Menjadi Cina di Indonesia
Cerita personal tentang pengalaman menjadi warga Chinese Indonesian di negeri tercinta.
Words by Whiteboard Journal
“You think your pain and your heartbreak are unprecedented in the history of the world, but then you read. It was books that taught me that the things that tormented me most were the very things that connected me with all the people who were alive, who had ever been alive.” – James Baldwin
Sebagai seorang warga Chinese Indonesia, seringkali saya merasa bagaikan lembaran kertas putih. Kosong, bersih, polos—tanpa masa lalu dan sejarah, dengan masa depan yang terhampar luas, menunggu tergores cerita.
Entah sejarah yang takut dengan kaum Chinese Indonesia atau kami yang takut dengan sejarah. Namun dalam buku-buku pelajaran sejarah Indonesia, identitas kami begitu lekat dengan Mei ‘98, G30SPKI, dan yang paling lampau, pembantaian massal kaum Chinese abad ke-17 yang dimotori oleh Belanda. Di luar cerita-cerita tragis yang identik dengan pembantaian, tidak banyak cerita yang terasa nyata. Yang ada hanyalah bisikan-bisikan dan gosip-gosip tentang siapa kami dan bagaimana kami, namun jarang sekali ada pembahasan sejarah Indonesia dari sudut pandang Chinese Indonesia, selain Soe Hok Gie.
Saya pun besar dengan perasaan bisa menjadi apa saja. Di generasi saya yang sudah terlampau jauh berpisah dari adat istiadat Chinese, tidak banyak rekoleksi, cerita, benda, dari negeri tersebut yang masih kami ingat dan jaga. Seumur hidup, tidak pernah kami berbahasa Chinese, bahkan mengasosiasikan diri kami dengan negara tersebut. Kulit kami mungkin putih dan mata kami sipit, namun lihat lagi lebih dalam belum tentu ada yang “Chinese” di situ.
Saya adalah kertas putih, tanpa sejarah dan tanpa masa lalu. Nama kami Barat, agama kami Kristen, dan Chinese New Year hanyalah momen mendapat ang pao.
Anehnya, tidak banyak yang bisa dikatakan dari sesuatu yang tidak ada. Teman saya, seseorang keturunan Arab lahiran Bali, mengingat betul cerita tentang bagaimana pada tahun 1940-an, Kaum Hadramaut, secara official menyebut Indonesia sebagai tanah air-nya sendiri. Ini adalah momen historis bagi mereka, yang berarti mereka tidak lagi menyebut Yemen sebagai negara dimana mereka mempertaruhkan nyawa mereka. Pada saat yang sama, cara mereka menamakan anak mereka masih baku mengikuti aturan, sehingga nama pacar saya masih bisa ditelusuri hingga ke Yemen sana. Ada buku bertuliskan silsilah, katanya. Dan pernah suatu hari, seorang keluarga jauh dari Yemen menghubunginya dan ingin bertemu keluarganya di Lombok. Mereka belum pernah bertemu.
Kadang saya cemburu dengan dia dan juga dengan teman-teman Bali saya yang masih kerepotan menjaga adat istiadatnya. Lelah, tapi ada rasa puas tersendiri.
Ketika saya kuliah di San Francisco, Amerika Serikat, sebagian besar teman saya adalah imigran. Orang tua mereka pindah dari Filipina, Mexico, Korea, India ke Amerika, sementara mereka lahir dan besar di Amerika Serikat. Pertanyaan “kamu asal mana?” adalah pertanyaan sensitif bagaikan mempertanyakan seksualitas mereka karena bagi mereka, jawaban itu jelas: Bay Area. Bukan Filipina, Mexico, Korea, ataupun India.
Mereka melihat diri mereka 100% American, walaupun warga kulit putih seringkali tidak percaya dan masih mempertanyakan: “where are you really from?” Namun jika ditanya tentang identitas mereka sebagai imigran, mereka cukup khatam tentang bagaimana mereka bisa tiba di Amerika Serikat, perjuangan apa yang orangtuanya mesti beri ketika mereka tiba sebagai orang asing dan mengapa mereka meninggalkan negara asal mereka.
Keluarga saya mungkin sudah tinggal di Indonesia terlampau lama, sehingga kisah perantauan ke bumi Nusantara sudah jauh dari kami ketahui. Sementara itu, kedua kakak ipar saya adalah generasi imigran kedua dan ketiga dan keduanya jauh lebih lafal bahasa Hokkien daripada keluarga besar saya yang lebih jago bahasa Belanda campur Jawa.
Namun di luar itu semua, selalu saya merasa tidak ada budaya yang mesti saya lestarikan; tidak ada nama dan momen yang harus kita ingat; tidak ada masa lalu yang mesti disimpan. Tidak banyak kisah kami di buku sejarah, juga dalam perbincangan makan malam. Kisah Cina Peranakan di Nusantara terbatas di tempat-tempat tertentu, waktu-waktu tertentu.
Kertas putih. Dan kadang itu menjadi menyenangkan. Itu artinya, ketika kita dewasa, kita bisa menjadi siapa saja dan mengadopsi identitas apa saja, tanpa memikirkan beban masa lalu dan tanggung jawab terhadap budaya.
(Lagipula, budaya apa yang mesti kita lestarikan pula? Memiliki nama Chinese saja tidak boleh dan generasi millennial sudah tidak memiliki nama Chinese lagi.)
Namun belakangan ini, mulailah ‘asal-usul’ menjadi perbincangan di tengah masyarakat lagi. Kisah bully Anis dan identitas Arab, misalnya, seakan-akan warga Indonesia baru tersadar bahwa ada bangsa Arab di tengah-tengah mereka, walaupun hal ini bukanlah hal baru.
Istilah ‘imigran’ bukanlah istilah yang umum kita dengar di Indonesia. Bahkan saya baru benar-benar memahami makna dan dampak dari fenomena migrasi ini ketika saya berada di Amerika Serikat, di mana kaum imigran adalah segmen masyarakat yang banyak menggerakan roda perekonomian dan membentuk culture negara tersebut. Sementara sepanjang 18 tahun saya belajar di Indonesia, hampir tidak pernah saya mendapat pelajaran tentang sejarah imigran.
Diskursi imigran, dari dulu hingga sekarang, seakan-akan tabu untuk dibicarakan, dianggap tidak ada. Imigran dianggap sudah otomatis melebur menjadi satu dengan Indonesia dan diskusi mengenai sejarah para pendatang selalu berpaku terhadap apa yang baku tertulis di buku sejarah, bukan secara luas dan personal.
Mungkin saja, untuk menjaga martabat Nusantara, identitas dan cerita imigran pun dinomorduakan. Menyatukan ribuan suku bangsa dan bahasa saja butuh usaha ekstra, apalagi melibatkan budaya asing. Mungkin maksudnya untuk meminimalisir perselisihan, terbukti dari minimnya cerita-cerita tentang imigran di buku sejarah. Padahal, cerita ‘pindah rumah’ ke negara lain selalu menjadi momen bersejarah yang mentransformasi identitas imigran dan kehidupan lokal.
Di sisi lain, saya sendiri besar tidak pernah merasa sebagai seorang imigran. Samar-sama saya ingat Mama saya pernah berkata kepada saya bahwa walaupun kita Chinese, kita adalah orang Indonesia. Namun jika memang itu kenyataannya, mengapa ras kami masih menjadi topik pembicaraan? Mengapa segregasi dan segmentasi itu masih terasa kental, terlihat dari perumahan-perumahan yang dipenuhi warga Chinese Indonesia, seakan-akan kami lebih baik mengelompokkan diri, terpisah dari kelompok lain? Mengapa masih ada rasa ketakutan di kelompok Chinese Indonesia itu sendiri untuk membaur dengan kaum yang lain?
Di saat di mana kartu SARA sudah semakin umum digunakan, sejarah seyogyanya tidak perlu dipermainkan lagi. Tidak melulu kisah-kisah tragis yang perlu kami dengar dan pelajari, namun juga semua kisah lainnya yang membuat cerita para pendatang lebih utuh: tentang oma-oma pedagang jamu, tentang nasib warga Chinese Indonesia yang jadi gelandangan, klenteng yang berpadu dengan budaya lokal, dan lainnya. Sosok-sosok yang berprestasi membentuk budaya Indonesia, baik secara rumahan maupun secara nasional; baik beratus tahun silam maupun berapa tahun belakangan; baik mereka yang kemudian mengubah namanya menjadi nama Barat maupun mereka yang masih menggunakan nama Chinese-nya.
Ketika kita memiliki gambaran yang lebih lengkap tentang sejarah imigran Chinese, Arab, India dan lainnya, apakah toleransi akan dalam sekejap muncul? Ha—tidak juga.
Namun setidaknya, ketika melihat ke belakang, ada jejak cerita yang terlihat—jejak yang bisa kita telusuri hingga ke masa kini. Dan ketika kita melihat ke masa sekarang, kita tahu betul asal-usul kegelisahan yang seringkali di luar nalar. Karena sejarah imigran pun adalah sejarah bangsa Indonesia. Memisah-misahkannya dan menutup-nutupinya hanyalah memendam rahasia yang tidak bisa tinggal diam, dan suatu hari akan meletus keluar.
Sudah waktunya kita tidak berasa seperti kertas putih lagi, kertas kosong tanpa goresan-goresan cerita masa lalu. Karena Indonesia tidak hanya terdiri dari mereka yang natif, namun semua lainnya yang ikut bertempur untuk berdirinya negara Indonesia.