menonjol daripada introvert-nya. ‘Sendirian’ juga cenderung diasosiasikan dengan kata ‘kesepian’. Sigmun Freud bahkan berkata bahwa ‘solitude’ berkaitan erat dengan anxiety atau kecemasan. Freud menyatakan, “in children, the first phobias relating to situations are those of darkness and solitude” (dalam Crane, 2017). Pendapat Freud, jika dipikir ulang, memang sangat beralasan. Manusia yang memang terlahir sebagai makhluk sosial seringnya tidak bisa hidup jika tidak bergantung kepada manusia lain, entah itu keluarga, saudara, teman, sahabat, bahkan seorang musuh sekalipun. Misalnya, seseorang memutuskan untuk tidak lagi berhubungan dengan manusia lain, maka social judgement yang akan dia dapat akan beragam dan seringnya berstigma negatif: Diberi label sebagai manusia kesepian; manusia anti-sosial, introvert (dalam artian negatif), dikucilkan teman, dan lain-lain.
Tapi semakin ke sini, pernyataan Freud mengenai solitude tadi dipatahkan oleh beberapa orang, salah satunya seorang penulis dan editor buletin psikologi bernama Hara Estroff Marano. Dalam tulisannya yang dimuat di Psychology Today di tahun 2003, Marano mendefinisikan solitude (kesendirian/kesunyian) sebagai berikut:
“Solitude is the state of being alone without being lonely. It is a positive and constructive state of engagement with oneself.”
Intinya, solitude adalah keadaan di mana kita menempatkan diri dalam sebuah keadaan kesendirian, tanpa merasa kesepian. Marano juga membedakan antara solitude dengan loneliness atau kesepian. Dia berpendapat bahwa jika yang dimaksud dengan solitude adalah sebuah kondisi yang memang sengaja kita pilih tanpa ada pengaruh dari orang lain, sementara di sisi lain, loneliness atau kesepian cenderung didefinisikan sebagai sebuah “punishment” dari orang lain yang membuat kita merasa kekurangan perhatian, kasih sayang, dan semacamnya. Jika disimpulkan, loneliness atau kesepian sebenarnya hanyalah perasaan yang kita rasakan sebagai output dari apa yang orang lain lakukan terhadap kita, sementara solitude, kita memang sengaja menempatkan diri kita dalam keadaan benar-benar sendirian yang tidak hanya secara fisik, tapi juga secara mental dan pikiran.
Dalam unggahan Youtube Great Mind yang berjudul ‘On Marissa’s Mind: Kesendirian’ (2019), Marissa Anita berpendapat bahwa jaman hiperkoneksi seperti sekarang membuat kita banyak terpengaruh dengan masifnya informasi yang kita dapat dari berbagai macam medium, mulai dari buku, diskusi bersama teman, berita di TV, hingga berbagai macam media sosial. Informasi-informasi dari yang penting hingga yang tidak penting itu akan membuat pikiran kita merasa overwhelm dan secara langsung atau tidak akan memberi pengaruh terhadap personal thought atau personal decision kita sebagai seorang individual. Tidak hanya itu, seringnya, dari apa yang kita lihat dan cerna di medium-medium tersebut, dari media sosial khususnya, membuat kita merasakan beberapa feeling yang akhir-akhir ini sering dibicarakan (dan dirasakan) terutama oleh generasi Z dan millenial, contohnya seperti anxiety, overthinking, insecure, dll. Agar kita dapat benar-benar ‘merdeka dalam berpikir’ dan juga terhindar dari perasaan-perasaan negatif tersebut, kita harus mampu menempatkan diri kita dalam kondisi solitude atau kesunyian/kesendirian.
Agar dapat menempatkan diri dalam mode solitude, caranya tidak harus seradikal dengan mengasingkan diri dari peradaban seperti apa yang dilakukan Thoreau dalam Walden, atau benar-benar menjauhkan diri dari hubungan dengan manusia lainnya. Ada banyak cara untuk melatih diri kita agar dapat berada dalam kondisi ‘sendirian yang utuh’. Julia Guerra (2018) dalam artikelnya yang dimuat di Elite Daily berpendapat bahwa ada beberapa hal yang dapat kita lakukan untuk mengubah rasa kesepian kita menjadi waktu solitude yang akan banyak memberikan manfaat untuk perkembangan diri kita.
Yang pertama, Guerra menyebut bahwa ‘take a step back from all things social media’ dapat melatih diri kita untuk bisa benar-benar ‘sendirian’. Tidak dapat dibohongi jika di jaman modern seperti sekarang, handphone dan social media seperti sudah menjadi kebutuhan primer, sejajar dengan kebutuhan Sandang, Pangan, dan Papan. Untuk sebagian besar orang, ketergantungan terhadap media sosial sudah memasuki level candu. Dan disadari atau tidak, saat kita menghabiskan me time saja sebenarnya kita tidak benar-benar sendirian, ada HP yang menemani. Maka dari itu, dapat dikatakan jika solitude itu sendiri adalah ‘the next level of me time’. Untuk menempatkan diri ke dalam kondisi solitude, langkah yang diambil tidak harus seekstrim berhenti menggunakan handphone atau menghapus semua media sosial. Cukup dengan mengurangi intensitas membuka sosial media saja. Cara termudahnya adalah dengan mematikan notifikasi. Walaupun tidak dapat dipungkiri bahwa menghapus media sosial adalah cara yang lebih baik, terutama untuk media-media sosial yang dapat memicu perasaan-perasaan negatif tersebut muncul. Kurun waktunya juga tidak harus selamanya, set waktu sesuai kebutuhan, bisa sehari, seminggu, sebulan, atau mungkin sewindu. Semampunya saja karena segala sesuatu yang dipaksakan toh hasilnya juga tidak akan baik. Tapi percaya atau tidak, jika sudah merasa nyaman hidup tanpa media sosial, sekali membukanya malah akan terasa aneh. Efek seperti ini mungkin tidak akan berlaku untuk semua orang, tapi tidak ada salahnya juga untuk mencoba.
Langkah kedua adalah ‘think about what’s actually making you feel left out’. Di sini Guerra menyarankan untuk kita mencari tahu apa yang sebenarnya membuat kita merasa kesepian. Alasannya bisa jadi karena selama ini kita sangat bergantung kepada orang lain, menggantungkan apapun, dari mulai melakukan kegiatan-kegiatan kecil seperti makan, pergi ke kamar mandi, hingga menggantungkan kebahagiaan kita ke beberapa orang. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan menggantungkan diri kepada manusia lain, tapi jika hal ini membuat kita menjadi tidak mandiri, maka hal itu sudah menjadi toxic. Jika sudah menemukan alasannnya, maka sekarang mulailah untuk melakukan semuanya sendirian. Awalnya akan terasa kesepian, namun sekali sudah dapat menikmati kesendirian itu, maka kita sudah berhasil untuk memutus ‘mata rantai ketergantungan ke orang lain’ tersebut.
Yang terakhir, Hannah Lucas (dalam Guerra, 2018) menyebutkan jika ‘spoil your mind, body, and spirit with a lot of self-pampering’ juga dapat dilakukan di masa solitude. Pampering di sini bisa berbagai macam bentuknya, tergantung kebutuhan atau preferensi tiap individu, bisa dengan membaca, melukis, olahraga, nonton film, menulis, berkebun, menjahit, yoga, dan masih banyak kegiatan lain yang dapat dilakukan. Sewaktu melakukan self-pampering, jangan lupa juga untuk mematikan handphone dan fully being aware and focus kepada apa yang sedang kita kerjakan. Lucas menambahkan, dengan melakukan self-care, kita dapat mulai merasakan nikmatnya menyendiri tanpa merasa sepi. Hal ini sangat masuk akal karena pada saat kita menghabiskan waktu untuk self-pampering, kita benar-benar fokus terhadap kegiatan kita dan perasaan kita saat melakukan kegiatan itu. Pikiran kita yang seringnya bercabang ke mana-mana menjadi terfokus ke satu hal saja.
Sebenarnya solitude sendiri memiliki banyak makna, level, dan versi. Tiga hal di atas adalah versi sederhana yang dapat dilakukan agar kita dapat melatih diri kita untuk sendirian dan less-depending on someone else, tanpa merasa kesepian. Selain itu, tiga hal tadilah yang paling memungkinkan untuk dilakukan di masa ‘New Normal’ yang mungkin tidak akan bisa kembali normal lagi seperti dulu ini. Banyak dari kita yang rindu kumpul dengan teman, makan di restoran bersama keluarga besar, menonton film di bioskop bersama kekasih, kuliah tatap muka dan diskusi tugas bersama teman-teman kampus, atau menonton konser bersama para sahabat. Kondisi sekarang membuat kita untuk, mau tidak mau, banyak menghabiskan waktu di rumah, kos, kontrakan, apartemen, dll. Dan in the end of the day, kita tidak dapat merubah faktor eksternal yang sedang terjadi sekarang, yang dapat kita lakukan hanya memanfaatkan waktu dengan sebaik mungkin dan tidak tenggelam dalam kekalutan. Maka dari itu, manfaatkanlah momen pandemi ini untuk menghabiskan waktu sebanyak-banyaknya dengan diri sendiri.
Sebagai penutup, ada sebuah kutipan bagus dari Eve Ensler: “Cherish your solitude. Take trains by yourself to places you have never been. Sleep out alone under the stars. Learn how to drive a stick shift. Go so far away that you stop being afraid of not coming back. Say no when you don’t want to do something. Say yes if your instincts are strong, even if everyone around you disagrees. Decide whether you want to be liked or admired. Decide if fitting in is more important than finding out what you’re doing here. Believe in kissing.” Cermati tiap katanya, diresapi, tidak semua harus dilakukan karena memang ada beberapa list yang tidak mungkin dilakukan di masa-masa sulit ini. Pada intinya, carilah keadaan solitude yang sesuai dengan dirimu dan sekiranya membuatmu nyaman.
Selamat menikmati masa solitude-mu!