Mencapai Kesetaraan dengan Ketidaksetaraan
Mempertanyakan makna kesetaraan untuk menciptakan kenyamanan bagi semua
Words by Whiteboard Journal
Problematika kesetaraan dan keragaman di Indonesia menjadi social paradox dalam derasnya arus demokrasi hari ini. Nyaringnya kampanye darurat kesetaraan dan keragaman dikumandangkan justru diikuti dengan semakin menjamurnya praktik ketidaksetaraan dan intoleransi. Bak jalan yang penuh dengan ranjau, pembersihan justru berpotensi menabur luka.
Dilema hadir dengan membawa kecemasan baru. Apakah kesetaraan itu benar adanya? Apa kesetaraan hanya milik segelintir individu? Atau kesetaraan yang menjadi penyebab ketidaksetaraan? Perlunya kita kembali menggugat definisi hingga praktik kesetaraan demi mencapai bentuk idealnya.
Menelisik praktik ketidaksetaraan di Indonesia, membawa kita pada klasifikasi yang sering membuat gerah publik yakni, dalam hal gender. Pasalnya perempuan sering kali menjadi korban atas praktik kebijakan yang cenderung mendiskriminasi mereka di tengah kehidupan bermasyarakat.
Hidup dalam Nusantara yang kental dengan kultur patriarki bukanlah hal yang mudah. Tidak sedikit laki-laki dengan pongahnya menganggap perempuan memiliki kedudukan yang lebih rendah dari dirinya, bahkan acapkali perempuan didiskriminasi. Baik dari tindakan hingga kebijakan yang di buat dalam skala individu hingga pemerintahan.
Catatan Tahunan Komnas Perempuan merilis pada tahun 2018 terjadi 406.178 kasus kekerasan seksual terhadap perempuan. Lebih dari itu adanya peraturan yang dinilai mendiskriminasi perempuan sejak tahun 2009 hingga saat ini, terdapat 421 kebijakan (sebesar 56% adalah Peraturan Daerah) dan 2 Undang-Undang yang dinilai dalam penerapannya akan sangat merugikan. Berbagai peraturan tersebut dinilai cenderung membatasi kebebasan berekspresi wanita, dari berpakaian hingga bersikap dalam kehidupan.
Pasal 31 ayat 3, misalnya. Pasal ini menegaskan bahwa, “Suami adalah kepala keluarga dan istri adalah ibu rumah tangga”. Ini menjadi problematik dengan bagaimana hanya suami yang dapat menjadi kepala keluarga. Belum lagi fakta bahwa syarat pihak yang boleh menerima jaminan sosial adalah kepala keluarga. Implikasi dari hal tersebut ialah perempuan yang menjadi pemimpin keluarga tidak dapat mendapatkan jaminan sosial, dikarenakan hanya kepala keluarga (suami) yang dapat menerimanya. Diskriminasi terjadi dalam bentuk pemenuhan jaminan sosial warga negara yang terklasifikasi berdasarkan gender tertentu. Padahal, pada tahun 2014 Susenas yang dipublikasi oleh BPS menjelaskan bahwa terdapat sebesar 14,84% rumah tangga di Indonesia yang dipimpin oleh perempuan.
Indonesia sebagai negara hukum memiliki lembaga yang berwenang untuk membentuk hukum, yakni Dewan Perwakilan Rakyat sebagai lembaga yang anggotanya berasal dari seluruh masyarakat dan mewakili segala bentuk aspirasi. Namun jika kita melihat jumlah keterwakilan wanita di Parlemen Indonesia menurut Inter-Parliamentary Union hanya sebesar 19,80% (Peringkat 6 di ASEAN).
Rendahnya angka representasi wanita dalam lembaga parlemen untuk membentuk regulasi inilah salah satu alasan utama atas banyaknya peraturan yang masih mendiskriminasi wanita. Apabila hanya pria, sampai kapanpun tidak akan mewakili aspirasi wanita seutuhnya. Sehingga perlu adanya perwakilan yang proporsional dalam lembaga parlemen Indonesia untuk memperjuangkan aspirasi seluruh warga negaranya.
Mungkin, untuk hal ini kita perlu melangkah sedikit lebih jauh dari kesetaraan. Dengan sistem perundangan yang demikian, serta budaya patriarki yang terlanjur mengakar di benak bangsa, kita perlu menerapkan ketidaksetaraan dalam sistem hukum kita. Dengan harapan bisa mereduksi bonus kultural yang melekat pada kaum pria. Rekayasa sosial melalui hukum ini yang diharapkan akan membantu meningkatkan angka representasi wanita di parlemen agar, sehingga akan mempermudah perjuangan wanita untuk memperjuangkan regulasi untuk melindungi dirinya dari kekerasan serta diskriminasi dalam bentuk apapun.
Lahirnya Indonesia paripurna berlandaskan kemanusiaan yang adil dan beradab yang secara falsafah tercantum dalam sila kedua Pancasila diawali dengan tidak memberikan perbedaan masyarakat, terutama dalam hal gender. Humanisme yang dibangun melalui perwakilan wanita diharapkan akan menimbulkan peraturan yang sehat, serta menjadi kabar baik bagi masa depan anak-anak kita tanpa harus cemas apapun gendernya.
—
Ini adalah cuplikan dari salah satu isi buku Whiteboard Journal Open Column, dikurasi oleh Cholil Mahmud, Cecil Mariani dan Irwan Ahmett buku ini berisi 20 tulisan yang membahas gagasan serta pertanyaan dalam bahasan tentang kesetaraan dan keragaman. Baca tulisan selengkapnya di buku Whiteboard Journal Open Column.