Jika Benar Hidup Adalah Sebuah Pengulangan, Apakah Aku Juga Harus Mengulang Setiap Kegagalan
Pada submisi open column kali ini, Iqbal Abdurachman merenungkan tentang berbagai macam kegagalan dalam hidup serta bagaimana cara menghadapinya.
Words by Whiteboard Journal
Jika benar hidup adalah sebuah pengulangan, apakah aku juga harus mengulang setiap kegagalan? Karena memang yang aku tahu, waktu berulang, malam menuju pagi, untuk menjadi malam lagi. Senin bertemu Sabtu untuk menyapa Minggu, Januari menggelinding menunggu Desember menghampiri. Sebatas pengulangan pengulangan yang aku jadikan sebuah kerutinan.
Dari kerutinan yang tak bernyawa ini, perlahan tapi pasti muncul kehampaan, mungkin beberapa orang menyebutnya kekosongan dalam hati. Maka sebagian bagi orang menyarankan untuk keluar dari zona nyaman. Tapi nyatanya, tak semua orang memiliki kesempatan, kekuatan atau keberuntungan dan malah sebaliknya, tenggelam dalam rutinitas kenyamanan.
Memaksa untuk dilalui, hari-hari pun terus bergulir. Seberat apapun aku mencoba menghentikannya, ia hanyalah sesuatu yang sedang menjalankan takdirnya, takdir untuk berjalan maju terus tanpa kompromi.
Dari setiap pemikiran manusia, juga ada yang berpendapat bahwa manusia hanya hidup dalam sehari saja. Iya, aku hanya hidup untuk sehari. Ku jalani pagi ku menuju siang, siangku menuju malam. Kemudian aku mati di malam hari untuk dihidupkan lagi di esok pagi. Karena nyatanya yang membedakan orang hidup dan mati adalah saat di mana ia terbangun dari tidurnya.
Mungkin bagi sebagian orang, ini adalah rutinitas yang sangat membosankan. Karena memang pengulangan demi pengulangan terus mereka jalankan. Pergi bekerja untuk mendapatkan uang, lalu menghabiskan uang untuk melepaskan penatnya, lalu harus segera kembali bekerja untuk mengumpulkan uang demi penat penat selanjutnya.
Bagi sebagian lainnya, hidup adalah sebuah kebesaran. Di mana mereka menerima pengulangan demi pengulangan keberuntungan. Beruntung dalam bekerja, beruntung dalam berkarya, beruntung dalam bercinta. Berusaha secukupnya, menikmati hidup seutuhnya. Pada akhirnya akan datang keberuntungan yang menuntun mereka kepada keberuntungan-keberuntungan selanjutnya.
Bagi porsi kecil lainnya, bernapas saja mungkin adalah hukuman yang telah mereka jalani untuk membayar hidupnya. Mereka hidup tak lebih untuk menerima kegagalan demi kegagalan. Satu-satunya selebrasi kemenangan mereka adalah tidak menerima berita kegagalan lainnya.
Bagi porsi yang lainnya, hidup adalah sebuah roda, yang berputar tanpa henti. Dengan posisi yang sudah dipatri di roda, maka hidup berjalan, berputar, kadang berada di atas, kadang berada di bawah. Kadang merayakan kemenangan, kadang menangisi kekalahan. Mereka bergerak hidup menelurusi lorong waktu, bertindak, meloncati makna ke makna lain dalam hidup. Terus mencari arti sejati dari kehidupan itu sendiri.
Menelusuri lorong waktu membuat diriku harus mempersiapkan diri untuk jatuh berkali-kali. Artinya akan banyak ruang untuk kegagalan, banyak ruang untuk menyesali kehilangan banyak luang untuk menangisi kepedihan.
Ada juga lubang yang harus kutambal, mengisolasi diri untuk bangkit, jatuh, tersungkur, menerima kekalahan. Percuma saja, sedangkan dewi waktu terus berjalan maju, putaran jarum jam perlahan membelenggu. Demikian pun tak apa, masih banyak hal yang harus dilakukan, juga untuk mulai menyiapkan selebrasi kemenangan.
Andai saja aku tak dipaksa hidup serupa Sisifus, maka apakah dapat menikmati hidup? Dilihat lebih mendekat, percuma saja aku menunggangi dasar palung harapan. Dihukum menjalankan pengulangan, artinya dihukum untuk menjalani kepedihan. Untuk apa lantas memaknai hidup? Kalau hanya hidup di isi dengan kegagalan-kegagalan. Dan terlebih masih banyak kegagalan yang menanti ke depan. Jika memang sudah terbiasa dengan kegagalan, lalu apalagi yang ku takutkan untuk terus bergerak ke depan? Bukankah Sisifus juga terus mendorong batunya? Apakah ia merasa hampa? Ataukah merasa bahagia? Lalu untuk apa guna pertanyaan-pertanyaan? Apakah juga pertanyaan memang memerlukan jawaban? Perlukah menjawan pertanyaan? Atau perlukah untuk mencari dan menggali makna setiap jawaban?
Untuk tetap hidup perlukah untuk mencari makna? Sebegitu takutkah manusia dengan ketidaktahuan? Lantas jika makna hidupku tak bermakna kau mau apa? Apakah tak bisa jika hidup ini tak memiliki makna saja? Kita tak perlu mencari dan mengejar makna yang tak ada henti, cukup dijalani, sampai tiba waktu mati.
Ada yang tak aku mengerti dalam hidup. Kenapa mendapatkan sesuatu sesusah makan dari dari sebongkah batu. Apakah benar kata mereka hidup itu anugerah, atau memang sebuah hukuman? Untuk apa memang menghukum? Dosa apa yang sudah tertimbun ratusan tahun? Ataukah memang benar kita reinkarnasi hidup kehidupan sebelum kita dan menjalani hidup untuk membayar dosa? Lantas ini reinkarnasi ke berapa?
Jika memang demikian, mulialah reinkarnasi yang pertama, tak perlu ada dosa yang ditanggung atau yang diderita. Kalau memang hidup adalah sebuah penderitaan, untuk apa makna hidup? Atau memang hidup itu tak bermakna? Jika kita hidup untuk senang, lantas untuk apa makna kegagalan? Bukankah hidup hanya tentang pengulangan, yang berarti mengulang kegagalan. Untuk perlu apa lantas kita memaknai hidup? Jika memang hidup melintas layaknya angin? Atau memang kehidupan itu adalah angin wabah? Sekali berhembus mendatangkan kematian, sekali berhembus mendatangkan penderitaan.
Menikmati keadaan adalah jalan untuk menempuh diri. Namun tidak begitu, semudah kesepian merenggut nyawa seorang pejuang. Segampang waktu menggerogoti hari tua seorang parjurit. Atau mungkin sesederhana ruang melayukan harapan anak pinggir kota. Kalau memang hidup itu adil, maka apa itu keadilan? Lalu apa itu sebuah penderitaan? Apa itu sebuah hukuman? Apa itu sebuah kebahagiaan?
Kalau manusia bergerak layaknya air, apakah memang semudah itukah hidup? Kita tinggal mengalir, dari tinggi ke rendah untuk segera menguap dan meninggi lagi. Atau memang manusia adalah api, yang menghangatkan sekaligus membakar semua yang ada di dekatnya. Sampai-sampai tiba ia harus membakar dirinya sendiri, lalu mati menyisakan abu yang tak berarti. Kalau memang untuk dapat bergerak manusia harus mengorbankan sesuatu, lalu untuk apa manusia bergerak? Kenapa kita tak menjadi batu yang menjadi debu pada akhir hayatnya.
Semua pertanyaan konyol ini hanya tak lebih dari bualan dan umpatan yang aku buat-buat semata. Mungkin selama ini memang aku yang kurang berjuang lebih keras untuk hasil yang lebih memuaskan, tapi di sisi lain diriku akhirnya tersadar. Tersadar dari lamunan panjang yang tak mungkin ku tahu kapan akhirnya. Sampai memang tiba waktu aku memutar playlist kesayanganku, tenggelam dalam satu-satu persatu bait-bait indah dirajut. Sesekali nada sumbang pun muncul dari mulutku yang tadinya hanya dipenuhi racauan dan umpatan.
Di masa kau terlahir, orang-orang tersediakan jalan dan jembatan, yang dibangun panjang dan kokoh, siap menghantarkan ke mana saja. Tapi ada satu jalan yang sangat diminati, berjubellah orang-orang di situ, adalah jalan pintas. Karena setapak demi setapak adalah buang waktu, bukan lagi proses, karena belokan dan tanjakan, adalah kebingungan yang memutusasakan, bukan lagi tantangan. Kau terlahir, di masa maha pendek….—Hal-hal yang Terjadi – FSTVLST
Setelah menekan tombol repeat pada lagu itu, aku tertegun dan mulai membisu memandang jauh kekosongan. Tapi bukan tatapan kosong yang tak tertuju, melainkan tatapan kosongan yang menenggelamkanku dalam ingatan dan perasaan. Ingatan tentang perjuangan-perjuangan yang sudah ku lalui, diiringi perasaan-perasaan berdebar penuh bara semangat penerimaan tantangan yang pernah ku alami.
Ternyata hidup tak perlu semiotik rumit, masih banyak pengingat, dan penenang. Nasihat memang selalu bisa didapat dari mana saja. Bahkan dari secarik lagu yang biasanya hanya dinikmati untuk membunuh waktu. Bergulir terus menerus mendorong waktu, membuatku menjadi hilang jati diri, bahwa sebenarnya aku adalah manusia, letak semua kesalahan dan muara semua kegagalan. Yang kubutuhkan memang untuk berhenti dan menyepi. Karena dalam sepi kukenali dan mulai menghargai diri sendiri lagi. Penggalan lirik berikutnya, membawaku perlahan tenggelam dalam sepi yang biasa menghantui, tetapi tidak kali ini.
….Anakku, pilihlah jalan sepimu, sepi membuatmu punya waktu dan ruang cukup bagimu ‘tuk jadi bukan sepertiku
Jika benar hidup adalah pengulangan, maka bukan lantas hidup dimulai dari kosong, dimulai dari kehampaan. Pengulangan adalah repeat, bukan reset. Mengulang berbagai kerutinan yang sama, monoton yang sama, tak lantas meruntuhkan semua yang terjadi sebelum-sebelumnya. Bekas-bekas luka akibat ku terjatuh karena terlalu kegirangan melakukan selebrasi kemenangan juga masih ada di tempat yang sama.