Menjalani Karantina sebagai Ekstrovert, Belajar Berteman dengan Diri Sendiri
Di edisi Open Column kali ini, Dianti Saddono menceritakan proses pembelajaran yang dihadapi selama karantina sebagai seorang ekstrovert.
Words by Whiteboard Journal
Tiga bulan terakhir ini menjadi periode yang aneh bagi kita semua.
Terbiasa dengan beraktivitas di luar rumah, kini kita harus beradaptasi, berkecukupan dengan apa yang kita miliki di dalam rumah. Mindset “kalau keluar rumah tapi ga perlu-perlu amat tidak hanya bahaya untuk diri sendiri, tapi juga orang lain”, juga kerap menjadi pertimbangan paling utama ketika (setidaknya saya) perlu keluar rumah.
Awalnya, saya hanya pikir, “Seberapa susahnya sih, di rumah aja?” well, buat saya yang ekstrovert ini, kesulitannya benar-benar terasa setelah satu bulan pertama hanya ada di kamar kosan aja.
Tapi, jika dibilang tiga bulan belakangan ini hanya berisi hal-hal negatif, saya tidak setuju. Saya jadi tahu apa, dan siapa, yang valuable buat saya, dan yang saya value. Berhadapan dengan situasi yang penuh uncertainty seperti ini, brings out the real person in you. Bahkan, proses pemahaman diri sendiri juga terjadi dengan lebih dalam di periode ini, terutama seperti saya, yang dua dari tiga bulan periode ini dihabiskan di kamar kos. I have no choice but to communicate, to listen, and sometimes find a way to be friends with myself. Walau saya rasa sebetulnya sudah, tapi kali ini proses pengenalan diri itu bergerak menjadi pemahaman. Saya merasa lebih paham diri saya sendiri. Ini tentu dituturkan dari kacamata personal saya yang privileged untuk tetap bisa menjalani hidup meski harus terbatas di dalam ruangan.
Selain pemahaman terhadap diri sendiri, pembelajaran berharga yang saya dapatkan adalah memilih. Memilih berita mana yang ingin saya konsumsi, informasi apa yang saya ingin tahu pada saat tertentu, hingga belajar untuk memilih apa yang saya pikirkan, atau rasakan. Belajar memilih, adalah hal yang susah buat saya. Sounds very ideal to be able to choose, tapi tidak jarang kita tidak paham mana yang lebih perlu untuk dipilih, bahkan bantuan orang lain untuk membantu kita melihat mana yang sebaiknya ada di dalam pilihan kita.
Dan seringkali, belajar untuk memilih mempertemukan saya dengan poin pembelajaran ketiga yang saya rasa lebih susah lagi. Surrender. Accepting. Ikhlas. Apapun itu sebutannya, letting go of things we can’t control adalah konsep yang kerap banyak dijumpai di society manapun. Dalam agama saya kami mengenal istilah ikhlas, sebuah kondisi di mana kita menjalani, memberi dengan tulus. Berada dalam situasi pandemi seperti ini, butuh usaha kolektif, dukungan dari pemerintah dengan prioritas yang tepat, serta pengertian yang dalam terhadap virus yang tengah kita hadapi. Lalu, apa yang bisa dilakukan? Ya ikhlas, mengikuti protokol, stay di rumah dulu jika memungkinkan, cuci tangan, jaga jarak.
Dan terakhir, saya jadi paham, dalam kondisi tidak bisa intens tatap muka begini, siapa yang benar-benar peduli dengan saya, siapa yang benar-benar saya pedulikan. Sahabat-sahabat yang tetap reach out dan mengobrol dengan saya, tanpa adanya rasa canggung sudah sekian lama nggak ketemu. Pertemanan yang tulus, hubungan yang tulus, muncul dengan sendirinya ke permukaan di masa sulit seperti ini.
Situasi PSBB yang hampir selesai saat ini, banyak meninggalkan kesan di dalam diri saya. Pada akhirnya, saya cuma ingat hal-hal baik yang saya dapatkan selama ini. Saya harap juga begitu dengan teman-teman – pasti ada hal buruk yang kita rasakan saat ini, tapi semoga, hanya hal-hal baik yang kita ingat dan kita jadikan pelajaran untuk menjadi manusia yang lebih dewasa lagi.
Jakarta, 23 Juni 2020.