
Keniscayaan Hidup: Bayar Pajak, Kematian, dan Dibanding-bandingkan
Dalam submisi Open Column kali ini, Rizky Surya Nugraha mendedah—sekaligus menjabarkan dengan beberapa teori—satu hal yang mungkin merupakan kenangan kolektif di kehidupan warga Indonesia: dibanding-bandingkan.
Words by Whiteboard Journal
Sejauh saya memperhatikan keadaan sekitar—baik secara personal maupun dari cerita teman-teman—rasanya sangat jarang untuk menemui mereka yang tak pernah dibanding-bandingkan sejak masa kecilnya. Apa pun itu, dari dibandingkan dengan kawan tetangga rumah, kakak, adik, sampai saudara jauh. Paling nggak, sekali seumur hidup kita pasti pernah dibandingkan dengan orang lain, baik secara sengaja ataupun tidak.
Kenyataan ini ternyata memang selalu berlanjut sampai kita dewasa. Bahkan, tak ada ruang lagi untuk kita tidak membandingkan dan dibandingkan.
Ternyata persoalan seperti ini hadir bukan tanpa alasan, dan maknanya kadang berbeda tergantung setiap orangnya. Ada yang membandingkan agar sekedar bahan evaluasi diri, tapi ada juga yang membandingkan untuk merendahkan orang lain agar dirinya terlihat lebih baik.
Tentunya contoh yang kedua tidaklah baik, sama halnya dengan konten belas kasihan kepada gelandangan pinggir jalan yang direkam dari dalam mobil, dengan tagar #bersyukur. Saya pikir, cara membandingkan seperti itu bukanlah sesuatu yang baik.
Persoalan membandingkan ini juga banyak banget diceritain dalam beberapa cerita kaya film atau anime sekalipun. Sebagai realitas keadaan sosial yang ada, si penulis ceritanya sering kali menampilkan bentuk karakter seperti ini pada tokoh-tokohnya.
Kalau masih pada ingat film Home Alone (1990), terlepas dari cerita seorang anak kecil yang lagi ngelawan perampok di rumahnya, sebenarnya tokoh Kevin ini sering juga ngebandingin dirinya sama saudara-saudaranya yang lain.
Di awal film, Kevin ngerasa kalau semua orang di keluarganya itu lebih dihargai dan lebih “berguna” dibandingkan dirinya. Dia sering banget dibandingkan dengan kakaknya, Buzz, yang lebih tua dan lebih dominan. Saat dia bilang ingin keluarganya menghilang, ini adalah salah satu tanda dia merasa kurang dihargai karena selalu dibandingkan dengan saudara-saudaranya.
Lain lagi dengan Kevin, salah satu kisah saling membandingkan yang cukup populer lainnya juga bisa kita temukan di kisah antara Sasuke dan Itachi. Bahkan untuk kasus yang ini justru lebih ekstrem—sampai bunuh-bunuhan.
Sebagai standar tontonan masa kecil kita, persoalan ini ternyata bukanlah hal yang sepele seiring kita bertambahnya dewasa. Sama halnya kaya Sasuke, dia selalu hidup dalam bayang-bayang kakaknya. Seolah di mata bapaknya, Itachi adalah yang terbaik.
Tentu hal ini adalah persoalan yang cukup dekat dengan keseharian kita, dan telah disaksikan berulang kali juga melalui tayangan film, teman, bahkan keluarga sendiri.
Jadi sebetulnya mengapa siklus saling membandingkan ini gak pernah selesai, justru semakin hari ragamnya juga akan berbeda. Apakah kita memang sama sekali tidak bisa terhindar dari hal tersebut?
Teori Perbandingan Sosial oleh Leon Festinger
Dalam kasus ini, sebenarnya persoalan saling membandingkan di lingkup sosial telah memiliki teorinya sendiri. Salah satunya barangkali Teori Perbandingan Sosial (Social Comparison Theory) yang dikemukakan oleh Leon Festinger (1954).
Ia mengungkapkan kalau manusia memang sudah secara alami akan selalu membandingkan dirinya sendiri dengan orang lain sebagai bahan untuk evaluasi. Maka tak heran kalau kita kadang secara tidak sadar sudah saling membandingkan satu sama lain.
Dalam kata lain, kita selalu berusaha membandingkan diri sendiri dengan orang lain, agar tidak lupa bersyukur dengan apa yang ada, atau bahkan meningkatkannya menjadi lebih baik.
Setidaknya jika menurut Leon Festinger, hal ini terbagi menjadi dua yaitu:
Perbandingan ke Atas (Upward Social Comparison)
Upward Social Comparison yaitu saat ketika kita sibuk untuk membandingkan diri sendiri dengan orang yang dianggap lebih baik atau sudah sukses. Tujuannya biasanya sebagai motivasi untuk kualitas hidup yang lebih baik.
Tapi kadang ini bisa juga seperti pisau yang bermata dua, bisa baik juga bisa buruk. Kalau gak disikapi dengan bijak, justru kamu malah bakal terlelap dalam kecemasan dan ketidakpuasan diri yang semakin dalam.
Lagian, nggak pegel nenggak mulu melihat ke atas? Emangnya lagi pada nyari apa sih?
Perbandingan ke Bawah (Downward Social Comparison)
Pernah dengar istilah “jangan ngeliat ke atas mulu, sekali-kali liat ke bawah biar gak tone deaf?” Downward Social Comparison membandingkan diri dengan orang yang dianggap kurang beruntung bisa membuat orang semakin paham akan kondisi yang sebenarnya.
Bukannya untuk merasa sombong dan lebih baik, tetapi hal ini penting juga untuk meningkatkan rasa percaya diri sikap bersyukur.
Efek yang Sering Gak Sadar Kita Alami
Kebanyakan dari kita pasti tidak sadar pernah merasakan perasaan seperti ini. Entah itu kita sendiri yang merasakan, atau bahkan orang terdekat kita yang justru ada pada momen kaya gini:
Frog Pond Effect
Seperti namanya, analogi ini tentang seekor katak di kolam. Kalau sebagai katak, kamu lebih suka berada di kolam kecil tapi kamu menjadi katak besar, atau kolam yang besar tapi kamu menjadi katak kecil?
Menurut Marsh, Trautwein, Ludtke, dan Koller (2008), orang-orang pada umumnya akan punya performa akademis yang lebih baik jika mereka menjadi katak besar di kolam kecil (misalnya, mahasiswa terbaik di universitas menengah), dibandingkan dengan katak kecil di kolam besar (universitas ternama).
Hal ini terjadi karena kamu membandingkan diri sendiri dengan standar yang lebih tinggi dan mungkin merasa tidak mampu mencapainya.
Dunning-Kruger Effect
Sedangkan, Dunning-Kruger Effect adalah orang dengan kemampuan yang terbatas biasanya cenderung merasa dirinya lebih tinggi dibanding kenyataannya.
Pasti beberapa dari kita pernah melihat grafik Dunning-Krugger Effect ini, sebenarnya sederhananya sih ini sama kaya ilmu padi—semakin berisi seseorang, maka ia akan semakin merunduk. Soalnya ilmunya sudah banyak, jadi berat banget pak.
Berbagai Fase Perbandingan dalam Hidup
Biar nggak kaget dan lebih terencana dalam menghadapi kenyataan soal banding-membandingkan ini, saya coba kasih 6 fase yang setidaknya bakal kamu alami seiring bertambahnya waktu.
1. Masa Kanak-Kanak (Early Childhood)
Fase ini adalah saat kamu belum juga paham dunia tapi udah dibandingkan sama orang tua dengan anak tetangga. Misalnya dalam hal perkembangan fisik, kecerdasan, dan keterampilan sosial.
Pernah diginiin nggak: “Liat deh anaknya bu Sumenep udah pinter jogging ya, padahal umurnya baru 1 tahun.”
Padahal kalo kita balikin bandingin sama orang tua tetangga, yang ada kita yang bakal diusir dari rumah. Jangan dicontoh kalau yang ini.
2. Masa Sekolah (School Age)
Kalau perbandingan yang ini biasanya mulai datang dari orang tua atau guru sendiri. Topiknya nggak jauh-jauh dari akademik, nilai, prestasi, dan kemampuan sosial.
Nggak jarang juga guru, orang tua, dan teman kita sendiri sering membandingkan siswa berdasarkan kecerdasan, bakat, atau popularitas.
Kurang lebih bunyinya begini: “Liat tuh si Ucup, ranking 1 mulu di sekolahnya.”
3. Masa Remaja (Adolescence)
Kalau udah masa remaja kaya SMP–SMA gitu paling ampuh deh kalo dibandingkan sama persoalan sosial nonakademik, bahkan popularitas.
Misalnya penampilan, status sosial, dan pencapaian akademik atau nonakademik. Di satu sisi perbandingan akademik nggak ilang, ini lagi nambah dibandingkan nonakademiknya.
4. Masa Kuliah & Awal Karier (Early Adulthood)
Saat sudah beranjak dewasa, kita juga mulai berubah lagi cara pandang dan membandingkannya. Biasanya perbandingan nggak jauh-jauh dari akademik, pekerjaan, dan gaya hidup.
Tekanan sosial mulai muncul dalam bentuk pencapaian karier, gaji, atau kehidupan pribadi, seperti kuliah di mana, kerja apa, sudah nikah apa belum, kendaraan, traveling, dll.
Biasanya sih begini: “Liat tuh si Kevin, sukses dia sekarang jadi full-time internship di startup gitu.”
5. Masa Dewasa (Mid-Life & Adulthood)
Makin berumur, hal yang dibandingkan juga makin kompleks lagi. Perbandingan biasanya sudah lebih mengarah ke pencapaian finansial, keluarga, dan stabilitas hidup.
Kita mulai membandingkan siapa aja yang rumahnya udah lebih besar, bisnis sukses, atau anak-anaknya pada udah berprestasi.
6. Masa Lansia (Old Age)
Terakhir, kalau kamu sudah sampai pada tahap ini, maka percayalah saling membandingkan sudah nggak ada artinya lagi.
Biasanya yang dipersoalkan nggak jauh-jauh dari aspek warisan, hubungan keluarga, kesehatan, dan kematian.
Kamu akan mulai membandingkan kehidupan dengan teman-teman sebayamu yang dulu, masih sehat apa sudah makin sepuh.
Obrolan nggak jauh-jauh dari kalimat ini: “Liat tuh si Budi, nggak nyangka ya dia udah… (silakan lanjutin sendiri).”
Tak Ada Salahnya Membandingkan Asal Saling Tahu Batasan
Setelah mengetahui alasan dan fase kenapa kita sering membandingkan satu sama lain, semoga tidak menjadikan kita pribadi yang semena-mena terhadap orang lain.
Kalau bisa sih, nggak usah lah ngebandingin sama siapa-siapa, soalnya orang bijak pernah bilang untuk bandingkanlah diri kita dengan yang kemarin, bukan dengan orang lain.
Siap.