Lupakan Kurikulum, Sinema Bisa Bantu Kita Pahami Borok Orde Baru
Dalam submisi Open Column ini, Galih Pramuditho membagikan daftar film yang dapat kita jadikan pengantar untuk mengeksplorasi sejarah kelam Orde Baru yang sampai saat ini masih ditutupi oleh negara.
Words by Whiteboard Journal
Lahir pasca 1998, pengetahuan tentang Orde Baru tentunya sangat asing bagi saya. Ia tak pernah dihidangkan di meja belajar. Kalaupun ada, tidak pernah menjadi menu penting dan selalu dibumbui sensor. Merasa banyak yang ganjil dan didorong rasa penasaran, saya mencari sumber pengetahuan alternatif tentang zaman tersebut melalui film, musik, dan sastra.
Saya pernah bercerita tentang Langit Masih Gemuruh (2015) yang membantu saya menyingkapkan tabir sejarah yang sembunyi di balik kurikulum pendidikan. Sementara, esai ini akan berfokus pada bagaimana saya memahami sejarah Orde Baru dari film-film yang diproduksi pasca reformasi.
Film-film yang akan saya bahas dalam artikel ini seharusnya menjadi alternatif sebagai sumber sejarah Orde Baru. Kenyataannya, film-film ini adalah salah satu sumber utama pencarian saya mengenainya. Seperti yang sudah saya sebutkan dalam esai sebelumnya, saya melihat sejarah atau keseharian di Orde Baru sebagai teka-teki. Hal ini tentu saya rasakan seumur hidup saya: saya bingung mengapa ada stereotip yang kuat terhadap orang-orang Tionghoa, saya bingung mengapa ada anekdot mengenai “orang hilang” dan Petrus, saya bingung mengapa sejarah mengenai 1965 dan 1998 jarang diceritakan di buku sejarah (kalaupun diceritakan, pasti singkat dan ringkas), saya bingung mengapa banyak film yang terinspirasi dari kisah-kisah di masa Orde Baru, dan ribuan pertanyaan lainnya.
Film tentang Orde Baru pertama yang saya tonton adalah Istirahatlah Kata-Kata (2016, Yosep Anggi Noen). Film ini merupakan biografi seorang penyair dan aktivis Widji Thukul saat masa pengasingan di Kalimantan. Ketika mengetahui tentang film ini, saya langsung mencari siapa sosok sebenarnya Widji Thukul dan mengapa perannya dalam sejarah Indonesia begitu signifikan. Beruntungnya, Ayah saya mengenal sosok Widji Thukul, walaupun beliau hanya sekelibat mengenal sosok dan karyanya, ia selalu mengatakan bahwa sosok Thukul cukup signifikan sebagai aktivis di Orde Baru. Selain itu, beberapa musisi favorit saya seperti Cholil Mahmud (Efek Rumah Kaca) juga menyatakan bahwa Thukul signifikan dalam pergerakan Orde Baru.
Lantas, jika karya dan aktivisme Thukul signifikan mengapa saya tidak menjumpai namanya di buku sejarah SMA saya? Bahkan beberapa guru saya tidak mengenal sosok Thukul. Ketika saya menonton film ini, terjawab sudah kebingungan saya mengenai sosoknya.
Istirahatlah Kata-Kata (2016) tidak sepenuhnya menceritakan tentang Widji Thukul. Garis besar dari film tersebut adalah bagaimana Orde Baru membangun sebuah sistem mengekang di bawah kuasa militer dan otoritas. Widji Thukul tidak digambarkan sebagai penyair berapi-api seperti yang saya lihat pada rekaman pembacaan puisi Peringatan. Widji Thukul digambarkan sebagai masyarakat biasa. Di dalam konteks ini, Widji Thukul adalah kita—penonton.
Anggi Noen merancang film ini dengan tepat: banyak long take, penyuntingan gambar dari satu ke lainnya cukup lama, minimnya musik sehingga membuat kesunyian menjadi latar paling keras. Film ini dirancang dengan tempo lambat, menciptakan persis bagaimana rasanya menjadi buronan. Rancangan Anggi Noen ini saya rasa tepat dalam konteks film, seolah mengajak penonton merasa terasing dan takut.
Melalui film ini, saya mempelajari bagaimana tentara menjadi sosok sentral yang mengontrol masyarakat pada Orde Baru. Ada adegan ketika Widji Thukul hendak memangkas rambut, namun ketika antriannya tiba, ia diserobot oleh seorang tentara. Tukang pangkas tidak memberi komplain, begitu juga Thukul, seolah dengan diam tunduk dalam kuasa tentara. Saya rasa film ini cukup tepat dalam menggambarkan bagaimana suasana Orde Baru, saya merasa saya adalah Widji. Bahkan setelah menonton, rasa takut dan khawatir dikejar oleh aparat tidak hilang.
Selanjutnya saya akan membahas Sugiharti Halim (2008, Ariani Darmawan). Film ini mengubah persepsi saya mengenai teman-teman Tionghoa-Indonesia. Film ini memanusiakan keturunan Tionghoa-Indonesia dari segala streotipe yang ada. Ia menceritakan seorang perempuan keturunan Tionghoa bernama Sugiharti Halim. Ia merasa aneh mengapa namanya terlalu “Indonesia” ketimbang menggunakan nama Tionghoa. Ternyata hal ini berhubungan dengan sejarah Indonesia pasca 1965 dalam memerlakukan keturunan Tionghoa-Indonesia. Rezim Orde Baru pada saat itu menjatuhkan perintah kepada keturunan Tionghoa di Indonesia bahwa jika ingin memilih menjadi warga Indonesia, mereka harus mengganti nama Tionghoanya menjadi nama “Indonesia”. Ayah Sugiharti mengganti nama menjadi Taruna Halim dari nama Tionghoanya, Liem Oen Hok.
Plot keseluruhan film ini berpijak pada Sugiharti yang menceritakan asal-usul namanya kepada pasangan kencannya. Berbeda dengan Istirahatlah Kata-Kata (2016) yang cenderung bertempo lambat dan mengasingkan penonton, Ariani Darmawan mengajak penonton untuk bersama menertawai tingkah laku Sugiharti yang jenaka. Kendati memiliki warna film yang jenaka, isi dan konteks film cukup gelap: mengambil isu mengenai betapa subtil dan sistemiknya Orde Baru melakukan tindak rasis kepada keturunan Tionghoa. Pemberlakuan Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI) kepada keturunan Tionghoa adalah salah satu bentuk implementasi kebijakan rasisnya. Surat ini hanya berlaku kepada keturunan Tionghoa, tidak kepada keturunan Arab, India atau lainnya. Sejak kecil saya merasa agak asing dengan keturunan Tionghoa. Tentu ini pengaruh lingkungan saya yang cenderung melontarkan stereotip rasis. Namun, ketika nonton film ini, saya bisa lebih memahami mengapa beberapa keturunan Tionghoa memilih mengasingkan diri terutama karena kejadian 1965 dan 1998 tersebut.
Film terakhir yang akan saya bahas adalah Jagal (2012, Joshua Oppenheimer). Kendati film ini menimbulkan kontroversi dari pendekatan filmmaking Oppenheimer yang seolah mengelabui sang subjek dokumenter, film ini cukup menjadi pengantar bagi saya tentang tragedi 1965 dan segala kelumitnya.
Komunis bagi saya adalah entitas aneh, penuh teka-teki. Ia bagai hantu yang menghantui, ia ditakuti. Ketika saya mencari pemahaman komunis di Internet, saya tidak menemukan bahwa komunis adalah ancaman, entah dari mana ketakukan akan komunis ini berakar. Beranjak dewasa, saya memahami adanya ideologi anti-komunis yang mewabah di Orde Baru. Pemantik ini datang setelah saya membaca novel Pulang (2012, Lelila Chudori), mendengarkan lagu Bahaya Komunis (2017, Jason Ranti) dan album NKKBS Bagian Pertama (2017, Majelis Lidah Berduri). Kini, saya juga memahami bahwa rezim Orde Baru berhasil dengan ampuh menanamkan serta menegakkan ideologi anti-komunis melalui film propaganda Pengkhianatan G30SPKI (1984, Arifin C Noer).
Pada Jagal (2012), ia menceritakan sisi lain dari tragedi 1965 yang tidak pernah saya baca dalam buku sejarah atau wacana sejarah nasional manapun. Film ini bertumpu pada sosok Anwar Congo, salah satu penjagal yang membantai orang-orang yang terafiliasi atau terduga komunis pada Genosida 1965, tepat setelah kejadian 30 September 1965. Anwar Congo adalah bagian dari Pemuda Pancasila, organisasi paramiliter yang menjadi sosok sentral dalam membantai anggota PKI, dituduh PKI atau bahkan simpatisan komunis/ideologi kiri lainnya.
Dari film ini saya belajar tentang fakta mengagetkan dari sejarah saya sendiri. Sehabis menonton film ini, saya merasa dibohongi selama menempuh pendidikan wajib ini. Saya bingung mengapa fakta ini tidak dimuat di buku sejarah, agar tidak tersesat dalam menavigasikan sejarah negaranya sendiri.
Pengalaman yang saya muat di esai ini adalah pengalaman pribadi. Namun, saya percaya akan ungkapan personal is political. Hal personal juga bersinggungan dengan hal-hal politis. Saya rasa bukan hanya saya sendiri yang susah payah dalam menavigasikan sejarah mengenai Orde Baru. Generasi pasca 1998 adalah korban dari abainya negara dalam mencatat dan mengkurasi sejarah. Tentu, sejarah ditulis oleh pemenang, tapi kami (khususnya saya) tidak pernah tahu siapa yang “menang” dan “kalah”. Tulisan ini saya harap bisa menjadi pengantar, khususnya bagi teman-teman yang lahir pasca 1998, dan yang masih duduk di bangku sekolah. Jangan jadikan tulisan ini sebagai acuan utama, jadikan tulisan ini sebagai pengantar untuk mengeksplorasi sejarah-sejarah yang ditutupi oleh negara. Mungkin di tengah jalan akan merasa bingung dan tersesat, tapi tak apa, itu lebih baik ketimbang dikelabui oleh kebohongan.
*Sugiharti Halim (2008) dan Jagal (2012) bisa diakses secara legal dan gratis, sementara Istirahatlah Kata-Kata (2016) bisa ditonton secara online namun berbayar.