Membayangkan Indonesia Tanpa Rasisme, Apakah Ini Utopia?
Pada submisi Open Column kali ini, Rahmat Taufik menuliskan tentang rasisme yang tidak pernah mengenal jarak dan waktu.
Words by Whiteboard Journal
Pencarian terhadap literatur #BlackLivesMatter membawa saya pada sebuah video lama keluaran 1971. Ini adalah video rekaman wawancara Muhammad Ali, petinju legendaris Amerika yang berkulit hitam itu, dengan sebuah program talkshow BBC. Program ini bernama Parkinson dan dipandu oleh seorang jurnalis kenamaan bernama Michael Parkinson.
Video ini memang tidak spesifik berbicara tentang #BlackLivesMatter, tagar sekaligus gerakan sosial yang kembali menggema setelah kematian George Floyd. Lagi pula, Black Lives Matter sebagai aksi politik dan kampanye di media sosial baru hadir 32 tahun kemudian, dipicu oleh kematian seorang remaja kulit hitam bernama Trayvon Martin pada 2012. Trayvon tewas setelah ditembak oleh George Zimmerman, seorang pria kulit putih di Sanford, Florida. George Zimmerman bebas dari tuduhan pembunuhan karena dianggap ‘membela diri’.
Pun demikian, video ini tetap penting untuk memahami bagaimana gerakan ini bisa muncul, menggelinding seperti bola salju, dan membuat Amerika terguncang.
Dalam potongan wawancara ini, Ali berbicara tentang dominasi kulit putih atas kulit hitam. Ia menggugat. Dengan suara paraunya yang khas dan bersahaja, gugatan itu justru berbunyi lantang dan keras: why everything is white, mengapa segalanya serba putih?
“Saya selalu bertanya, ‘Ibu, mengapa Yesus digambarkan berkulit putih, berambut pirang, dan bermata biru?’”
“Mengapa seluruh murid Yesus digambarkan berkulit putih? Malaikat, Paus, Bunda Maria. Semuanya digambarkan berkulit putih.’”
Tidak, ini bukan gugatan atas agama. Ali tidak sedang berbicara hal ikhwal teologi. Yang Ali kritik adalah penggambaran Yesus dan The Last Supper (lukisan Malam Perjamuan Terakhir antara Yesus dan para muridnya) dalam kebudayaan Barat yang semuanya serba diisi oleh orang-orang berkulit putih.
Penggambaran ini, mengikuti logika Ali, adalah produk budaya dan karenanya merupakan hasil rekonstruksi pikiran manusia.
Rekonstruksi sosial seperti inilah – dalam ragam bentuk dan wujudnya – yang membentuk alam pikir kulit putih lebih superior dibanding kulit berwarna lainnya, lebih-lebih kulit hitam. Apalagi rekonstruksi seperti ini telah merasuk di semua produk kebudayaan, termasuk literatur, media, bahkan iklan-iklan produk rumah tangga.
Simak bagaimana Ali, misalnya, menyitir kisah Tarzan, lagi-lagi dalam perspektif kebudayaan Barat. Ia yang bercelana cawat dan bergelantungan di hutan-hutan Afrika digambarkan sebagai seorang raja rimba. Bagaimana mungkin seorang raja di benua hitam justru adalah seseorang yang berkulit putih? Seolah belum cukup, Tarzan masih mampu berbicara dalam ragam bahasa hewan sementara tak ada satu pun masyarakat lokal mampu melakukan hal yang sama, bahkan ketika mereka sudah mendiami benua ini selama ribuan tahun sebelumnya. Bukankah ini penggambaran superioritas kulit putih di atas kulit hitam dalam bentuk senyata-nyatanya?
Penggambaran seperti inilah yang pada akhirnya pelan-pelan membentuk nilai putih lebih berharga dari hitam. Kulit terang lebih mulia dari kulit gelap. Mata biru lebih unggul dari mata coklat, rambut lurus lebih tinggi derajatnya ketimbang rambut kriting, dan – sebut apapun – pandangan bias rasial lainnya.
Tapi ‘kan, itu bukan di Indonesia? Bukan masalah kita, dong, harusnya!
Apa yang dikatakan Ali mungkin adalah sesuatu yang jauh di sana. Ali warga negara Amerika. Apa yang terjadi terhadap George Floyd dan Trayvon Martin, juga kasus-kasus lain yang menggerakkan demo Black Lives Matter, boleh jadi sesuatu yang terjadi di Amerika. Bahkan wawancara Ali dengan Parkinson juga mungkin dilakukan di salah satu studio BBC di Inggris sana.
Tapi masalah rasialisme adalah masalah bersama. Tak peduli di mana pun kita berada.
Indonesia dan Amerika boleh terpaut hampir 15 ribu KM. Jarak ini membutuhkan lebih dari 16 jam penerbangan dengan kecepatan pesawat 900 KM/Jam. Ini bahkan jarak yang lebih jauh dibanding diameter bumi yang hanya 12.742 KM.
Tapi sayangnya, sekali lagi, rasisme tak pernah mengenal jarak dan waktu. Seperti halnya di negeri Paman Sam, rasisme juga memiliki wujudnya sendiri di bumi Ibu Pertiwi.
Ketika gelombang protes Black Lives Matter trending di media sosial, pegiat HAM di Indonesia ikut bersuara dengan tambahan konteks lokal rasisme terhadap masyarakat Papua. Dari sinilah kemudian tagar ini berkembang menjadi #PapuanLivesMatter, bahwa kehidupan masyarakat Papua juga berharga.
Tagar ini menyuarakan tuntutan penghentian kekerasan yang terus dialami oleh masyarakat Papua, terutama yang dilakukan oleh aparat negara. Tagar yang sama juga menuntut pengusutan deretan dugaan pelanggaran HAM, pembebasan tapol, dan penghentian diskriminasi rasial terhadap masyarakat Papua.
Masalah Indonesia dan Papua mungkin sebenarnya jauh lebih kompleks dari hanya sekadar rasisme. Bagi sebagian masyarakat Papua, keberadaan Indonesia di sana sendiri bahkan sudah merupakan sebuah masalah. Kehadiran Indonesia dianggap sebagai aneksasi yang tersaru dalam jajak Pepera 1969.
Namun demikian, tak diragukan lagi bahwa rasisme dan perlakuan diskriminatif ikut menjadi bahan bakar yang menyulut gejolak di Papua, yang belum selesai hingga hari ini.
Jika kita masih mengingat rangkaian demo #PapuaBukanMonyet di berbagai kota Agustus tahun lalu, kita juga harusnya ingat dengan aksi persekusi terhadap mahasiswa Papua di Surabaya, Malang, dan Semarang. Mereka diintimidasi, dihina, direndahkan martabatnya sebagai manusia. Ironisnya, aksi intimidatif seperti ini bukan hanya dilakukan oleh organisasi masyarakat (ormas) tapi juga diduga melibatkan aparat negara.
Ketika kemudian persekusi ini direspon dengan demo di berbagai wilayah, reaksi yang diperlihatkan negara tak kalah buruknya. Banyak demonstran ditangkap. Beberapa di antaranya bahkan dikenakan pasal makar dan didakwa 5 hingga 15 tahun penjara – meski kemudian pengadilan memvonis 10 hingga 11 bulan. Protes rasisme yang mereka suarakan dijawab dengan anggapan merongrong kedaulatan negara.
(Kita juga tak bisa melupakan – dan membenarkan – protes di Wamena yang berujung dengan dengan kerusuhan yang merenggut 33 nyawa – 25 di antaranya warga pendatang -, tapi kiranya penghakiman oleh massa seperti ini bisa dicegah jika negara hadir memberikan kepastian hukum dalam kasus dugaan perlakuan rasial sebelumnya.)
Persekusi terhadap mahasiswa Papua ini bukan hal yang baru. Dari berbagai laporan media kita bisa melacak kejadian serupa di kota-kota lain, baik sebelum maupun setelah kejadian di Surabaya, termasuk dengan ujaran rasis seperti ‘monyet’, ‘tak beradab’, dan lain sebagainya. Itu bahkan belum menyebut apa yang terjadi di Papua sana, di mana kekerasan dan dugaan pelanggaran HAM sudah seperti statistik belaka.
Untuk memahami perlakuan rasis yang diterima mahasiswa dan masyarakat Papua, kita bisa membaca esai yang sangat kuat dari Lidia Judith Giay. Mahasiswa Murdoch University ini menjelaskan bagaimana ia dan bangsanya terus-terusan menghadapi stereotip ‘tatapan kolonial’ selama tinggal di Jawa. Dianggap sebagai bangsa yang tertinggal, terbelakang, pemabuk, pembuat onar, hanya karena warna kulit dan rambut yang berbeda.
Mungkin ini klise, tapi ini perlu lagi dan lagi diulang. Tak perlu menjadi Papua untuk berempati dengan apa yang dialami Lidia dan orang-orang Papua. Cukup dengan menjadi manusia.
Iya, manusia yang memanusiakan manusia. Manusia yang berempati dan memiliki hati. Manusia yang mendudukkan perbedaan ras dan etnis pada kedudukan yang setara. Tanpa peduli itu Jawa atau Papua, Sunda atau Minahasa, Padang atau Dayak, dan lain sebagainya. Tanpa embel-embel warna kulit gelap atau terang, rambut keriting atau lurus, hidung pesek atau mancung, mata sipit atau bukan, atau hal-hal lain sejenisnya.
Jika ada yang bisa kita pelajari dari kematian Floyd, itu adalah bahwa rasisme bisa menggerakkan solidaritas global. Di Amerika demo terjadi tak kurang di 140 kota. Sementara di dunia, demo terjadi di puluhan negara di lima benua. Mulai Brazil di Amerika Latin hingga Hongkong di Asia, Tunisia di Afrika Utara hingga New Zealand di Oseania.
Demo ini menggerakkan empati dunia karena rasisme ada di mana saja. Ia bukan hanya gaung kosong yang jauh di sana. Ia nyata dan dekat. Ia dirasakan oleh berbagai komunitas masyarakat minoritas di berbagai tempat dalam konteks dan ragam yang berbeda.
Dunia mungkin sudah banyak berubah 49 tahun sejak Ali melemparkan gugatannya tentang rasialisme. Kini definisi kecantikan tak lagi melulu berkulit putih seperti pada era Ali dan sebelumnya. Masyarakat kulit gelap juga sudah mendapat panggung dan kesempatan yang jauh lebih besar dibanding beberapa dekade yang lalu.
Tapi sekali lagi, kasus Floyd dan apa yang terjadi di Papua mengingatkan kita bahwa persoalan rasisme belum selesai. Ia masih ada dan menjadi masalah bersama.
Atau, apakah memang terlalu utopis untuk mengharapkan dunia yang tanpa diskriminasi rasial?