Ke Mana Negara Saat Anak Muda Dibombardir Pinjol?
Dalam submisi Open Column ini, Daffa Batubara memberi perhatiannya pada bisnis pinjaman online (pinjol) yang kerap memangsa anak muda namun menunjuknya sebagai pihak yang bertanggung jawab atas karut-marut ekonomi saat inI—tanpa adanya intervensi negara sedikit pun.
Words by Whiteboard Journal
Bahasan tentang pinjaman online (pinjol) makin sering meluap ke permukaan. Ia dibahas di stasiun televisi, media cetak maupun online, beragam kelompok masyarakat, pengamat ekonomi, hingga pejabat pemerintah. Meski tak sebrutal perdebatan antar tim pemenangan calon presiden dan wakil presiden, mereka kerap bersilang pendapat.
Di awal merebaknya Pandemi Covid-19, perdebatan pinjol sering kali berkutat di seputaran legal atau tidak (ilegal). Pinjol ilegal yang dikenal bengis, menagih dengan cara semaunya, dan menetapkan bunga pinjaman setinggi langit, memang sudah pantas dibicarakan dan dianggap sebagai lintah darat digital. Namun lambat laun, setelah pinjol ilegal sedikit berhasil diatasi, perdebatan bergeser pada persoalan tunggakan pinjaman. Kini, pembahasannya lebih berfokus pada pinjol legal dan pinjaman perseorangan.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) membagi tingkatan kualitas pinjaman menjadi tiga bagian. Pertama, lancar, di mana pinjaman sudah jatuh tempo sampai dengan 30 hari. Kedua, tidak lancar, yang jatuh tempo pinjamannya sudah lewat sekitar 30-90 hari. Terakhir, macet, dalam arti lain jatuh tempo pinjamannya sudah melewati 90 hari. Sampai bulan Februari 2024, jumlah masing-masing tingkatan sebesar Rp50,09 triliun, Rp4,19 triliun, dan Rp1,35 triliun. Apabila dibandingkan dengan bulan sebelumnya (Januari 2024) hanya pinjaman tidak lancar yang mengalami penurunan. Tetapi jika dibandingkan dengan bulan Februari 2023, semua tingkatan mengalami kenaikan.
Bicara tunggakan pinjaman online, ada hal menarik yang terjadi di tahun lalu. Kala itu, seorang lulusan baru (fresh graduate) membuat cuitan yang bercerita tentang kegagalan mendapat pekerjaan karena rekam jejak pinjolnya. Pembahasan sempat ramai, sampai-sampai salah seorang pejabat OJK melontarkan pernyataan pedas. Dari laporan Kompas, pejabat tersebut menyetujui pola seleksi kerja seperti itu. Alasannya, kira-kira sebagai bahan pembelajaran agar anak muda tak main pinjam uang.
Kembali pada data OJK sepanjang Februari 2023-2024, anak muda di rentang usia 19-34 tahun memang menduduki seluruh tingkatan pengembalian pinjaman paling banyak. Di bulan Agustus 2023 saja misalnya, bulan di mana pejabat OJK tersebut berkomentar, angka pinjaman macetnya mencapai 602,69 miliar rupiah. Tapi pernyataan itu mengundang pertanyaan: apa benar anak muda main-main dengan pinjaman?
Ada baiknya kita berkaca pada keadaan perekonomian belakangan ini. Kalau kita menghitung data Badan Pusat Statistik (BPS) Agustus 2023, lebih dari setengah atau 58,21 persen pengangguran diisi oleh anak muda berusia 20-34 tahun. Soal mencari kerja, kita sudah sama-sama tahu: sulitnya seperti menasihati orang yang sedang jatuh cinta. Ancaman menganggur terus bergentayangan di kehidupan anak muda, sekali pun sudah bersekolah pada tingkat yang tinggi. Harus diketahui juga, hasil hitung-hitungan dari data BPS Agustus 2023, lulusan perguruan tinggi menyumbang 12,21 persen dari total jumlah pengangguran.
Belum juga membahas upah pekerja yang masih jauh dari kata layak, kesulitan bahkan sudah menggerayangi anak muda dan orang tuanya sejak di bangku pendidikan. Dalam sebuah artikel, OJK sendiri yang mengatakan rata-rata inflasi biaya pendidikan berkisar 10-15 persen setiap tahunnya. Hal ini bersambung dengan kejadian yang mungkin kita dengar di awal tahun 2024. Sebuah perguruan tinggi negeri di Bandung menawarkan pinjaman online kepada para mahasiswanya untuk membayar biaya kuliah. OJK sudah pasti tahu, dan saat menulis artikel sedang dalam keadaan sadar, bukan?
Pernyataan pejabat OJK itu terkesan menjadikan penolakan kepada pelamar kerja karena rekam jejak pinjaman sebagai hukuman. Alangkah eloknya OJK berhitung: sejauh mana edukasi keuangan telah dilaksanakan? Seberapa berdampak edukasi yang telah dilaksanakan terhadap pemahaman publik soal pengelolaan keuangan? Rasanya masih sangat minim. Lebih lucunya lagi, yang membuat pernyataan tersebut menduduki jabatan Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi, dan Pelindungan Konsumen.
Walau begitu, kita juga tak bisa menafikan adanya sifat konsumtif yang berada di kalangan anak muda. Tapi kata pepatah, “tidak ada asap tanpa api”. Begitu juga sifat konsumtif yang sepertinya beranjak dari pantikan. Sudah negara gagal mencerdaskan kehidupan bangsa, kita diperlihatkan “sultan-sultan” palsu yang meramaikan media sosial. Mulai dari pamer gawai, mobil mewah, isi rekening, dan masih banyak hal-hal konyol lainnya. Mirisnya, pemeran-pemeran seperti itu tidak jarang dipanggil untuk menjadi motivator. Pada beberapa kesempatan, pejabat-pejabat kita juga sengaja mengundang dan dipublikasikan.
Kompleksitas masalah pinjol dan konsumtifnya anak muda belum berhenti di kegagalan negara yang dibarengi tingkah para “sultan”. Ada persoalan etika yang menyangkut pada kegiatan pemasaran pinjol. Dua orang ahli pemasaran, Schiffman dan Wisenblit dalam bukunya yang berjudul Consumer Behavior berpendapat bahwa etika pemasaran merupakan prinsip moral sebagai landasan pemasar menjalankan tugasnya. Buku tersebut melarang pemasaran yang eksploitatif, salah satunya membuat konsumen menjadi konsumtif dan tidak bertanggung jawab. Lalu Kees Bertens, seorang filsuf sekaligus penulis buku “Etika Bisnis” menyebut keadaan masyarakat ialah satu dari empat hal yang harus dipertimbangkan untuk menilai etis atau tidaknya kegiatan pemasaran atau iklan.
Dari teori tiga ilmuwan tersebut mestinya kita sudah dapat menyimpulkan kalau pemasaran pinjol, terutama yang berseliweran di media sosial sungguh tidak beretika. YouTube rasanya menjadi wadah iklan-iklan bergerilya. Menurut We Are Social tahun 2023, Indonesia menempati peringkat empat pengguna YouTube terbanyak di dunia (139 juta orang). Baik secara langsung atau tidak, kebanyakan isi iklan pinjol mengajak masyarakat untuk hidup boros. Tandanya adalah kata-kata yang menggambarkan kemudahan meminjam uang di tengah masyarakat yang sudah terlalu berat menahan beban ekonomi. Jangan lupa, kita baru saja digempur pandemi Covid-19 yang sampai hari ini belum pulih seratus persen dan dampaknya masih terasa.
Di saat anak muda dihantui pinjol, sangat disayangkan etika pemasarannya masih luput dari pembahasan. Padahal, ini merupakan satu dari beberapa mesin korporasi mengembalikan serta mengambil untung dari modal yang telah dikeluarkan. Membicarakan bisnis memang tidak terlepas dari keuntungan. Tetapi keuntungan yang diraih dengan cara yang benar. Kadang kala, kita terbuai oleh banyaknya gimmick iklan sampai lupa bahwa etika patut ikut bersamanya. Jalan keluar dari problematika ini bukan hanya dititikberatkan kepada anak muda, tapi negara juga perlu ajari perusahaan pinjol membuat iklan yang beretika.