Membakar Buku: Melukai Ingatan dan Membunuh Identitas
Dalam submisi Open Column kali ini, Yudhistira menitikkan kembali bagaimana dibakarnya buku Catatan Najwa mengisyaratkan bahwa kita jauh dari kata “aman”, hingga merefleksikannya ke kutipan Heinrich Heine yang menjadi semacam premonisi untuk hari ini: “Where they burn books, at the end they also burn people.”
Words by Whiteboard Journal
Karena setiap lembarnya
mengalir sejuta cahaya
Karena setiap aksara
membuka jendela dunia
Ketika mengetahui buku Catatan Najwa (2016) dibakar dan menjadi konten di TikTok, batin saya langsung mengenang “Jangan Bakar Buku” oleh Efek Rumah Kaca. Kita tau, Najwa Shihab adalah salah satu orang yang vokal bersuara dalam mengkritik pemerintah. Bukunya yang dibakar itu, Catatan Najwa, memumpun sindiran yang tajam ke atas.
Ketika ayat-ayat Najwa dibukukan,
kita dapat melihat kembali peta persoalan yang menghiasi tubuh bangsa ini.
Bangsa yang sedang berusaha memperbaiki peradaban politiknya di tengah zaman
uang semakin cair dan terbuka.
Bangsa yang sedang belajar berdemokrasi.
Bangsa yang sedang belajar mengelola kekuasaan sebagai sarana untuk mengabdi dan melayani.
“Bangsa muda menjadi, baru bisa bilang ‘aku’,”
bunyi sebaris sajak Chairil Anwar,
penyair Angkatan ‘45 yang legendaris itu.
Demikian pengantar Joko Pinurbo dalam buku yang dibakar itu. Mata Najwa adalah mata kita, Jokpin menegaskannya. Maka tatkala sampul buku tersebut—yang memajang sorot waskita Mbak Nana—dibakar, seharusnya kita juga ikut terbakar. Setidak-tidaknya, kita tersulut untuk berpikir: di suatu negara yang mengaku demokratis, sebuah buku dihanguskan karena penulisnya melontarkan kritik.
Pembakaran buku telah terjadi dari waktu ke waktu. Pada 213 SM, Qin Shi Huang atas dasar usulan penasihat utamanya melenyapkan memori tentang masa lalu pemerintahan Cina dalam api.1 Perpustakaan Alexandria di Mesir ikut terbakar karena Julius Caesar meluluhlantakkan armada Ptolemeus XIII dengan api. Ruang literatur tersebut menampung banyak sekali buku. Kabar tentang jumlahnya bervariasi, mulai dari 200.000, 400.000, hingga 700.000 buku.
Maju sedikit ke depan, pada akhir abad ke-15 di Italia, Girolamo Savonarola memastikan seluruh buku, gambar, perhiasan, dan lukisan milik penduduk kota yang dinilai tidak pantas; dilahap dalam bonfire of the vanities atau api unggun kesombongan. Masuk ke abad 20, pembakaran buku oleh Nazi tidak boleh luput dari ingatan. Sekitar 25.000 karya “non-Jerman” dibinasakan pada 1933. Teks apa pun yang bertentangan secara ideologi, karya-karya bangsa Yahudi, buku-buku yang mencerminkan nilai demokrasi, seni yang dianggap salah, wacana tentang seksualitas dan identitas gender; semua dihancurkan.
Kasus di atas belumlah lengkap, belum mencakup seluruh peristiwa pembakaran buku yang ada di dunia. Buku A Universal History of the Destruction of Books: From Ancient Sumer to Modern Iraq (Fernando Báez, 2008) merekam banyak hal penting. Namun, satu benang merah terang yang dapat kita tarik, pembakaran buku adalah kerap kali bentuk pembungkaman demi mengukuhkan legitimasi. Membakar buku mewakili upaya politis untuk menghapus catatan yang bersikap di seberang. Báez berargumen, buku dibakar bukan sebagai benda mati, melainkan sebagai suatu ingatan, poros dari identitas seseorang atau sebuah komunitas. Matinya ingatan akan membunuh sebuah identitas.
“There is no religious, political, or military hegemony without cultural hegemony. Those who destroy books and libraries know what they are doing. Their objective has always been clear: intimidate, erase motivation, demoralize, enhance historical oblivion, diminish resistance, and, above all, forment doubt,” (A Universal History of the Destruction of Books: From Ancient Sumer to Modern Iraq (Fernando Báez, 2008: 16).
Intimidasi, menghilangkan perlawanan, dan menciptakan keraguan adalah tiga hal yang patut kita garisbawahi dalam pembakaran Catatan Najwa.
Pada saat pelantikan Presiden dan Wakil Presiden 2024–2029, tanggal 20 Oktober 2024, Jokowi yang telah purnatugas pulang ke Solo tidak dengan pesawat komersil. “Nggak jadi komersil. Sekarang nebeng TNI AU,” kata Mbak Nana yang sedang melakukan siaran langsung. Ini yang membuat Catatan Najwa dibakar, bukan karena isi bukunya atau rekam jejak penulisnya. Sebab jika iya, mengapa baru sekarang Catatan Najwa dibakar?—bukunya sudah terbit pada 2016; penulisnya sudah vokal sejak lama. Isi bukunya tidak penting, yang penting penulisnya dimatikan secara simbolis, diikuti dengan komentar-komentar intimidatif serta melecehkan, dan hasutan #BoikotNajwa yang tiba-tiba meruak. Makanya, beberapa warganet berpendapat bahwa dibakarnya Catatan Najwa bisa dilihat sebagai ikhtiar pembunuhan karakter Najwa Shihab.
Sangat mungkin, buku ini dibakar oleh orang-orang yang tidak pernah membacanya. Padahal, muatannya begitu relevan. Catatan Najwa seolah memprakirakan situasi Indonesia hari ini.
Banyak orang lupa daratan,
karena kuasa memang kerap meninabobokan.
Bukan rahasia jika elit penguasa di Indonesia, sejahterakan juga seluruh sanak keluarga.
Jangankan presiden dan keluarganya, keluarga bupati wali kota pun lazim berfoya-foya. Bagaimana Gibran-Kaesang merintis usaha, apakah memanfaatkan jabatan bapaknya? Benarkah mereka memang berbeda, atau hanya soal menunggu waktu untuk tergoda?
(Catatan Najwa, 2016, hlm. 38)
Bekerja dengan tangan dan kaki sendiri,
berkarya dengan memeras keringat sendiri.
Sebab Indonesia milik semua anak bangsa,
tanah air bukan kapling warisan keluarga.
(Catatan Najwa, 2016, hlm. 19)
Karena presiden
memang bukan raja,
Istana bukanlah pesanggrahan keluarga.
(Catatan Najwa, 2016, hlm. 45)
Mulai dari persoalan Gibran dan Kaesang, ‘tanah air bukan kapling warisan keluarga’, hingga ‘istana bukanlah pesanggrahan keluarga’, semuanya bisa kita saksikan hari ini secara gamblang.
Barangkali segelintir beranggapan bahwa hangusnya Catatan Najwa sama sekali tidak berimbang dengan tragedi pembakaran buku secara massal (bibliocaust) yang pernah terjadi di dunia. Catatan Najwa memang tidak dilenyapkan langsung oleh tangan penguasa, ia dibakar oleh netizen. Namun, dalam konteks hari ini, yakni rezim yang secara terang-terangan melukai konstitusi dan mengedepankan influencer serta buzzer sebagai pionnya, membakar buku seorang jurnalis—bahkan melecehkannya!—menyimbolkan satu hal penting: kita benar-benar tidak aman. Dalam sebuah drama pada 1821, seorang penyair asal Jerman bernama Heinrich Heine menulis, “Where they burn books, at the end they also burn people.” Jangan sampai itu terjadi.