Ilusikah Benar dan Salah?
Mempertanyakan tentang benar dan salah lewat lima pilar yang ada.
Words by Whiteboard Journal
Benar dan salah adalah paralaksi. Dua hal dengan hasil akhir yang berbeda bila dilihat dari sudut pandang yang berbeda. Selamanya, tidak akan pernah ada benar yang benar-benar benar. Dan tidak akan pernah ada juga salah yang benar-benar salah. Setiap manusia memiliki idealismenya masing-masing dan sehidup semati akan menganggapnya benar.
Selama ini masyarakat kita—bukan—bahkan dunia, selalu mengkotak-kotakan benar dan salah lewat lima pilar yang ada; Adat, Agama, Pendidikan, Hukum dan Kebiasaan. Padahal kelimanya adalah buatan manusia, yang dengan begitu tentu akan masih bercacat dan bercela. Misalnya;
Adat; dalam adat-adat tertentu ada ketentuan bahwa suku mereka hanya boleh menikah dengan suku yang sama. Karena lain daripada itu, orang-orangnya dianggap sebagai orang-orang yang malas. Dengan dampak yang lebih buruk lagi—yang mereka percayai—akan merusak keturunan. (Hal ini adalah hasil perbincangan masalah cinta dengan teman-teman dari suku yang sama. Begitu kepercayaan orangtua bahkan keluarga besar mereka.).
Apakah dengan membedakan ras lain, dan menggeneralisir bahwa semua ras di luar rasnya adalah hal yang benar? Apakah hal tersebut salah juga? Menurut siapa?
Agama; setiap penganut agama memiliki kepercayaan bahwa agamanya adalah baik. Agama membuat Tuhan terlihat berbeda-beda. Dan menimbulkan anggapan Tuhanmu bukan Tuhanku, begitu pula Tuhanku bukan Tuhanmu. Beberapa yang berpikiran kerdil akan bicara, “ajaranmu sesat bagiku, hey kafir! Cuma ajaranku yang baik buatmu”. Menganggap rumah lain yang tidak sewarna dengan rumahnya salah, lalu memanggilnya dengan “nama-nama”.
Sebagai seseorang yang masih kurang yakin dengan konsep agama namun beriman pada Tuhan, betulkah agama fungsinya memang mengadili kebenaran dan yang salah? Kalau begitu mengapa yang benar di agamaku belum tentu benar di agamamu dan sebaliknya?
Pendidikan; dalam 9 tahun program wajib belajar, kita diajarkan 1 + 1 selalu dan takkan pernah berubah; adalah 2. Padahal dalam kenyataannya satu tidak pernah benar-benar satu. Misalnya, ada satu buah buku warna merah, dan satu buah buku warna hitam. Bila keduanya ditambahkan tentu akan menghasilkan “dua buku” kata sekolahan. Kita berhenti mengingat di dalam satu buku selalu ada lebih dari sekedar satu halaman, atau singkatnya; satu buku tidak berisi sama dengan buku lainnya. Jadi sejujurnya, pernyataan 1+1=2 bukannya lebih tepat digambarkan dengan kata 1x+1y= belum tahu? Mengapa perhitungan dan ajaran kita harus sama dengan mereka yang tidak kita kenal rupanya? Mengapa kita harus dianggap bodoh bila tidak searah?
Hukum; mengingat masalah laki-laki yang menanam ganja di rumahnya untuk digunakan sebagai perawatan penyakit istrinya yang dikatakan langka, dan ditangkap atas nama hukum. Padahal menurut pasal 7 UU no.35/2009 ganja dilegalkan untuk penggunaan medis. Walau sayangnya dalam hal ini, yang diperkenankan hanya orang-orang dengan latar belakang medis. Laki-laki ini dijanjikan bahwa istrinya akan mendapatkan “perawatan yang layak”, namun beliau telah lebih tahu bahwa perawatan rumah sakit tidak akan mempan, dan ekstrak ganja yang dipelajarinya lewat catatan medis beberapa universitas luar negri yang bisa membantu istrinya menjadi lebih baik. Beberapa lama setelah ia ditangkap, istrinya meninggal dunia karena tetap tidak mendapat pengobatan yang cocok untuk penyakitnya yang langka. Apabila benar hukum adalah untuk memberantas yang salah, dan mengedepankan kebenaran; apakah adalah benar membiarkan seseorang terengut nyawanya atas nama hukum? Apakah benar laki-laki ini salah menanam ganja untuk menyelamatkan istrinya bila ekstrak ganja adalah satu-satunya cara, dan ia tidak dapat membawa istrinya keluar negri untuk pengobatan “legal” di sana? Ataukah memang hukum benar berkacamatakuda tidak melihat alasan di balik semua? “Ya, hukumnya memang sudah begitu.”
Kebiasaan; sebagai manusia kita memiliki lobus frontal yang berfungsi untuk menyetor informasi-informasi dan ingatan-ingatan akan orang-orang yang pernah kita temui, kita kenal, dan kita amati. Kita mengingat sifat masing-masing orang yang kita temui, dan berjaga-jaga akan segala sesuatu yang dapat dilakukannya dengan membentuk atau mempercayai stereotipe-stereotipe lingkungan. Misal suku A kasar, suku B suka party, suku C pelit, atau perempuan dengan rok mini yang dianggap kupu-kupu malam dan laki-laki dengan tato dianggap napi atau preman. Benarkah selalu demikian? Bukannya di muka bumi ini ada lebih dari 10 sampel saja? Bukannya zaman terus bergerak dan makna suatu hal juga akan berubah? Seperti misal sekitar tahun 1950an menggunakan kaos keluar rumah adalah bentuk dari pemberontakkan. Namun seiring berkembangnya zaman, apakah benar menggunakan kaos masih dianggap pemberontak? Benarkah kebiasaan yang terlihat adalah suatu bukti atau asumsi yang statis?
Akan selalu ada yang menganggap pemikiran ini salah, dan akan selalu ada juga yang menganggap pemikiran ini benar. Akan ada pula yang menganggapnya sesat, dan ada juga yang menganggapnya membukakan mata.
Namun lalu, jadi apakah dasarnya bila kelima “hakim” itu bukan penentu sebenarnya batas yang benar dan salah? Lalu apa atau siapa? Apakah hati nurani? Apakah moral? Apakah kebaikkan? Apakah Tuhan? Apakah pengalaman hidup? Apakah feeling? Apakah melihat untung-rugi? Apakah melihat dari sudut yang lain? Apakah orangtua? Apakah ibu atau ayah? Apakah pembicara seminar? Apakah internet? Apa atau siapa?
Bila memang sudah kau temukan jawabannya dan kau tetapkan, apakah hal itu bukan paralaksi? Apakah di sisi yang lain juga berfikir demikian?
Bila ya, apakah memang benar dan salah tidak akan pernah punya titik temu?