Mendengarkan Tutur Nusantara, Memetakan Masa Depan
Dalam submisi Open Column kali ini, Melati Suryodarmo, selaku Direktur Artistik Indonesia Bertutur 2024, menuturkan bagaimana filosofi “subak” berperan dalam upaya Indonesia Bertutur untuk merawat budaya Indonesia di pergelaran budaya akbar ini.
Words by Whiteboard Journal
Realitas masyarakat Indonesia yang majemuk merupakan hasil perjalanan panjang sejarah bangsa. Perjalanan ini penuh tantangan dan tidak selalu sempurna tapi begitu kaya akan cerita, mencerminkan perkembangan kebudayaan yang hidup seturut praktik ekonomi, politik, dan sosial di bumi khatulistiwa, serta leburnya unsur lokal dan global yang selalu bergerak dinamis.
Dalam perjalanannya meraih cita-cita bangsa, Indonesia belum sepenuhnya memberikan perhatian terhadap realitas itu—realitas beragam kebudayaan lokal dan sejarah perubahannya. Padahal, sejarah kebudayaan menyimpan refleksi penting untuk menyusun strategi yang tepat menuju cita-cita bangsa, menjaga kelangsungan hidup, dan mencapai kesejahteraan. Mencermati sejarah kebudayaan juga berarti menyadari perubahan-perubahan dalam lingkungan hidup di mana masyarakat tumbuh dan berkembang—lingkungan alam yang melindungi keseimbangan dan keberlangsungan hidup kita.
Di sini, perhatian khusus terhadap warisan budaya menjadi penting. Warisan budaya begitu kaya akan wawasan adat istiadat, kepercayaan, nilai-nilai masyarakat, dan terkadang teknologi yang krusial di lingkungan alam tertentu, sehingga perhatian khusus pada pengembangannya memungkinkan pemahaman lebih dalam tentang pengetahuan lokal dan maknanya. Pelestarian, pengarsipan, konservasi, dan penyebarluasan informasi tentang warisan budaya—baik benda maupun takbenda—merupakan bagian integral dari perhatian tersebut. Hal ini menyumbang pada kemampuan masyarakat untuk mempertahankan dan mewariskan identitas dan pengetahuan yang spesifik kepada generasi mendatang.
Indonesia membutuhkan cara dan metode yang khas dalam menyikapi pengetahuan yang bersumber pada warisan budaya. Adaptasi metode dari era kolonial dan poskolonial melalui berbagai jalur pendidikan formal dan transfer pengetahuan yang dogmatik perlu ditelisik dan direfleksikan. Kita perlu membuka kemungkinan untuk menemukan cara yang sesuai dengan perspektif dan sikap holistik yang telah mencirikan kehidupan di Nusantara sejak berabad lamanya.
Indonesia Bertutur 2024 memfasilitasi upaya untuk membuka metode telisik dalam proses penciptaan karya yang menghubungkan masa kini dengan masa lalu. Festival ini bertujuan menciptakan peristiwa kebudayaan yang menekankan kesadaran akan keberlangsungan kehidupan melalui kebudayaan. Dalam setiap penyelenggaraannya, Indonesia Bertutur berbasis pada telisik atas warisan cagar budaya dari prasejarah hingga zaman Majapahit dan warisan budaya takbenda sebagai sumber inspirasi dalam penciptaan karya seni kontemporer.
Khazanah warisan cagar budaya dipilih sebagai acuan fokus dalam pemilihan tema utama, meliputi 13 situs yaitu Sangiran (Solo), Liangbua (Manggarai), Lore Lindu (Donggala dan Poso), Kompleks Dieng (Banjarnegara), Kompleks Prambanan (Sleman), Muara Takus (Kampar), Candi Bahal (Padang Lawas Utara), Candi Singasari (Malang), Kompleks Trowulan (Mojokerto), Tarumanagara (Bogor), Muaro Jambi (Muaro Jambi), Candi Jago (Malang), dan Candi Sukuh (Karanganyar). Sementara itu, warisan budaya tak benda meliputi 11 objek yang telah diakui UNESCO, yaitu wayang, tari saman, pencak silat, pinisi, pantun, gamelan, angklung, tiga genre tari bali, keris, noken, dan batik. Tentu, rentang acuan fokus ini tidak menutup kemungkinan penelusuran pada warisan budaya lain yang menjadi bagian dari sejarah kebudayaan Nusantara.
Indonesia Bertutur 2024 mengadaptasi falsafah subak dari budaya Bali sebagai tema utama “Subak: Bersama Menuju Harmoni”. Subak mencerminkan tiga penyebab kebaikan, yaitu hubungan harmonis antara manusia dengan penciptanya (parahyangan), manusia dengan sesamanya (pawongan), dan manusia dengan alam sekitarnya (palemahan). Falsafah ini, yang lahir dari pertukaran budaya antara Bali dan India selama 2.000 tahun terakhir, mempengaruhi pembentukan lanskap alam di Bali yang berbukit-bukit, terkadang terjal dan berkelok-kelok. Subak, dengan nilai-nilai ajaran agama Hindu yang kuat, merupakan kearifan lokal yang memungkinkan masyarakat petani Bali hidup serasi dengan alam dan menjaga keberlangsungan peradaban selama berabad-abad. Sistem subak secara demokratis dan egaliter mengelola ekologi sawah terasering dan merespons tantangan populasi di pulau vulkanik.
Kawasan subak di Jatiluwih, Bali, telah ditetapkan sebagai situs warisan budaya dunia oleh UNESCO sejak 2012. Namun, subak tak hanya berupa situs. Sebagai sistem dan cara hidup, juga cerminan pemikiran yang hidup, keberadaan subak menyimpan wawasan yang sarat akan pengetahuan dan kearifan untuk menjadi inspirasi bagi kehidupan masyarakat hari ini. Telah jelas bahwa subak hari ini menghadapi bermacam tantangan di tengah arus perubahan yang semakin cepat berkat percepatan teknologi. Maka, telisik atas subak, yang melandasi seluruh program Indonesia Bertutur 2024, diharapkan mendorong munculnya perspektif dan kesadaran baru di tengah masyarakat umum, khususnya terkait hubungan kita dengan warisan budaya.
Program-program Indonesia Bertutur sengaja membuka kemungkinan luas bagi beragam bentuk telisik artistik, yang dirancang dalam dua kategori program, yaitu pre-event dan festival sebagai main event. Festival, sebagai puncak acara yang terbuka untuk seluruh lapisan masyarakat secara gratis, dilaksanakan setiap dua tahun, dengan rangkaian program pre-event yang menyelingi gelaran tersebut.
Mencerminkan kemajemukan ekspresi dan pemikiran, Festival Indonesia Bertutur 2024 menggelar delapan program, yaitu Visaraloka (expanded media, termasuk seni performans), Kathanaya (seni tutur tradisional), Layarambha (festival film tari), Ekayana (seni pertunjukan terkait program pre-event Temu Seni), Samaya Sastra (sastra dan wacana), Anarta (seni pertunjukan untuk karya besar), Kiranamaya (festival cahaya), dan Virama (panggung hiburan dan bazar). Secara khusus, seremoni dan pertunjukan yang membuka gelaran tahun ini, Maha Wasundari, menampilkan kurasi atas kesenian Bali di luar konteks pariwisata, yaitu Baris Jangkang, Barong Ngelawang, Sanghyang Dedari (tari sakral yang disajikan lewat film), Palawakya, dan Wayang Wong Tejakula, setelah diawali dengan ritual Prayascita.
Sepanjang 2023, gelaran festival tahun ini telah didahului oleh rangkaian pre-event berupa Lokakarya Cipta, Kompetisi Cipta, Temu Seni, dan Residensi Visaraloka. Kompetisi Cipta dan Lokakarya Cipta yang saling terangkai dibuka untuk tiga bidang seni yaitu film tari, animasi, dan seni instalasi cahaya. Kedua program ini mengumpulkan para praktisi muda dari seluruh Indonesia berdasarkan panggilan terbuka, memfasilitasi mereka dengan materi warisan budaya dan keilmuan bidang seni, serta mengadu mereka dalam sebuah kompetisi di mana karya yang terpilih sebagai pemenang dihadirkan di Festival Indonesia Bertutur.
Adapun Temu Seni adalah program dengan kerangka laboratorium seni untuk memfasilitasi perjumpaan para praktisi muda dalam melakukan pertukaran metode dan pemikiran di bawah bimbingan fasilitator mumpuni, meliputi lima bidang seni, yaitu tari, performans, musik, teater monolog, dan fotografi. Terakhir, sebagai pengunjung program pre-event, terselenggara pula Residensi Visaraloka di mana empat seniman terpilih menjalani residensi di Bali untuk melakukan riset artistik. Keempat seniman ini menciptakan karya yang kemudian dipamerkan dalam Visaraloka, Indonesia Bertutur 2024.
Pada akhirnya, gelaran Indonesia Bertutur mengajak masyarakat untuk membuka pikiran dan menyegarkan wawasan. Bersama-sama kita merawat dan menjadi pemilik sah khazanah warisan budaya Nusantara; menjadi Indonesia yang tegak di tengah gelombang arus pemikiran dan ekspresi dunia.