Hidup di Surabaya Berarti Berdamai dengan Keterasingan di Setiap Harinya
Dalam submisi Open Column ini, Dika Novi T ngerasani kota Surabaya, yang telah menjadi ruang hidupnya selama sepuluh tahun terakhir namun terus menerus menghimpit dan membuatnya merasa asing.
Words by Whiteboard Journal
Malam sudah jatuh di Surabaya. Tepat pukul 19.00 saya keluar dari parkiran gedung kantor berkendara menuju Basuki Rahmat ke jalan lain ke Kedungdoro. Dari lampu merah penyeberangan di “Basrah” kau bisa melihat gemerlap lampu terang berbentuk kalimat TUNJUNGAN PLAZA, juga berjejer lampu kecil nama-nama toko asing mengelilinginya. Jika belok ke kiri dan mengikuti arah jalan, maka kau akan sampai di salah satu warung soto terenak di kota ini. Namun jika kau memilih untuk berbelok ke kanan menuju viaduct terdekat (daerah Gubeng Kertajaya) maka kau akan menemui toko miras andalan arek-arek di ujung gang kecil seberangnya.
Ini bukan tentang kedua hal tadi sama sekali. Perjalanan membawaku lurus mendekat perlahan menuju pendar kilau lampu Tunjungan Plaza, layaknya anak kecil mengejar layang-layang putus bersama sepasang mata binarnya. Persis begitu bayangku ketika pertama kali datang ke kota ini 10 tahun lalu, mengejar hal besar dan menangkap yang asing di sekitarnya.
Surabaya adalah magnet metropolit bagi ribuan orang di Jawa Timur, pun juga bagi saya personal. Sebagai seseorang yang berangkat dari desa di ujung barat pesisir utara Jawa, Surabaya adalah sesuatu yang jauh. Ia bertengger megah sejajar dengan Jakarta, Semarang, dan Yogyakarta sebagai kota dengan segala fasilitas dan aksesnya terhadap kebutuhan hidup yang melimpah. Bagaimana tidak, dari 2,88 juta penduduk kota ini, 10 persennya adalah para pendatang dari kota-kota terdekat, Mereka mengadu nasibnya sembari tetap bisa pulang di akhir pekan membawa kantong-kantong gemerincing ke kampung.
Delapan tahun lalu, saya menjalani pekerjaan tetap pertama di Surabaya dengan gaji Rp2,5 juta per bulan. Di luar pajak dan kewajiban lain-lain sembari tetap melaksanakan kewajiban kuliah. Sedikit congkak dan merasa mampu hidup mandiri di umur 20 tahun, saya memutus uang saku dari orang tua. Hampir setiap hari saya menempelkan jari di mesin absensi pada waktu paling tepat, lanjut menuju kelas, dan kembali dari kampus di jam-jam larut saat orang memejamkan mata bersiap untuk hari esok. Kemudian yang terjadi selanjutnya adalah ketidakberuntungan dan kekalahan menyertai sebagai akibatnya meski hidup terasa kelewat repot.
Orhan Pamuk dalam esainya, “Kebakaran dan Reruntuhan”, mengatakan bahwa ada dua cara untuk memandang kota. Yang pertama adalah dari sudut pandang turis, orang asing yang baru tiba yang melihat bangunan, monumen, jalan, dan cakrawala dari luar. Yang kedua, sudut pandang dari dalam, kota yang kamarnya adalah tempat orang-orang tidur, koridor dan bioskop dan ruang kelas tua, kota yang terbuat dari aroma dan lampu dan warna kenangan yang paling berharga. Saya kira begitu juga kota-kota besar lain di seluruh dunia, termasuk Surabaya. Sementara bagi para perantau lama, mereka punya kemewahan melihat kota dari dua sisi bersamaan, tak tekecuali bagi saya, pendatang yang ingin menetap di kota ini.
Memlih menjadi pendatang, tentu saya mengalami culture shock yang teramat hebat di Surabaya. Kalervo Oberg, dalam “Gegar Budaya: Penyesuaian terhadap Lingkungan dan Kebiasaan baru”, mengatakan: “Culture atau kebiasaan adalah produk sejarah dan tersusun dalam rentang waktu lama terutama melalui proses-proses penting seorang individu dan berada di luar kesadarannya.” Hal-hal tersebut yang tidak saya antisipasi ketika hari-hari awal merantau di Surabaya, karena terbutakan oleh gemerlap kota besar berjuluk Metropolitan. Dimulai dari satu hal paling dasar: makanan. Segala masakan di sini terasa seperti ditaburi air laut, asin belaka. Bagi saya yang terbiasa dengan masakan yang cenderung manis di kampung halaman, tentu menjadi keterasingan (sekaligus keterasinan) yang kelewat aneh. Kemudian nasi goreng di sini berwarna merah. Saya tahu bahwa kota ini dikenal dengan semangat “wani” (berani). Dan jika merah berkonotasi wani maka semangat keberanian warga Surabaya memang sudah mendarah daging hingga ke warna nasi goreng.
Kota besar begitu mengagetkan dengan segala kecepatannya. Semua orang di sini seolah terburu-buru dikejar waktu. Apa pun mesti diterobos demi urusan masing-masing. Kabar baiknya, Surabaya memasuki jam-jam ganasnya hanya ketika waktu menunjukan berangkat dan pulang kerja. Bersamaan dengan kata jancuk yang beradu nyaring dengan suara mesin pelindas jalanan. Kemacetan memang hanya terjadi di waktu tertentu, tapi kau tak mungkin betah berlama-lama berdampingan dengan besi-besi beroda ganas di Ahmad Yani, Embong Malang, Tunjungan, Mayjend Sungkono, Margomulyo, dan jalan-jalan lain. Kabar buruknya pemerintah tak terlihat menampakkan keseriusannya mengurai dan memecahkan masalah ini alih-alih menyediakan jalur khusus untuk kendaraan umum malah ia juga ikut terjebak kemacetan di jalan raya bersama halte-halte terbuka tanpa atap pelindung. Jika kau tak punya kendaraan pribadi, maka setiap hari adalah neraka bagimu di Surabaya.
Pada waktu-waktu tertentu—biasanya malam hari, karena matahari Surabaya tak masuk di akal terangnya—saya kerap menyempatkan diri berkendara keliling Surabaya. Rasanya bagaikan lenyap ditelan kilau lampu dan gedung-gedung seribu tangga yang mengapit saya dengan dinding-dinging keterasingan. Setelah sepuluh tahun, banyak bangunan besar baru berdiri atau menggendutkan diri di kota ini. Tunjungan Plaza kini ada enam, gedung-gedung di Surabaya Barat terlihat lebih mentereng daripada pusat kota.
Mall-mall besar di Indonesia dibangun mengabaikan ruang-ruang hidup masyarakat di sekitarnya, membentuk lanskap kota yang tak tentu arahnya. Kampung-kampung di pinggir gedung mewah terihat mengenaskan, mereka seakan tercerabut dari identitasnya sebagai bagian dari kota, diasingkan dan terabaikan.
Jalan Tunjungan yang kini dibangun sebagai area wisata menutupi kegetiran di baliknya. Kampung-kampung yang berada di sisi dalam Jalan Tunjungan seperti tak mendapat hajat nikmat dari kehadiran komoditas modern yang berjejer rapi itu. Jika keluar dari Kampung Genteng menuju jalan Tunjungan, keduanya tampak seperti sebuah negara yang berbeda, satu alam semesta yang terpisah. Kemewahan tak menjalar di dalam kampung, pengabaian telah memastikan rumah-rumah tak pernah dicat kembali. Gabungan antara usia tua serta kelembapan dindingnya menjadi gelap dengan warna yang sangat khas. Rasa muram, kemalangan, dan nestapa nampak di sana. Sementara, kau bisa berjalan sebentar ke arah utara dan menemukan sisa-sisa bangunan Belanda bersama reruntuhan kejayaan lama kota sebagai pusat perdagangan yang kini terasa sangat melankolis. Menurutku, di sanalah seharusnya kemuraman, kemurungan, kekecewaan karena dijajah, tampak pada suramnya bangunan bukan malah sebaliknya. Itu pula yang dirasakan warga Tambak Bayan yang bertahan dari gempuran konflik, warga utara yang kerap kali dihantui banjir Rob, Waduk Sepat di barat yang dirampas, kampung Dupak Magersari dan Donorejo Wetan yang berjuang dari masalah banjir dan legalitas tanah sehingga harus menerima hukuman diabaikan negara. Siapapun yang berkewajiban memperbaikinya, maka ia harus memperbaikinya segera.
Perkembangan kota mengasingkan warga, lenyap terbenam amuk ekspansi developer bangunan baru. Jika gedung-gedung mulai menjalar liar menjangkiti kota maka bolehlah para yang terasing hidup sekenanya, tumbuh liar, dan memungut segala yang tercecer di sekitarnya. Maha benar seru Silampukau dalam “Balada harian”, bahwa “Kota tumbuh kian asing kian tak peduli”. Kota ini, seperti jiwaku, dengan cepat menjadi tempat kosong–sangat kosong.
Sayangnya Surabaya tak seperti Jakarta yang menawarkan cita-cita besar di dalamnya. Kau bisa bertemu siapa saja dan berkesempatan memandang karier apapun di sana. Tapi di sini, segalanya serba nanggung. Pusat-pusat perkantoran ada di Ibukota, industri mulai melirik kota satelit untuk mendirikan pabrik-pabrik baru, bergelut di bidang kreatif akan menjadi sangat struggle mengingat harus bersaing dengan orang-orang dari kota lain yang memiliki support system lebih mumpuni. Mungkin itu sebabnya kini begitu menjamur bar-bar baru di Surabaya sebagai pelepas lelah para pencari nafkahnya, sejenak mangkir dari mimpi besar. Ia menyelipkan diri di tengah pesatnya kemunculan coffee shop berkonsep proyek mangkrak.
Saya kerap dinasihati dan ditawari berpindah menuju Jakarta untuk segala kesempatan hidup yang lebih mentereng. Memupuk impian di kota yang iklimnya terlampau kering ini seperti sedang bertahan di pinggir jurang. Sebagian diri saya bilang itu hal masuk di akal dan harus segera diwujudkan. Nyatanya, saya tetap ngeyel memilih berdiam di kota ini sepuluh tahun lamanya.
Kenaifan impian pernah membawaku ke sudut kota paling mencekam. Di balik tumpukan gedung-gedung mewah di area barat saya terlempar, menyusut di gang kecil yang hanya bisa dilewati satu badan di sudut Lakarsantri. Resign dari pekerjaan dan berbekal menjadi freelancer proyek sepi peminat menarik diriku ke jurang tersebut. Saya terpaksa tidur di kamar murahan, tiga bulan ngekost di tempat dengan harga Rp200 ribu per bulan. Dinding kamar dari kayu dan triplek ringkih, lantai tanah ditutupi terpal plastik seadanya, lemari kayu reyot, tanpa kasur, sehari-hari makan di warteg enam ribu rupiah.
Sudah jelas bahwa Jakarta adalah jawaban mimpi yang lebih besar. Manusia-manusia yang bertahan di Surabaya sudah terlatih sengsara, menjelma menjadi kebiasaan yang berulang dan terbiasa tersisih. Saya sudah menyiapkan diri untuk kegagalan-kegagalan lain, seperti seharusnya warga Surabaya menghadapi kesehariannya.
Lima tahun lalu, saya tak sanggup membayangkan masa depan yang aman di Surabaya. Dan kalau saya saja, yang tumbuh besar dalam keluarga kelas menengah, dan punya pekerjaan dengan gaji di atas upah minimum merasa terancam, bagaimana dengan kalangan rakyat miskin kota?
Joseph Conrad, Vladimir Nabokov, hingga V. S. Naipaul adalah penulis-penulis dunia yang dikenal berhasil beradaptasi di banyak kota, bermigrasi antar bahasa, budaya, negara, bahkan benua. Imajinasi mereka mendapat asupan dari tiap migrasinya. Tetapi, imajinasiku menuntutku untuk tetap tinggal di kota yang sama, di jalan yang sama, di bangunan yang sama, menatap pemandangan yang sama.
Kini, setelah sepuluh tahun, saya tak perlu membayangkan apa-apa lagi di Surabaya. Keterasingan kota mengelilingi saya dan penghuninya. Gedung-gedung baru menggeser kampung-kampung dan memaksanya berjalan menuju modernitas semu, sementara manusia yang bermukim terjebak kenangan kota masa lalu. Jika dulu kami bisa bertahan dan bangkit dari musibah bom kota sebagai sebuah kolektif keberanian, maka kali ini kami bertahan sekali lagi, setiap hari, mencoba merajut apa yang bisa dirajut. Sama seperti saya sudah mulai terbiasa dengan budaya cangkruk berjam-jam di warung kopi di Surabaya, ngerasani kota. Dengan begitu, hidup terasa cukup. Dan satu-satunya yang tidak saya miliki cuma harapan.
Surabaya memang tidak dibangun di atas reruntuhan dan kehancuran seperti Istanbul di mata Pamuk, namun setiap orang yang bertahan di Surabaya adalah mereka yang membangun harapannya kembali di atas reruntuhan harapan-harapan sebelumnya, menyusunnya lagi meskipun sudah tahu di kemudian hari akan hancur lagi.