Kritik untuk Social Justice Warrior di Antara Kita
Mempertanyakan relevansi aktivisme sosial media sembari menitipkan salam dukungan untuk mereka yang turun ke jalan.
Words by Whiteboard Journal
Belakangan ini, agak susah rasanya untuk merasa bahwa hidup kita sedang baik-baik saja. Semakin hari, semakin banyak berita duka di linimasa. Pemanasan global menyentuh titik kritisnya, saudara Papua kita dianiaya, pejabat bikin statement seolah tak punya isi kepala, wakil rakyat mengingkari janjinya, dan sekali lagi, diberangus paru-paru bumi kita. Langit memerah, kerusuhan pecah, di timur sana, entah berapa nyawa melayang sudah.
Ada kelakar yang menggelitik dari Tunggal Pawestri, di hari demonstrasi penolakan RKUHP, Tunggal berkata bahwa generasi Z punya cara yang unik dalam berdemonstrasi, generasi X yang paranoid dan sotoy, sedangkan millenials abstain bersuara karena desakan cicilan. Ada realita menarik dari cuitan ini. Millennials, kelompok generasi dengan usia produktif, justru alpa dalam penentuan nasib bangsa. Dibelenggu tuntutan ekonomi, banyak di antara kita lantas hanya bisa memantau, sesekali me-retweet berita, repost insta story, semua dilakukan dari meja kerja. Beberapa melakukannya dengan dasar kepedulian, tapi tak sedikit pula yang melakukannya demi validasi diri semata.
Mungkin, ini definisi akurat untuk term social justice warrior. Semangat aktivisme dilakukan demi status sosial semata, saat diajak turun ke jalan, alpa dengan alasan tuntutan untuk menyambung kehidupan. Ada anak yang harus dibeli susunya, ada iuran kontrakan yang bayarnya tak bisa ditunda, dan masih banyak dalih-dalih lainnya. Padahal, jika keadaan gini-gini saja, bisa jadi, tak akan ada indah-indah di masa depan anak-anak kita.
Mungkin, yang salah bukan kita. Yang salah adalah momentumnya. Saat 1998, kita terlalu kecil untuk ikut atau bahkan untuk paham konteks perjuangan reformasi itu apa. Kini, dua dekade berselang, ternyata kita terlalu sibuk ikut mobilisasi massa. Jadi ya sudah, cukup pantau saja di sosial media. Retweet post yang kita suka, share stories yang buat kita terlihat seolah peka.
Sayangnya, sampai sekarang ini setidaknya, belum ada bukti bahwa sosial media bisa mengubah alur sejarah. Ia hanya jadi salah satu media bagi perluasan kesadaran akan sebuah masalah. Motor utama bagi perubahan sosial adalah pergerakan.
Ada beberapa wacana yang lebih optimis dalam melihat peranan kita di situasi sulit seperti ini. Mereka melihat bahwa semua menjalankan peran masing-masing dalam pergerakan ini. Teman-teman mahasiswa turun ke jalan, kita yang lebih tua, membantu dengan dukungan di sosial media sembari terus memutar roda kehidupan. Sembari berharap petisi online yang kita tanda tangani, hashtag yang kita pakai di postingan bisa berfungsi serupa shalawat saat kita bermunajat.
Tapi, di saat yang sama, Islam mengajarkan bahwa “Allah tak akan mengubah nasib suatu kaum, sebelum kaum tersebut mengubah nasib mereka sendiri” (QS. Ar-Ra’d [13]: 11). Bukankah ini adalah landasan pikir yang sahih tentang bagaimana Islam menekankan peran pergerakan dalam perubahan sosial? Lalu, jika memang begitu, lantas di mana signifikansi kita yang duduk tenang di sejuknya penyejuk ruangan, dibandingkan dengan peluh adik-adik yang sedang berjuang turun ke jalan?
Sementara, tak jarang teman-teman di sekitar kita mulai curiga bahwa aksi di jalan ditunggangi kekuasaan. Beberapa yang lain mengutuki kekacauan (saya tak nyaman memakai kata anarkis di konteks ini) hasil demo semalam. Tulisan ini bukan dibuat untuk menyerang teman-teman yang tak turun ke jalan, karena nyatanya, tulisan ini dibuat oleh salah satu dari kalian. Tapi tak adil rasanya bila kita mencurigai teman-teman di jalan kalau yang kita lakukan tak lebih signifikan.
Pada akhirnya, mungkin yang kita bisa lakukan adalah titip salam pada mereka yang sedang berjuang di jalan membelokkan besi-besi tiran yang mengekang. Salam hormat kepada mereka, dan doa semoga mereka selalu dalam lindungan Tuhan.