Menata Ulang Konsep “Cegil” dengan Lagu “Rayuan Perempuan Gila”
Sadar akan maraknya penggunaan kata “cegil”, dalam submisi Open Column ini Sheilla Anggi membedah lagu terbaru Nadin Amizah (@cakecaine) dan mengigatkan kita bahaya meromantisasi kondisi tersebut dan pentingnya menavigasi diri di tengah arus perayaannya.
Words by Whiteboard Journal
Belakangan ini berseliweran tren konten “cegil” di laman media sosial. Melansir Kumparan, bahasa gaul yang menyingkat “cewek gila” itu mulanya sering digunakan di platform Twitter dan TikTok untuk menyebut cewek-cewek redflag dalam sebuah relationship.
Definisi cegil pun beragam hingga menyasar pada selera lagu favorit. Berdasarkan opini yang berkembang di media sosial, cewek-cewek “gila” ini biasanya mendengarkan lagu-lagu bertemakan toxic relationship yang seolah menggambarkan keadaan dirinya dalam hubungan percintaan.
Cegil tidak selalu merujuk pada perempuan dengan gangguan kejiwaan yang telah terbukti secara klinis. Sebutan “gila” lebih mengarah pada karakter perempuan yang dianggap toxic. Contoh hal-hal toxic di antaranya yaitu bersikap posesif terhadap pasangan, agresif, obsesif, manipulatif, mood yang gampang berubah, dan beragam kelakuan lain yang dapat mengganggu keberlangsungan suatu hubungan. Singkatnya, cegil adalah perempuan yang problematik.
Sebutan cegil tidak membuat kaum-kaum hawa ini malu mengakui kekurangan yang ada pada dirinya. Alih-alih tren konten cegil malah menjadi wadah bagi para perempuan untuk introspeksi diri dengan cara yang lebih anggun, dibarengi dengan tambahan backsound lagu-lagu yang sedang hits di TikTok.
Kepopuleran cegil di FYP TikTok semakin panjang dengan dirilisnya sebuah lagu bertajuk “Rayuan Perempuan Gila” karya Nadin Amizah pada 23 Juni 2023 lalu. Judulnya saja sudah sangat mendeskripsikan isi lagu yang memang mewakili perempuan-perempuan gila di luar sana.
Sebelum diserang oleh warga Twitter (seperti yang sudah pernah menimpanya), Nadin membagikan video klarifikasi berdurasi 10 menit 26 detik di akun Instagram pribadinya. Menyadari bahwa definisi “gila” yang rawan menimbulkan kegaduhan pro dan kontra di masyarakat, dalam video tersebut Nadin menjelaskan latar belakang penciptaan lagu yang kebetulan liriknya ia tulis sendiri.
Sebelum dianggap meromantisasi kondisi yang tidak menyenangkan, Nadin berusaha menjelaskan makna lagu tersebut dari sudut pandangnya sebagai penulis lagu. Beberapa tahun yang lalu, Nadin pernah menjadi sasaran warga Twitter karena dianggap meromantisasi kondisi gangguan mental.
Padahal jika ditarik dari sudut pandang lain, meromantisasi hal-hal seperti ini pun merupakan upaya penerimaan diri dan bentuk dukungan terhadap penyintas dengan cara yang lebih anggun. Toh, sebenarnya siapa sih yang senang dengan kondisi mental yang bermasalah?
Bedanya, perempuan seperti Nadin ingin belajar menerima diri tanpa menggunakan cara yang kasar, baik dalam bentuk ucapan atau tindakan. Sebagai seorang penyanyi, Nadin berusaha berdamai dengan kondisi tersebut melalui karya-karyanya yang indah—hingga julukan “cewek estetis” selalu melekat pada diri Nadin.
Nadin pernah bercerita tentang kondisi mental yang membuatnya memutuskan untuk mendapatkan bantuan dari profesional. So, lahirnya “anak” Nadin yang baru ini bisa diartikan sebagai bagian dari penerimaan dirinya terhadap kondisi yang pernah dialami.
Cemooh “gila” memang tidak selalu mendeskripsikan bahwa seseorang itu memiliki gangguan kejiwaan. Masyarakat kita tentu sudah akrab sekali dengan umpatan dan cemooh seperti itu. Meskipun dalam konteks yang sebenarnya, penggunaan kata tersebut memiliki banyak makna dan digunakan di berbagai suasana.
Sebagai contoh, orang-orang bisa mengungkapkan kekaguman terhadap suatu hal menggunakan kata “gila” dengan, “Gila, keren banget!”
Ungkapan tersebut digunakan untuk menggambarkan kekaguman seseorang terhadap suatu hal yang mungkin dinilai sebagai sesuatu yang terjadi di luar nalarnya. Keterbatasan seseorang dalam mendeskripsikan rasa kekaguman kemudian menyimpulkannya dengan kata “gila”.
“Lo udah gila, ya!”
Kalimat tersebut, yang diungkapkan dengan emosi, bisa diartikan sebagai ungkapan kekesalan kepada seseorang yang dianggap bermasalah hingga melakukan tindakan-tindakan yang merugikan.
“Orang gila yang biasanya lewat depan rumah itu sekarang sudah masuk rumah sakit jiwa.”
Berbeda dengan dua perumpamaan sebelumnya, kalimat di atas mengandung makna denotasi dari kata “gila”, yang berarti memiliki penyakit jiwa yang membutuhkan penanganan khusus.
Lalu, lagu “Rayuan Perempuan Gila” ini merujuk kepada orang gila yang mana?
Berdasarkan pernyataan saat menjadi bintang tamu di acara Podcast Ancur di Spotify yang dipandu oleh Kemal Pahlevi, Diaz Danar, Petra Gumala, dan Randhika Djamil, Nadin mengungkapkan bahwa di lagu terbarunya tersebut dia memposisikan diri di dua pihak.
Pernah memiliki pengalaman pahit dalam hubungan percintaan hingga perasaan-perasaan gila seperti yang dirasakan para cegil di FYP TikTok dan menjadi seorang penyintas, Nadin memberanikan diri untuk speak up tentang kekurangan pada dirinya. Meskipun Nadin selalu mengungkapkan bahwa pada saat menulis lagu ini, ia lebih memposisikan diri sebagai perempuan fiktif dalam imajinasinya (yang digambarkan sosoknya di video lirik yang sudah dirilis).
Lagu Rayuan Perempuan Gila versi asli dari Nadin menggambarkan seorang biduan perempuan berambut panjang, berbadan seksi, dan perokok aktif. Perempuan tersebut secara implisit digambarkan sebagai seseorang yang sulit dicinta tapi sangat ingin merasakan dicintai. Ruwet! Ya, begitulah cegil.
Namun, apakah banyaknya perempuan yang mengikuti trend ini menandakan bahwa “gila” sebenarnya sudah menjadi sifat bawaan perempuan?
Perempuan sering kali menempatkan diri sebagai makhluk lemah yang selalu merasa tersakiti oleh laki-laki. Berbanding terbalik dengan prinsip feminisme yang memandang perempuan sebagai makhluk yang sama berdayanya seperti laki-laki. Mungkin, pandangan ini memang jadi sedikit berbeda ketika yang dihadapi adalah kasus percintaan. Perempuan sebagai korban dan laki-laki sebagai pelaku. Padahal dalam kenyataannya, kondisi tersebut bisa saja bertukar posisi.
Pada kasus cegil, perempuan bisa dianggap sebagai pelaku yang merasa tersakiti. Berhadapan dengan seseorang yang problematik memang sangat menguras energi. Tapi, kenyataannya memang mengontrol diri di kondisi tertentu tidak semudah itu. Kembali lagi pada pertanyaan, siapa sih yang senang dengan kondisi mental seperti itu?
Solusi terbaik untuk para cegil memanglah harus mendatangi pihak yang ahli seperti psikolog. Dan mungkin, jika sampai pada kondisi terburuk, membutuhkan penanganan khusus dari psikiater. Segala ikhtiar harus dilakukan agar romantisasi kondisi gila tidak berumur panjang. Bayangkan betapa tersiksanya orang-orang kalau harus berurusan dengan banyak perempuan yang sangat menikmati peran sebagai cegil.
Semoga para cegil yang merasa tervalidasi perasaannya dari lagu Rayuan Perempuan Gila tidak mengabaikan pesan bijak Nadin di akhir lagu. Meskipun sisi baik dari lagu ini memberi dukungan bahwa cegil di luar sana tidaklah sendirian mengalami kondisi tersebut, Nadin tidak membenarkan untuk terus-terusan mempertahankan label “gila” yang tersemat.