Jangan-Jangan, Kita Justru Memerlukan Perpecahan?
Di buku Whiteboard Journal Open Column, Irwan Ahmett mengajak kita merenungi konsep persatuan bangsa.
Words by Whiteboard Journal
Perbincangan tentang toleransi selalu membuat kita terjebak pada cita-cita semu di mana kita merasa hidup tanpa eksistensi sikap intoleransi dalam diri sendiri. Padahal, keduanya adalah kutub yang akan selalu ada. Toleransi dan intoleransi hidup bersama layaknya siang dan malam. Suka atau tidak, begitulah hukum alamnya.
Selama ini kita banyak belajar tentang persatuan, namun dalam dogma pembelajaran seperti apa? Sebab, di sisi lain terdapat lawan katanya, perpecahan. Tidak selalu tentang sikap dalam memandang ideologi, tetapi juga perbedaan pilihan politik hingga benturan sekat masyarakat terkecil yaitu keluarga dan pertemanan. Muncul dalam bentuk permusuhan hingga perceraian. Di balik kesopanan, ramah-tamah, sikap murah senyum, kita juga menyembunyikan mentalitas kemunafikan pada benak masing-masing. Ini yang seringkali tidak disadari menjadi bagian dari sisi lain karakter bangsa kita.
Tantangan sebenarnya adalah bagaimana kita bisa menemukan titik keseimbangan di antara kutub-kutub tersebut. Dengan menjaga porsinya masing-masing melalui sikap kritis terhadap keduanya. Apabila ada satu lebih dominan, maka keseimbangan terganggu. Hal ini dapat menjadi indikasi adanya kemacetan dalam kehidupan bersosial dan bernegara.
Di lingkup yang lebih besar, sebenarnya sistem negara (yang biasanya terlambat hadir) memiliki wilayah lebih strategis dalam menjaga keseimbangan tersebut, baik lewat regulasi, edukasi ataupun propaganda basi. Lantas kenapa belakangan ini isu intoleransi yang lebih sering muncul? Dalam hal ini masyarakat dan demokrasi kita sama-sama menikmati ke-chaos-an. Kita sama-sama bangsat. Jauh di lubuk hati tergelap, sebenarnya kita semua memiliki titik kekejian yang sama.
Belakangan, saya mengeksplorasi kawasan pesisir di Jakarta Utara. Di sana bisnis paling menjual yang mendapatkan banyak keuntungan adalah mengemas rasa takut. Kawasan paling mahal adalah kompleks perumahan yang dijaga oleh keamanan berlapis. Kelompok minoritas menemukan kenyamanan dalam benteng tinggi karena ada persoalan tidak selesai, terutama setelah kerusuhan ‘98. Trauma tersebut akhirnya membentuk segregasi yang melanggengkan perbedaan. Tapi, sejatinya dalam kondisi sedemikian pun, mereka masih saling terhubung. Kelompok penghuni perumahan elit tetap mempekerjakan orang kampung untuk menjaga dan membantu kegiatan sehari-hari. Walau berbeda kelas, dalam keseharian, kita masih saling membutuhkan, setidaknya untuk urusan menyambung hidup.
Di tempat lain, keluarga kelas menengah, para orang tua sibuk bekerja mengejar karir. Anaknya dididik di sekolah prestisius berbiaya mahal yang monokultural; semua siswanya berasal dari kelas ekonomi yang sama. Sementara anak-anak kelas bawah yang anggota keluarganya lebih dari jumlah ideal program KB, dididik di sekolah-sekolah agamis dengan alasan ekonomi dan merasa terancam oleh degradasi moral di era global. Generasi masa depan hanya akan bertemu dan berteman dengan golongan yang sama. Jika terus begini, kita akan semakin terpisah satu sama lain. Rasanya persatuan di Indonesia sekarang ini adalah omong kosong belaka.
Saya tidak keberatan jikalau Indonesia tak lagi bersatu. Karena tak jarang pula dalam usaha-usaha untuk mewujudkannya, kita malah menciptakan ilusi musuh bersama, mensakralkan lambang-lambang persatuan usang, melakukan klaim tak berdasar pada peristiwa sejarah, dan akhirnya meninggalkan banyak luka mendalam bagi kemanusiaan. Hal ini berkali-kali terjadi di masa lalu hingga dampaknya masih dirasakan sekarang. Bahkan diprediksi bisa kembali terjadi di masa depan. Kalau memang di tengah perjalanan kita tumbuh dan memiliki kebutuhan serta tujuan berbeda, lebih baik berpisah saja. Jangan-jangan, dengan bercerai kita justru jadi jauh lebih baik.
Selama ini kita hidup dalam persatuan dengan melanggengkan eksploitasi habis-habisan baik terhadap sumber daya teritorial maupun manusianya. Meninggalkan carut-marut pada peradaban. Ini yang sangat mengkhawatirkan. Saya percaya kedewasaan dalam bersikap dan solidaritas persatuan akan kembali muncul secara alamiah pada sebuah bangsa setelah mengalami keruntuhan hebat. Apakah mungkin kita harus gagal dulu? Sehingga bisa mencapai tingkat kedewasaan dalam bermasyarakat. Agar kita tak mudah tersinggung, saat kita berbincang kasar, tidak dimaknai sebagai intimidasi atau serangan, namun diterima sebagai ungkapan rasa sayang mendalam.
–
Ini adalah cuplikan dari salah satu isi buku Whiteboard Journal Open Column, dikurasi oleh Cholil Mahmud, Cecil Mariani dan Irwan Ahmett buku ini berisi 20 tulisan yang membahas gagasan serta pertanyaan dalam bahasan tentang kesetaraan dan keragaman. Baca tulisan selengkapnya di buku Whiteboard Journal Open Column.