Mendaki Gunung dan Upaya Membangun Kesadaran Ecoliteracy
Pada submisi column kali ini, Rizky Triputra menulis tentang motivasi di balik mendaki gunung, salah satunya adalah untuk memahami pentingnya alam yang kemudian tercermin di pola hidup sehari-hari.
Words by Whiteboard Journal
Saya tersenyum melihat cuitan @coromodol yang melintas di lini masa Twitter pribadi dan ternyata juga tersebar di platform sosial media lainnya. Isinya kurang lebih seperti ini “pendaki gunung di puncaknya nemu apa sih pas turun mendadak pada paling mengerti hidup gini tai”. Kemudian meluaplah berbagai macam komentar mulai dari lelucon sampai mengkritisi. Sebagai orang yang rutin dan terbiasa melakukan aktivitas mendaki sejujurnya saya tidak mengambil pusing dan justru terhibur di tengah kondisi pandemi tak berujung serta ramainya gaung literasi digital.
Seorang kawan kerapkali menanyakan juga kepada saya dengan cukup serius untuk apa sebenarnya melakukan pendakian ke gunung. Membawa tas carrier besar, menyiksa kaki dengan langkah berat hingga lutut bertemu dada, menghemat air, dan terlebih lagi merepotkan diri sendiri ketika perut berkontraksi dan menagih untuk membuang hajat.
Saya melulu memberikan respon dengan santai dan seadanya “biar jadi anak senja dan piawai membuat kutipan-kutipan bijaksana”. Sambil diikuti tawa dan yang ada Ia justru semakin jengkel.
Mendaki gunung merupakan perjalanan yang dilakukan dengan cara berjalan kaki dari satu titik tertentu: melewati hutan, sungai, membabat semak jika diperlukan, hingga mencapai ketinggian tertentu (puncak gunung). Perjalanan tersebut tentu diikuti dengan persiapan fisik dan mental serta peralatan yang memadai. Lumrah saja rasanya setiap pendaki mempunyai pemaknaan yang berbeda-beda. Sebagian beranggapan untuk melepas penat, menikmati pemandangan alam, mencoba hal baru, melakoni hobi, membuat konten atau salah satu bentuk menjalani paket lengkap pendisiplinan diri untuk menalikan sepatu, mengelola waktu, merapikan perlengkapan, dan menepati jam tidur.
Bahkan tanpa makna pun sejarah sebenarnya telah mencatat sebagai sesuatu yang lazim. Tengok saja kebiasaan orang-orang Prancis dengan Flâneur. Aktivitas keluyuran tak tentu arah pada abad ke-19 di pusat kota Paris. Meski tidak ke gunung mereka bisa menempuh puluhan kilometer dengan berjalan kaki. Mulai dari jalan setapak sempit ke jalan lebar, taman-taman, makam, galeri, hanya untuk tujuan yang “tidak ada”. Oleh sebab itu Flâneur karena terlalu “Prancis” konon tidak memiliki padanan lain dalam bahasa Inggris.
Betapapun ada atau tidak adanya makna mendaki gunung sebenarnya merupakan salah satu bentuk nyata membangun kesadaran ecoliteracy. Eco (oikos, Yunani) artinya rumah tangga. Dalam arti luas berarti alam semesta, bumi tempat tinggal semua kehidupan, habitat atau rumah tempat tinggal semua kehidupan (lingkungan hidup) dan Literacy dalam bahasa Inggris artinya melek huruf. Dalam pengertian luas keadaan di mana seseorang sudah paham atau tahu tentang sesuatu.
Sehingga ecoliteracy adalah sebuah pemahaman dan kesadaran tertinggi tentang pentingnya alam yang telah menjelma ke dalam perilaku ramah atas lingkungan hidup, perilaku yang selalu menjaga dan merawat serta menjadi sebuah kebiasaan dan pola laku hidup. Begitulah penjelasan Fritjof Capra dalam bukunya The Web of Life: A New Understanding of Living Systems (1997).
Paham dan sadar memang seringkali berjarak, adakalanya seseorang begitu pintar yang berarti dia paham tetapi tidak sadar bahwa perilakunya tidak mencerminkan kepintarannya. Sebaliknya ada pula yang sadar namun tidak mengerti aspek ilmunya atau tidak paham apa dan bagaimana seharusnya melakukan sesuatu dengan benar.
Mendaki gunung sejatinya mendorong kita untuk menjadi seseorang yang peka akan kondisi alam dan menjadikannya sebenar-benar keluarga yang mendukung dan rela bersentuhan dengan hidup kita. Alam, khususnya gunung saat melakukan pendakian juga berperan sebagai bagian dari hakikat dan kunci kehidupan yang harmoni. Pendaki akan jujur dan terbuka serta bersikap rendah hati di hadapan alam yang seolah merupakan saudara kandungnya sendiri.
Pendaki tahu dan sadar bahwa gunung bukanlah objek untuk ditaklukan. Ia telah meninggalkan gaya berpikir reduktif Cartesian yang melihat alam semesta hanya semata objek dan manusia adalah subjek superior yang berhak untuk bertindak eksploitatif demi kepentingan pribadi.
Pendaki menyadari semua komponen biotik dan abiotik juga peristiwa yang dirasakan oleh indera saat mendaki sebenarnya saling terkait-terhubung dan hanyalah aspek atau manifestasi berbeda dari realitas tertinggi yang sama. Ketika keterkaitan dan keterhubungan itu dikacaukan dengan sengaja maka kekacauan dan bencana akan muncul sebagai bom waktu.
Berpikir Sistemik
Perjalanan dari basecamp ke setiap pos pendakian hingga puncak jika diamati dengan lebih seksama melahirkan kesadaran adanya kompleksitas populasi makhluk hidup baik flora maupun fauna yang berbeda-beda di setiap ketinggian tertentu dan saling memiliki peranan penting di alam semesta.
Kesadaran itulah representasi cara berpikir sistemik atau menyeluruh dari ecoliteracy. Cara berpikir sistemik ini akan lebih terarah apabila mengimplementasikan beberapa prinsip berikut.
Pertama interdependensi, kesalingtergantungan dan keterlekatan. Menuntut kita untuk mengambil keputusan yang tepat untuk tidak sembrono bersikap terhadap komunitas ekologis di sekeliling. Agar tidak menimbulkan rusaknya komunitas manusia dan komunitas lain secara umum seperti hewan, tumbuhan, dan mikroorganisme lainnya. Kebodohan seperti memetik bunga edelweiss (Anaphalis javanica), melakukan praktik vandalisme, dan berburu binatang di kawasan yang dilindungi adalah beberapa kasus nyata ketidakpahaman atas interdependensi.
Kedua, daur ulang, keberlangsungan hidup ditentukan dan dipengaruhi pola relasi yang saling terkait saling berputar secara siklis (cyclical) untuk mencapai kelestarian. Pentingnya edukasi dan mengkampanyekan budaya penggunaan barang yang bernilai lebih berdasarkan proses daur ulang seperti tas, jaket, kaos, dan celana sehingga sedapat mungkin menciptakan nihil limbah. Kemudian menjadikan kebiasaan untuk menggunakan wadah air yang dapat digunakan kembali saat pendakian juga membawa turun kembali sampah pribadi dan yang kita temukan di sepanjang jalur.
Ketiga, fleksibilitas, alam perlu menyesuaikan diri dengan berbagai perubahan dan kondisi yang muncul dalam proses perkembangan alam itu sendiri sehingga alam dapat dengan mudah kembali menjaga dan mempertahankan keseimbangan dan keutuhan dirinya ketika berhadapan dengan penyimpangan atau anomali. Penting untuk tetap tertib dan patuh ketika Taman Nasional sedang melakukan penutupan jalur pendakian. Selain untuk menghindari pendaki mengalami cuaca ekstrem seperti badai, angin puting-beliung, peningkatan aktivitas vulkanik atau erupsi gunung berapi, ingat selalu bahwa gunung juga perlu memulihkan dirinya sendiri.
Mengimplementasikan ketiga prinsip tersebut akan melatih kita untuk terus berpikir sistemik sehingga menghasilkan cara pandang yang terbuka terhadap perubahan, mampu merespon tradisi dan terobosan baru secara sehat dengan melihat konsekuensi-konsekuensi benar-salah kepada alam semesta di masa depan.