Menjadi Diri Sendiri di antara Orang-orang Yang Ingin Menjadi Orang Lain
Submisi open column dari Ghina Prameswari yang menceritakan perjuangannya melewati proses pencarian jati diri.
Words by Whiteboard Journal
Mulai dari bangku Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah Pertama, aku selalu jadi anak yang paling vokal di kelas. Jika anak kecil bisa turun ke jalan untuk demonstrasi, maka aku akan ada di lini depan, memprotesi apa – apa saja yang dirasa salah. Protes yang aku layangkan juga bermacam – macam, ketika SD aku protes soal kenapa murid perempuan diwajibkan belajar tarian daerah, menurutku mata pelajaran itu kurang penting. Kecintaan terhadap kebudayaan toh tidak akan hadir dengan cara dipaksa, selain itu guru tarinya juga galak dan bilang bahwa aku kurang luwes dalam bergerak (kalau dipikir lagi barangkali ini alasan utama aku tidak suka pelajaran tari dari awal). Aku juga protes soal bagaimana kelas tidak seharusnya terasa panas, karena kami telah bayar uang yang tidak sedikit untuk bisa masuk SD swasta, maka fasilitasnya pun juga harus mumpuni. Aku memprotes program sekolah yang dirasa terlalu memberatkan serta aturan – aturan yang bersifat diskriminatif terhadap perempuan. Aku adalah orator ulung pada masanya, aku bisa kumpulkan teman – teman untuk membuat jajaran petinggi yayasan mengubah kebijakan sekolah. Andai saja saat itu aku bukan bocah 12 tahun, barangkali aku sudah bisa bikin negara. Saat itu aku merasa punya kekuatan, dan suaraku menggema, mereka lantang sekali.
Rangkaian kejadian itu memupuk sifat yang begitu dominan dalam diriku. Aku adalah seseorang dengan kemauan yang begitu kuat, pandangan yang jelas, seringkali keras kepala dan seenaknya. Aku memegang teguh apa yang aku rasa benar, aku berjalan tanpa menengok ke kiri dan kanan, dan tanpa tekanan untuk menjadi siapa – siapa. Tapi sifat – sifat itu dirasai sedikit meluntur akhir – akhir ini. Sekarang aku adalah seorang mahasiswi semester awal. Tentu semua berubah, tidak ada lagi kelas tari atau pemilihan ketua OSIS, itu aku mengerti. Tapi pendirian kuat itu seolah sedang diuji, di lingkungan yang menuntut ku untuk berpakaian nyentrik dan memberontak, aku justru mendapati diri melakukan hal yang tidak menjadi sifat alamiahku; diam.
Aku dikelilingi oleh perempuan – perempuan yang terlihat begitu merdeka. Rambut mereka bukan panjang dan hitam berkilau sebagaimana pada iklan di teve, tapi hijau jamrud, biru kobalt, dan magenta. Sepatunya juga bukan hak tinggi, tapi sepatu bot yang dirasa lebih cocok untuk dipakai melakukan pekerjaan konstruksi. Rantai, baju band cadas, lipstik warna gelap, rokok di tangan kiri, diisap dalam dalam bersama dengan iringan lagu Norah Jones. Semuanya berkiblat pada Courtney Love atau Winona Ryder. Begitu cantik, tapi tidak dalam makna yang konvensional. Mereka adalah cantik yang baru, rasanya ingin sekali jadi bagian dari kultus itu.
Menjadi diri sendiri adalah sebuah kemewahan. Mengungkapkan perasaan tanpa perlu meminta maaf, menentukan sikap dalam banyak hal, serta menegaskan apa yang kita sukai dan apa yang tidak merupakan puncak dari kepercayaan diri yang ingin kita semua capai. Barangkali itu mengapa Kanye West terlihat begitu gemilang di mataku. Terlepas dari pandangan politik serta bagaimana ia menanggapi beberapa hal, Kanye West adalah Kanye West, satu dari seribu, dan bukankah menyenangkan jika dapat hidup tanpa beban untuk menjadi orang lain?
Aku menghabiskan beberapa waktu untuk berpikir mengenai hal ini, barangkali terlalu banyak waktu untuk kebaikanku sendiri. Tapi, semakin dipikirkan semakin aku tersiksa pula. Rasa kecewa yang berlebihan pada diri sendiri karena tidak lagi bangga pada hal – hal yang menjadikan aku berbeda, serta keinginan untuk dibentuk menjadi prototip perempuan keren masa kini. Aku tidak minum,tapi andai saja aku bisa maka aku akan! karena ingin sekali rasanya, bisa dilihat sebagai seseorang yang bebas dan mendobrak. Begitu inginnya, sampai semua menjadi satu paradoks yang menyedihkan, tentang bagaimana aku ingin melampaui batasan – batasan yang selama ini ku pasang untuk diri sendiri dengan memasukkan diriku ke dalam kotak – kotak baru dengan label bebas & merdeka di depannya. Seperti Zebra yang dibawa dari Madagaskar untuk ditaruh pada kebun binatang, yang sebenarnya aku kejar justru adalah besi – besi tinggi yang terlihat mewah dan gemerlap dari luar. Sementara segala hal yang hidup di dalamnya merasa kosong dan kesepian.
Semua gadis terlihat sama, suatu waktu di Pondok Indah Mall, dua gadis di dalam satu meja yang sama memiliki pakaian dan potongan rambut yang identik. Aku memiringkan kepala memastikan mereka bukan kembar, ternyata bukan. Lalu di meja sebelahnya sekumpulan laki – laki dengan pakaian yang sama pula, gaya bicara yang dipaksa dan sungguh terdengar memuakkan. Semua orang mengada – ngada, menghidupi hidup yang tidak kita punya, berpose di atas kapal ferry memimikkan Kendall Jenner dan Hailey Baldwin. Aku membuka instagram pada suatu malam minggu, semua orang kembali mengada – ngada. Kenapa kita harus makan di restoran yang sebenarnya tak dapat kita bayar, menjepret foto fillet mignon dengan parutan truffle bermandikan saus bechamel. Makanan itu hanya akan aku makan sekali, tapi semua orang harus tahu! karena citra yang aku pahat sebentar lagi akan jadi, hasil dari mengada – ngada yang tak akan sia – sia.
Tulisan ini dapat membuat aku terlihat dengki. Tapi toh aku tak peduli, setidaknya ini adalah kiat – kiat yang dapat aku lakukan untuk bisa menjadi seperti Kanye West. Lihat kan? bahkan dalam ocehan panjang tentang kegundahan mencari jati diri aku tetap ingin menjadi orang lain! satu paradoks yang menyedihkan.
Kita semua datang dari latar yang berbeda – beda, beberapa hidup cukup beberapa lagi berkelebihan dan beberapa merasakan sulit yang lebih dari orang lain. Setiap jenjang membentuk kita menjadi pribadi tertentu, seorang gadis manja barangkali harus menjadi mandiri ketika ia dipaksa untuk menghidup dirinya sendiri. Seorang perempuan yang tangguh mungkin akan melunak ketika dihadapkan dengan hal – hal yang membutuhkan pengorbanan. Laki – laki yang cuek dituntut untuk peduli ketika hidup sedang keras – kerasnya. Dan seterusnya, dan seterusnya. Kita adalah hasil dari kejadian yang terjadi pada masa lalu, bukan berarti kita ditentukan oleh kejadian – kejadian itu, mereka bukan siapa kita, tapi tentu adalah bagian dari diri kita saat ini. Aku rasa sebagian orang dikaruniai kemampuan untuk mengetahui siapa dirinya lebih cepat. Sementara yang lain harus mem-bunglon sebelum akhirnya nyaman dengan dirinya sendiri. Aku tak tahu harus mengolongkan diriku pada kategori yang mana, barangkali aku hanya berdiri statis diantara bunglon – bunglon lainnya.
Tulisan ini panjang dan tak urut, aku sadar betul. Tapi izinkan aku untuk sampai pada satu kesimpulan besar; semua hal adalah prefrensi, hidup adalah perihal memilih, tidak sepatutnya aku atau siapapun menghakimi apa yang kamu putuskan untuk lakukan dengan hidupmu. Jika kamu ingin membunglon menjadi vokalis perempuan favorit mu maka itu tidak apa – apa. Jika kamu ingin membunglon kedalam grup orang – orang yang begitu artsy dan menonjol, maka silahkan saja. Itu adalah proses yang harus kamu jalani untuk kemudian menyadari bahwa mungkin bungkus demi bungkus cat rambut dan puntung demi puntung rokok bukan untuk mu. Mungkin kamu lebih bahagia menjadi hal – hal lain, dan itu tidak apa – apa.
Berbahagialah orang – orang yang sudah tahu persis siapa mereka. Semoga aku dan kawan – kawan bunglon lainnya kelak juga akan sampai disana.
Lakukan apapun yang kamu perlu lakukan untuk bisa menjadi dirimu sendiri, karena dunia hanya perlu satu Courtney Love dan satu Winona Ryder saja.