Menikah: Tahapan dalam Kehidupan yang Tak Lagi Relevan
Pada submisi column kali ini, Adella Putri berargumen bahwa pernikahan merupakan norma sosial yang usang dan bagaimana kita dapat menyikapinya secara bijak, dengan tidak menjadikan hal tersebut sebagai tahap kehidupan yang wajib ditempuh setiap orang.
Words by Whiteboard Journal
Pernikahan sering kali diromantisasi sebagai sebuah pencapaian dalam kehidupan. Hajat yang besar dan mahal acap kali diselenggarakan ketika anak gadis dipinang oleh Sang Pangeran. Semarak prosesi akad, resepsi, unduh mantu, dan tradisi lainnya seakan memvalidasi pernikahan sebagai sebuah pencapaian yang besar.
“Kapan menikah?” tampaknya telah menjadi template bahan percakapan om dan tante ketika kumpul keluarga.
Rasanya seakan pernikahan adalah tahapan yang besar, layaknya sebuah anak tangga dalam kehidupan. Sayangnya, tak semua orang mengamini hal ini. Selaras dengan lantunan Petra Sihombing, “Lulus, kerja, menikah, beranak, apa lagi?” pernikahan dianggap sebagai hierarki dalam kehidupan.
Pada kenyataannya, tak sedikit yang memilih acuh dan enggan menghiraukan kecaman di luar sana. Mereka dengan pecaya diri melangkahi pernikahan untuk menginjakkan kaki di anak tangga kehidupan yang lain. Barangkali gagasan pernikahan sudah tidak lagi relevan untuk mengilustrasikan konsep bermasyarakat saat ini.
Memang tidak ada urutan pasti mengenai waktu yang ideal untuk menikah. Hanya saja, masyarakat kita memang cukup sibuk menyusun norma-norma yang menyegerakan manusia untuk saling melamar. Dengan kata lain, menikah menjadi social proof, sebuah fenomena ketika individu merasa melakukan sesuatu yang benar ketika tindakannya sama seperti kebanyakan orang. Semakin banyak orang yang berperilaku serupa, maka semakin layak dan tepat perilaku tersebut.
Sekolah-kerja-menikah-punya anak, begitu kiranya tahapan yang dianggap layak dan tepat oleh masyarakat. Tak henti sampai di situ, rentetan pertanyaan “Kapan punya rumah?” dan “Kapan punya momongan?” akan terus mengekor hingga setiap check list pada aturan tak tertulis itu telah diikuti. Rasanya, kita seperti memuaskan ego orang-orang yang tak benar-benar hadir dalam kehidupan kita.
Terlepas dari apa yang akan terjadi setelah menikah, adanya kaidah tak tertulis yang melekaskan manusia untuk menikah tentu berpengaruh bagi masyarakat. Label “perawan tua” atau “bujang lapuk” dengan gampang dihadiahkan pada mereka yang belum menikah di usia 25 tahun ke atas. Seolah-olah, labeling memang patut disematkan sebagai konsekuensi atas pilihan bebas mereka sebagai manusia.
Lantas, bagaimana jika menikah memang bukan pilihan mereka sejak awal?
Sayangnya, setiap pilihan tidak bisa diikuti dengan penjelasan. Tidak semua orang bebas menyampaikan klarifikasi atas apa yang mereka ijabkan. Lagi-lagi, karena norma yang bahkan tidak pernah mereka sepakati secara sadar.
Di era di mana mimpi dan ambisi menjadi bahan bakar utama dalam kehidupan, pernikahan makin dikesampingkan. Pergeseran budaya dan persepsi tentang perkawinan tentu terjadi karena banyak hal. Tak hanya dianggap menghambat dalam mencapai tujuan, ketakutan akan komitmen dan ketidakpastian di masa depan menjadi faktor terbesar dalam membuat keputusan pernikahan. Bukankah kita setuju bahwa tidak ada yang lebih menakutkan dibanding masa depan?
Berita pernikahan yang tak langgeng, juga anak-anak yang menjadi “korban” dari patahnya pondasi rumah menghujani media. Cerita-cerita perihal asam dan pahit pernikahan tampaknya menyulut banyak kekhawatiran tentang pernikahan di masa depan. Kejutan demi kejutan yang nantinya akan datang mungkin tak mudah bagi semua pasangan. Imaji pernikahan yang indah dan menyenangkan barangkali runtuh karena dibangunkan oleh kenyataan, atau bahkan tagihan?
Meski demikian, bagi mereka yang telah ataupun nantinya memutuskan untuk menikah, kiranya berhak mendapatkan apresiasi atas keberaniannya untuk mengikatkan diri pada satu komitmen. Tidak semua orang berani untuk berikrar pada suatu ikatan yang akan menggiringnya entah ke mana. Dari berbagai ketidakpastian, kebimbangan, dan hal-hal yang mungkin banyak membuat mereka ingin berputar arah, pada akhirnya mereka tetap memberanikan diri untuk saling memberi dan berbagi nama belakang.
Tak sedikit cerita bahagia dan berkesan hadir dari pasangan-pasangan di luar sana. Sering kali kita dibuat percaya bahwa ada harapan yang lahir setelah kata “Sah!” di hadapan sanak keluarga. Perasaan haru dan bahagia yang terpancar lewat foto pra-pernikahan seakan menular bagi yang melihatnya.
Tentunya, bukan berarti mereka yang tidak memilih untuk menikah adalah pengecut. Kompleksitas kesiapan mental dan finansial yang menandai keraguan mereka dalam mengambil keputusan adalah hal yang wajar. Takut gagal bukan berarti enggan untuk tetap berjalan. Tidak ada yang salah dari berhati-hati untuk melindungi diri sendiri. Sejatinya manusia memang diciptakan untuk bertahan. Tidak ada yang salah dengan memilih tumpukan pekerjaan dibandingkan melafalkan ijab kabul karena keduanya adalah cara untuk bertahan hidup.
Menyadari bahwa prioritas dan kesiapan setiap individu berbeda-beda menjadikan pernikahan bukanlah suatu tahap dalam kehidupan. Ia bukan anak tangga yang harus diselesaikan setelah kita selesai menapakkan kaki di anak tangga sebelumnya. Sekali lagi, tidak ada urutan yang saklek untuk ini dan itu. Menemukan pekerjaan ataupun pasangan adalah berkah yang dikirimkan oleh semesta. Entah mana dulu yang akan kita temukan, ada baiknya kita jaga dan rawat sewajarnya.
Tulisan ini bukan mendorong mereka yang takut menikah untuk melanjutkan pemikirannya. Bukan pula meminta mereka yang telah menikah untuk mempertanyakan keputusannya. Narasi ini menegaskan bahwa menikah ataupun tidak menikah bukanlah keputusan yang salah. Keputusan yang tidak bijaksana adalah ketika kita menyegerakan diri untuk menikah karena takut akan label yang disematkan masyarakat. Bukankah semurah-murahnya kebahagiaan adalah kebebasan untuk memilih?