Krisis Iklim di Depan Mata, Kok Kita Malah Disuruh Boros Listrik?
Dalam submisi Open Column ini, Firman Imaduddin memaparkan kritik tentang mismanajemen energi oleh PLN dan bagaimana pemerintah mendorong warga Indonesia untuk menggunakan listrik secara jor-joran.
Words by Whiteboard Journal
Foto: Melvinas Priananda/Trend Asia
Mungkin beberapa di antara kita ingat bahwa beberapa tahun lalu, kita didorong pemerintah untuk menghemat listrik. Pada 2008, PLN mengampanyekan penghematan listrik pada pukul 5 sore hingga 10 malam di berbagai daerah. Pada 2014, pemerintahan SBY mengumumkan roadmap penghematan listrik yang menargetkan pengurangan konsumsi listrik hingga 10% per 2020. Alasan yang digunakan bermacam-macam, mulai dari merawat bumi hingga menjaga harga energi.
Siapa sangka di tahun 2024 ini kita malah didorong untuk menghamburkan listrik sebanyak-banyaknya?
Pemerintah kini berlomba-lomba menawarkan pembagian kompor listrik gratis, penanak nasi, mempromosikan kendaraan listrik, hingga memberi diskon peningkatan kapasitas muatan listrik rumah tangga.
Mengapa ini bisa terjadi? Jawabannya adalah oversupply. Berbagai jaringan listrik di Indonesia mengalami kelebihan pasokan listrik yang tidak terserap, baik untuk kebutuhan domestik, industri, dan lain-lain.
Akibatnya, kelebihan listrik ini harus ditampung dalam jaringan PLN. Kondisi ini tidak selalu buruk. Ia dapat menjadi jaring pengaman ketersediaan dan ketahanan pasokan listrik. Kelebihan lebih baik daripada kekurangan, bukan? Masalahnya, oversupply di jaringan-jaringan Indonesia sudah sangat berlebihan. Pada awal 2023, secara total Indonesia telah kelebihan pasokan listrik hingga 40%.
Parahnya, kondisi ini menyebabkan PLN rugi besar. PLN menggunakan skema take-or-pay dalam kerja sama dengan pembangkit swasta atau IPP (Independent Power Producer). Dalam sistem ini, PLN berkewajiban membeli semua listrik yang diproduksi oleh pembangkit swasta, baik listrik tersebut terjual ataupun tidak. Skema ini memberi jaminan manis pada investor bahwa asalkan mereka membangun pembangkit dan memproduksi listrik, PLN akan terus membeli produk mereka.
Dahulu, skema ini membantu meningkatkan produksi ketika Indonesia sedang tertatih secara ekonomi. Namun sekarang, ketika produksi listrik sudah berlebih, ia justru menjadi kutukan. PLN harus terus membeli listrik dari pembangkit swasta meskipun listrik ini tidak terbeli oleh konsumen. Wajar jika mereka merugi, dan dengan jumlah yang tidak sedikit.
Di akhir 2020 saja, PLN memiliki utang hampir 600 triliun dan disebut hampir bangkrut. PLN pada akhirnya memang tidak bangkrut. Tapi, pada tahun 2020 mereka sempat mencatat kerugian hingga Rp38,8 triliun. Saat merugi, sebagai BUMN, siapa yang menalangi kerugiannya? Tentu pemerintah dengan uang pajak kita. Lagi-lagi, negara dan warga negara sebagai pembayar pajak yang dirugikan.
Karena itulah PLN dan pemerintah terbirit-birit mendorong konsumsi listrik. Seperti toko yang tengah cuci gudang, mereka ingin mengalihkan beban ini ke masyarakat. Kita diimbau meningkatkan konsumsi listrik dengan menggunakan kompor listrik, beralih ke kendaraan listrik, hingga meningkatkan kapasitas listrik rumahan.
Sudah Berlebih, Produksi Energi Kotor Terus Digenjot
Seperti yang telah dijabarkan, ada dua akar masalah yang menyebabkan kondisi ini: sistem take-or-pay dan oversupply listrik. Namun pemerintah seolah lamban menyikapi kedua hal ini
PLN memang berupaya bernegosiasi untuk menurunkan kewajiban take-or-pay. Hal ini menjadi rumit karena ia umumnya terkandung dalam Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik (PJBL) yang berjangka waktu panjang. Kontraknya berjalan hingga 30 tahun. Pada 2022, PLN menghindari kebangkrutan dengan menyepakati penundaan jadwal operasi di beberapa pembangkit swasta. Langkah ini diklaim PLN menghemat biaya sebesar Rp37 triliun dari beban take-or-pay. Namun ini sama sekali bukan solusi jangka panjang, karena sisa biaya ini pada akhirnya akan tetap perlu dibayar.
Tapi di sisi lain, di tengah kelebihan suplai, pemerintah malah masih berwacana meningkatkan produksi listrik dengan energi kotor fosil. Dari 35 Gigawatt (GW) tambahan suplai listrik dari PLTU dalam RUPTL (Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik) 2021-2030, lebih dari sepertiganya adalah PLTU batu bara.
Jika situasi tidak berubah, angka oversupply listrik akan mencapai 41 GW per 2030. Bayangkan betapa besarnya biaya terbuang yang seharusnya dapat digunakan untuk pendidikan, kesehatan, dan kepentingan publik lainnya.
Ketimbang berupaya mendorong angka konsumsi listrik, yang tentu bertentangan dengan semangat berkelanjutan dan ramah lingkungan, pemerintah seharusnya berfokus pada pemensiunan PLTU batu bara. Bukannya malah menambah PLTU dalam kondisi yang sudah berlebihan listrik.
Namun, masih gencarnya pembangunan energi fosil, khususnya batubara, bukan hanya bermasalah dari segi pemborosan. Ia juga bertentangan dengan misi transisi energi melawan perubahan iklim.
Menghalangi Masuknya Energi Bersih
Indonesia, seperti halnya seluruh dunia, saat ini tengah berada dalam tekanan transisi energi untuk melawan perubahan iklim. Untuk mencegah perubahan iklim di bawah 1,5oC, Indonesia telah berjanji untuk bertransisi ke energi bersih dan meningkatkan penggunaan energi terbarukan hingga 23% per 2030. Namun kenyataannya, hingga akhir 2023 saja pemanfaatan energi bersih masih berkisar di angka 12,8%.
Untuk mengejar ketertinggalan, kita perlu segera beralih ke sumber-sumber energi terbarukan, dan memensiunkan PLTU batu bara yang masih beroperasi. Hal ini menjadi lingkaran setan karena dalam kondisi listrik yang sudah terlanjur oversupply, semakin sulit bagi sumber energi bersih untuk masuk ke pasar Indonesia.
Inisiasi energi terbarukan seakan dijegal sana sini, terlebih pada skala komunal dan kecil seperti pemanfaatan di perumahan. Perubahan peraturan terbaru PLTS Atap, misalnya, mempengaruhi antusiasme pengguna panel surya skala perumahan dan industri. Berbagai insentif dihapuskan dan pengadopsian dibatasi. Termasuk menghapus sistem ekspor-impor, yang mengizinkan warga “menjual” kelebihan listrik tak terpakai ke PLN. Alasannya? Lagi-lagi, oversupply PLN.
Begitu pula dengan berbagai pembangkit mikrohidro (tenaga air skala kecil) yang beroperasi di banyak pelosok negeri dan minim didukung pemerintah. Pembangkit macam ini kerap menjadi andalan di daerah terpencil, namun mereka sering kesulitan menangani perawatan dan pengelolaan teknis. Pemerintah cenderung mengabaikan upaya-upaya ini. Mungkin karena mereka tidak mengonsumsi listrik PLN.
Atas nama peningkatan konsumsi listrik, pemerintah tidak ragu membatasi produksi listrik bersih secara independen oleh warga.
Berbagai narasi seperti “kendaraan listrik lebih ramah lingkungan” menjadi pepesan kosong ketika dihadapkan dengan keengganan pemerintah mendorong pengembangan energi bersih terbarukan. Alih-alih, mereka terus bersikukuh dengan pembangkit batu bara yang jelas mengotori lingkungan dan merusak kesehatan.
Tenaga listrik, seperti halnya air, bumi, dan kekayaan alam lainnya, dikuasai negara dengan mandat dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Namun, pada saat ini logika pengelolaan listrik oleh PLN jelas mengabaikan mandat tersebut.
Ketimbang mempertimbangkan kemakmuran rakyat, skema take-or-pay dan berbagai proyek ambisius batubara condong melayani minat dan kepentingan taipan energi. Ketika merugi, mereka membebani rakyat untuk menebus kerugian mereka. Mereka mencekoki rakyat untuk lebih boros mengonsumsi listrik untuk menutupi kerugian, menghalang-halangi masuknya energi bersih, dan bahkan menghalangi warga yang ingin mencapai kemandirian energi.
Melihat ini semua, masih pantaskah kita menyebut bahwa PLN beroperasi untuk kemakmuran rakyat? Mungkin kita perlu mengevaluasi peran mereka lekat-lekat.