Membangun Rumah Mikro dari Kontainer Sebagai Cermin Prinsip Hidup
Pada submisi column kali ini, Suryagama Harinthabima menulis tentang perjalanan emosional yang dilalui ketika membangun rumah mikro.
Words by Whiteboard Journal
Dilansir dari The Economist, harga rumah secara global terus meningkat tak terkendali. Menurut Lokadata, hal yang sama pun terjadi di Indonesia. Ini tentunya sebuah mimpi buruk bagi masyarakat khususnya kalangan menengah ke bawah untuk bisa memiliki rumah tinggal. Seiring dengan perkembangan housing crisis ini, ada satu tren yang diklaim beberapa pihak bisa menjadi salah satu alternatif solusi, yaitu tiny home movement. Pernah denger gak?
Itu tuh, orang-orang yang memilih untuk membangun rumah berukuran mungil, kadang mobile (bisa dipindah). Tren ini begitu populer di berbagai media massa dan media sosial hingga Netflix pun pernah membuat reality show tentang ini. Kalian percaya gak kalau alasan seseorang untuk membangun rumah berukuran mungil itu pasti berkaitan dengan kemampuan ekonomi?
Gak juga.
Membangun rumah seperti ini bisa jadi lebih merupakan sebuah pencerminan dari prinsip hidup yang dianut pemiliknya. Saya kasih contoh yaitu saya sendiri. Saya membangun sebuah tiny home — saya lebih suka menyebutnya rumah mikro — dari sebuah kontainer berukuran 20ft, persisnya 6×2,4 meter persegi. Lokasinya tepat di tengah kota Jogja, tak jauh dari Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat.
Dari beberapa sisi, saya terima-terima saja disebut sebagai penganut YOLO (yeah, whatevs…). Proses membangun rumah ini memang lumayan menguras emosi dan sejumlah sumber daya lainnya serta merupakan ‘gambling’ karena secara riil, saya sebetulnya benar-benar tidak tahu apakah hasilnya akan bagus atau tidak. Saya juga hanyalah seorang lulusan fakultas ekonomi yang tidak paham arsitektur dan pertukangan. Yang saya tahu pasti cuma satu: saya harus melakukannya. Lalu setelah melihat hasilnya, saya berani bilang bahwa rumah ini merupakan salah satu milestone sekaligus pencapaian terbaik dalam hidup saya sejauh ini.
Dulu saat berniat membangun rumah ini, yang terlintas di pikiran saya hanya satu: saya butuh ruang untuk saya sendiri, terpisah dari rumah saudara dan orang tua. Saat itu tahun 2016. Saya baru kembali ke Jogja setelah merantau bekerja di Jakarta kemudian menempuh S2 di Inggris. Sebelum merantau, saya tinggal serumah dengan kakak saya dan keluarganya.
Ada beberapa hal yang mendorong saya untuk membangun rumah ini. Selain karena malas memikirkan keruwetan yang akan dihadapi jika saya harus membangun rumah dengan cara konvensional (menyewa jasa arsitek berikut pemborong dan tenaga tukangnya, mengurus perizinan, dan sebagainya), saya berpikir bahwa ini adalah kesempatan bagi saya untuk merealisasikan kesenangan saya saat masa kecil dan remaja dulu yang berkaitan dengan seni dan desain. Ada gak dari kalian yang semasa kecil dulu punya mimpi dan cita-cita yang, karena satu dan lain hal, akhirnya kalian putuskan untuk tidak mengejarnya?
Ini adalah momen dan cara saya untuk ‘berdamai’ dengan saya di masa remaja.
Proses konversi kontainer ini tidak mulus. Dengan membeli beberapa power tools ditambah dengan mesin las listrik milik kakak saya, serta kadang dibantu teman dan tetangga, kami mulai memodifikasi kontainer ini. Karena tidak berpengalaman dan ini adalah project pertama, perencanaan modifikasi kontainer ini jauh dari matang. Harus ada fleksibilitas waktu dan biaya yang cukup tinggi karena prosesnya melibatkan banyak trial and error. Setelah berjalan beberapa waktu, baru lah saya mulai mencari tenaga tukang untuk membantu mengerjakan. Diluar perkara teknis, ada beberapa permasalahan pribadi dan keluarga yang cukup menghambat proses konversi ini. Namun demikian, rumah ini akhirnya selesai tahun 2019 lalu.
Meskipun sangat debatable, saya berharap bahwa keberadaan rumah ini bisa memberikan gagasan alternatif tentang tempat tinggal yang lebih terjangkau secara ekonomi bagi warga setempat (dan siapapun, dimanapun berada) apalagi demi bisa tetap bertahan di tanah kelahirannya di tengah gentrifikasi yang semakin tidak terbendung. Tidak perlu berupa kontainer yang proses modifikasinya belum tentu murah, tapi tidak juga harus dari semen dan bata.
Rumah tinggal itu merupakan kebutuhan pokok manusia. Sebuah base camp, tempat yang bisa kita kangeni kalau kita sedang pergi jauh. Jika dikembalikan ke esensi dan fungsi dasarnya, sebuah kontainer, atau mobil, kapal, atau gerbong kereta pun bisa disebut sebagai rumah. Perkara layak atau tidak itu belakangan. Siapa yang bilang kalau sebuah rumah itu harus dibuat dari bata dan semen?atau harus berukuran sekian kali sekian meter persegi, atau untuk mendapatkannya, kamu harus terikat dalam perjanjian kredit selama bertahun-tahun?
Yang mau saya sampaikan disini adalah bahwa nilai-nilai, sistem atau apapun yang kita temukan dalam hidup dan keseharian kita, meskipun sudah seperti itu adanya sejak lama atau turun-temurun, sah-sah saja jika kita mau mempertanyakan atau bahkan, dalam hal-hal tertentu, tidak mengikutinya. Bukankah kebanyakan dari semua itu juga buatan manusia?ini tidak hanya terbatas pada hal-hal yang berupa tradisi atau kebiasaan lama, tapi juga hal-hal baru, hal-hal yang dianggap progresif, dan sebagainya.
Intinya, dalam banyak hal, benar atau salah itu relatif, dan pilihan lain itu — most likely — selalu ada.
Yang lebih penting lagi, membangun rumah seperti ini kurang lebih menggambarkan sikap dan pendirian saya yang dari dulu acapkali berbeda dengan orang-orang lain di sekitar saya, dan alih-alih mengacuhkannya, saya memilih untuk mengikutinya. Jangan dibayangkan kalau ini jalan yang mudah. Ini adalah jalan yang, entah kenapa, mau ada berapa orang pun di sekeliling saya, saya tetap merasa sendiri. Selain memiliki defisit dalam berinteraksi sosial, saya adalah salah satu dari mereka yang entah kenapa merasa begitu ‘berbeda’ dari orang-orang lain, sering salah paham dan disalahpahami, dan saya selalu bergumul dengan pertanyaan mengapa saya tidak pernah benar-benar merasakan sense of belonging dimanapun saya berada. Otak saya seolah-olah sudah terprogram untuk selalu berfungsi dalam kondisi search mode yang tidak pernah berhenti, selalu mengaitkan hal satu dan lainnya secara acak, serta mudah terdistraksi. Benar-benar menguras emosi.
Walaupun begitu, saya merasa bahwa jalan yang saya ikuti ini adalah satu-satunya jalan yang masuk akal buat saya yang bisa menuntun saya untuk bisa merasakan sedikit ketenteraman dalam batin. Karena kalau tidak, saya akan merasa kecewa berlarut-larut karena telah menyia-nyiakan hidup, dan ini bisa mengganggu kemampuan saya dalam menjalani kehidupan sehari-hari.
Ada nasihat dari sebuah buku dari kisah nyata yang saya baca belasan tahun lalu yang berjudul “Room to Read” (atau judul alternatifnya, “Leaving Microsoft to Change the World”). Nasihat itu kira-kira berbunyi, “Satu-satunya orang yang perlu kamu puaskan dalam hidup itu ya dirimu sendiri.” Saya menafsirkannya begini: sah-sah saja kamu menjalani sesuatu demi menyenangkan orang tua, pasangan atau siapapun itu. Tapi seandainya kamu gagal, kamu akan merasa paling kecewa sama siapa? sama dirimu sendiri kan?
Jadi, pilih apa yang kamu mau jalani dalam kehidupanmu itu dengan sebijak-bijaknya.
Camkan itu baik-baik.
Almarhum Bapak saya pun pernah bilang sama saya, beliau tidak terlalu membatasi ini dan itu dalam hidup saya karena yang menjalani hidup saya siapa, coba? Ya saya sendiri.
Saya ingin nanti di kemudian hari saya bisa melihat ke belakang dan, terlepas dari segala kekurangan yang ada, saya bisa merasa bersyukur bahwa saya sudah memanfaatkan masa hidup saya dengan sebaik-baiknya. Selain itu, suatu saat nanti bila saya berumah tangga dan punya anak, seandainya anak saya itu memiliki cara berpikir seperti saya, saya bisa memberikan bukti konkret (dan fisik) bahwa dia bisa tetap mengikuti nalurinya dalam menjalani hidupnya. Bahwa terlepas dari seruwet apapun cara berpikirnya, semuanya akan baik-baik saja.