Makna Diaspora di Sepanjang Khatulistiwa: Bertandang ke Negeri Seberang
Pada submisi Column kali ini, Alia Swastika menuliskan tentang perjalanan yang diambil oleh Biennale Jogja Equator menelusuri negara-negara di kawasan khatulistiwa dan upaya mereka untuk terus mempertanyakan konsep tentang internasionalisme.
Words by Whiteboard Journal
Dalam beberapa dekade terakhir, kita sering sekali mendengar ‘go-international’ menjadi slogan yang didengungkan sebagai target dan ukuran pencapaian di berbagai bidang—entah dalam konteks ekonomi, pendidikan, kesenian, olahraga, dan sebagainya. Makna menjadi internasional itu seolah-olah ditentukan ketika karya kita sudah muncul di luar negeri, apa lagi ketika yang dimaksud sebagai luar negeri ini adalah negara-negara seperti Amerika Serikat, Perancis, Jerman, atau Jepang, kalau kita mau menunjuk sesama Asia. Kita seperti terpukau pada gagasan-gagasan kemajuan dalam ukuran seperti masa kolonial: ditentukan oleh tuan kulit putih yang berkuasa. Sementara gagasan atas globalisasi dan kosmopolitanisme sesungguhnya jauh melampaui sekadar “pergi ke luar negeri” atau “berada di Eropa/Amerika” : bahwa menjadi kosmopolitan mestinya berangkat dari kesadaran bahwa setiap sudut di muka bumi adalah bagian dari bola dunia, karenanya menuju Barat, Timur, atau Tenggara, sesungguhnya tak boleh dilihat tak setara. Menjadi “go-international” bisa terjadi di Papua, atau juga Maladewa.
Kesadaran-kesadaran semacam inilah yang mendasari kerja-kerja Yayasan Biennale Yogyakarta selama sepuluh tahun terakhir. Sebagai sebuah peristiwa seni yang telah berlangsung sejak 1988, keinginan untuk memperluasnya sebagai peristiwa internasional membuat para pendirinya memutar otak mencari strategi. Internasionalisme macam apa yang dapat kita tawarkan, sehingga kita tidak hanya latah menjadi bagian dari fenomena Biennalisasi yang marak di berbagai tempat? Bagaimana membedakan Biennale Jogja dengan Biennale Shanghai, Sydney atau Sharjah, misalnya? Dari sini, muncullah ide untuk bekerja hanya dengan negara-negara di kawasan khatulistiwa—terimakasih untuk inspirasi yang menggugah dari dokumen-dokumen Konferensi Asia Afrika Bandung 1955. Bingkai kerja khatulistiwa tidak saja menjadi sebuah pembeda, tetapi menjadi pijakan ideologis untuk kemudian, meski pelahan, kami mencoba mencari celah dalam proyek-proyek dekolonisasi.
Biennale Jogja Equator (BJE) dimulai dari perjalanan menuju India, pada 2011. Ketika terpilih menjadi kurator bagi pergelaran ini, saya diam-diam bersyukur bahwa mimpi pergi ke India akhirnya tercapai. Saya harus mencari kurator mitra dan memilih beberapa seniman di sana. Semenjak kecil, saya merasa dekat dengan India terutama melalui berbagai kisah Mahabharata yang saya tonton dalam berbagai pergelaran wayang, membaca komik RA Kosasih atau menonton film-filmnya. Tentu saja film-film India sesekali juga menjadi referensi bagi saya, tetapi tidak secara intens saya menggemari film India. Seniman-seniman India sudah saya kenal di periode sebelumnya melalui pameran yang tonton di beberapa negara. Saya merasa punya bekal yang cukup untuk bertualang ke sana. Kenyataannya, tiba di India masih memunculkan kejutan bagi saya. Membaca peta masih sulit—saat itu, akses wifi atau internet dari selular pada masa perjalanan masih sangat mewah, sehingga supir bajaj sering menurunkan saya di sembarang tempat, kadang-kadang bahkan di tengah perkampungan kumuh Mumbay yang epik. Ternyata beberapa seniman memang hidup di tengah kampung, sama seperti kampung-kampung tengah kota di Jakarta yang sedemikian padat dan pengap. Beberapa seniman yang sukses secara ekonomi hidup cukup mewah dengan studio yang besar dan lapang, yang dari studio mereka karya-karya dikirimkan ke Paris, Berlin, New York, Hong Kong, hampir tak berhenti.
Dari kegagapan menghadapi lalu lintas Mumbay yang super chaos, sesekali kemacetan disebabkan oleh sapi-sapi yang berhenti di tengah perempatan, kami sempat juga mampir ke Bangalore, sebuah kota di selatan India yang juga memiliki sejarah seni modern yang cukup panjang. Kami bertemu dengan Suman Gopinath—yang pada akhirnya menjadi kurator mitra kami. Dari Suman, kami bertemu pula dengan beberapa seniman lain yang tinggal di sana. Bangalore jauh lebih tenang ketimbang Mumbay. Kota ini disebut sebagai Silicon Valley-nya India, sehingga banyak perusahaan teknologi informasi didirikan di sana. Nah yang menarik, ketika berada di sana, sedang terjadi kejuaraan kriket, salah satu olahraga paling populer di India yang diperkenalkan pada masa kolonial Inggris. Terus terang, saya sama sekali tidak tahu tentang olah raga ini. Seorang sopir taksi di sana sempat sebal karena saya seperti bertanya “seperti apa sih olah raga kriket?” Dan mengomel lah ia panjang lebar tentang kriket dan bagaimana kriket menjadi olahraga paling penting di India. Hampir semua atlet kriket juga muncul sebagai bintang iklan berbagai produk di televisi, balihoo jalanan, dan ruang-ruang publik lainnya.
Dua tahun kemudian, 2013, kami berhasil mengirim empat seniman melakukan residensi di Sharjah, Uni Emirates Arab dan di Kairo, Mesir, pada Biennale Jogja Equator edisi kedua setelah serangkaian lobby yang dilakukan oleh Yustina Neni (Direktur YBY pada waktu itu). Duto Hardono, seniman asal Bandung yang tumbuh besar pasca 1998, pada akhirnya justru mengalami masa-masa ketegangan politiknya di negeri yang jauh. Ketika tinggal sebulan di sana, Duto menyaksikan sendiri bagaimana gejolak politik pasca Arab Spring meninggalkan situasi serba tidak menentu di sana. Bagi Duto yang tidak sempat mengalami reformasi, menjadi menarik untuk melihat bagaimana keterlibatan kaum muda dalam sebuah revolusi politik, atau bagaimana membandingkan kesadaran politik dari berbagai negara dan konteks budaya. Di sana Duto juga menjelajah beragam bentuk musik underground Kairo, yang beberapa di antaranya juga menjadi bagian dari gerakan revolusi politik, dan inilah yang kemudian dikembangkan menjadi karya yang dipamerkannya di Biennale Jogja XII Equator #2 2013. Sementara Venzha mewujudkan mimpi lama untuk menyelidiki bagaimana mahluk luar angkasa menjadi bagian dari pembangunan Piramid di Mesir, sehingga di sana ia sempat menjelajah laboratorium-laboratorium penting yang melihat relasi antara artefak purba dengan eksperimen-eksperimen ilmiah yang lebih futuristik. Prilla Tania dan Tintin Wulia tinggal hampir selama dua bulan di Sharjah dan mengalami hidup di kota yang lebih berbasis tradisi ketimbang Dubai atau Abu Dhabi. Kota ini juga menjadi rumah baru bagi ratusan ribu pekerja migran yang berasal dari Bangladesh atau Afrika Utara, sehingga membicarakan perihal identitas dan segregasi ruang urban menjadi tantangan yang menarik bagi kedua seniman.
Perjalanan terus menelusuri jejak Barat khatulistiwa berlanjut ke Lagos, Nigeria, pada 2015. Ketika memulai pengurusan perjalanan, kami telah disulitkan dengan persoalan virus ebola yang pada saat itu mulai menyebar di Kawasan Afrika. Media massa seluruh dunia seperti dibuat panik akan kemungkinan penyebaran yang lebih luas. Kedutaan Nigeria di Indonesia sendiri menyaratkan bahwa siapapun yang akan bertolak ke Nigeria perlu menjalani prosedur kesehatan seperti suntik vaksin dan sebagainya. Ketika rombongan tiba di Lagos, sebenarnya ketakutan atas virus itu tidak sedramatis yang muncul di berbagai media. Ada pembesaran-pembesaran yang tidak pada porsinya. Di Lagos, seniman Maryanto menelusuri bagaimana eksploitasi sumber daya alam—minyak bumi—yang berlebih dan tidak didasari dengan strategi keberlanjutan pada akhirnya membawa dampak besar pada lingkungan dan Nigeria sekarang menjadi negara yang defisit minyak bumi. Bersama seniman Nigeria, Victor Ekhihamenor Maryanto berkolaborasi untuk membawa isu ini menjadi perhatian bersama, dan melihat konteks bentang alam khatulistiwa sebagai ruang yang kaya sumber daya, tetapi sering kali dikelola dengan tidak tepat.
Perjalanan kurator Sigit Pius Kuncoro, Muhammad AB dan Dodo Hartoko ke Sao Paulo Brazil pada 2017 barangkali menjadi perjalanan terjauh dari Yogyakarta menelusuri garis khatulistiwa. Pada perjalanan ini, mereka menemukan bagaimana kesamaan pengalaman dalam konteks kolonialisme menjadi titik penting dalam pembentukan gagasan tentang identitas dan modernisme, termasuk juga pada perkembangan lebih lanjut dalam bidang seni dan kebudayaan. Negara penjajah Brazil, Portugal, pernah juga singgah di beberapa titik di Indonesia dan memberikan pengaruh yang cukup besar bahkan hingga kini, terutama jika kita menelusuri wilayah Flores Timur atau pada perbatasan Timor Leste. Bahasa Indonesia juga menyerap beberapa kata Portugis.
Pada 2019, kami berbalik melihat kembali relasi Indonesia dan Asia Tenggara. Sebagaimana gagasan besar Biennale khatulistiwa untuk terus mempertanyakan konsep mapan tentang internasionalisme, pada edisi kali ini, kami mencoba menyajikan Asia Tenggara dari ruang-ruang yang lebih berada di pinggiran. Kami menapak batas-batas dan ruang antara, dari Naratthiwat di Thailand hingga Sarawak di Malaysia, sehingga Asia Tenggara tidak melulu dilihat dari Manila, Jakarta dan kota-kota gemerlap lainnya. Perjalanan ke wilayah-wilayah pinggiran ini menawarkan banyak refleksi tentang bagaimana konsep negara bangsa seringkali menjadi hal yang terasa abstrak bagi mereka yang hidup di perbatasan. Ide menjadi bangsa memang lebih muncul karena terbayang, atau dikonstruksi bersama, sebagaimana yang kita baca dari Ben Anderson.
Demikianlah, tak terasa kami telah berjalan selama 10 tahun menelusuri satu putaran bumi. Serpih cerita kami kumpulkan satu persatu, seperti kita menghayati kisah-kisah pejalan di masa lampau, mulai dari Tome Pires atau Marcopolo. Tapi tentu kita mesti melihatnya berbeda: bahwa perjalanan bukanlah kisah penaklukan, tetapi justru sebaliknya, kita sedang berusaha menolak untuk takluk pada hantu kekuasaan masa lalu.