Hidup Adalah Tujuan Itu Sendiri: Belajar dari Attack On Titan
Pada submisi column hari ini, Mochammad Naufal Rizki mendalami makna tentang kehidupan dari dialog yang ditemukan di Attack On Titan. Apakah hidup itu hanya untuk berkembang biak? Atau apakah hidup adalah tujuan itu sendiri?
Words by Whiteboard Journal
(Tulisan ini mengandung spoiler)
Tiba-tiba saya sudah terdampar pada ingatan tentang kunjungan ke sebuah desa di Gunung Gede saat membaca chapter 137 dari seri manga Shingeki No Kyojin, atau Attack on Titan. Saya baru saja selesai membaca saat sadar bahwa chapter itu memberikan pengalaman yang buat saya amat mendalam—jika bukan filosofis—tetapi juga sederhana. Dialog-dialognya secara ajaib membawa saya pada lompatan-lompatan ingatan yang berceceran, tetapi mengejutkannya semua itu saling bertaut. Ingatan-ingatan itu utamanya berputar di sekitar pertanyaan klise yang sering dilontarkan mahasiswa baru filsafat: apa makna kehidupan? Tapi, sungguh memang pertanyaan itulah yang muncul ketika dan selepas membaca chapter tersebut.
Di panel bagian awal, saya disuguhkan cerita tentang asal-usul kehidupan yang dituturkan oleh Zeke Yeager kepada Armin saat pertemuan keduanya di dunia Path. Awalnya, saya tidak begitu menaruh banyak perhatian dalam dialog-dialog ini. Tetapi, kemudian saya segera menyadari bahwa ternyata melalui cerita Zeke, Hajime Isayama, sang mangaka, rupanya menuliskan asal-usul kehidupan di dunia Shingeki No Kyojin dengan sudut pandang yang evolusionistik, terutama mungkin neo-darwinis. Saya berpikir demikian sebab di panel-panel berikutnya Zeke berkata bahwa alasan kita—makhluk hidup—bertahan dan terus hidup hanyalah satu: dorongan untuk berkembang biak.
Ucapan Zeke yang seperti itu sangat lumrah diterima oleh banyak orang saat ini, bahkan boleh dibilang bahwa memang pandangan Zeke adalah pandangan dominan di kalangan saintis sekali pun. Saya tiba-tiba teringat dengan seorang saintis dan penulis yang mempopulerkan pandangan ini: Richard Dawkins. Bukunya yang berjudul The Selfish Genes bisa kita anggap sebagai epitom yang berhasil memasyhurkan pandangan ini. Richard Dawkins pernah dengan gamblang menjelaskan: “manusia adalah mesin yang dibangun oleh DNA dengan tujuan untuk terus memperbanyak salinan DNA yang sama. Ini adalah persis tujuan hidup kita. Kita adalah mesin untuk memperkembangbiakkan DNA. Ini adalah satu-satunya alasan hidup setiap makhluk.” Persis seperti apa yang dikatakan Zeke kepada Armin.
Saya tidak sepakat. Rupanya ketidaksepakatan saya segera diamini oleh Armin dalam chapter tersebut. Ia menolak pandangan Zeke. Menurut Armin, ia mungkin punya tujuan lain untuk hidup. Armin mengingat suatu sore ketika ia bersama dua sahabatnya, Eren dan Mikasa, berlari-lari di sebuah bukit dengan pohon yang daunnya berjatuhan ditiup angin; Armin mengingat pengalamannya membaca buku di kala hujan; Armin mengingat suasana ketika ia berkeliling mencari jajanan di pasar. Armin lantas bertanya: bagaimana jika tujuannya hidup adalah untuk melakukan itu semua? Untuk berlarian, membaca buku dan pergi ke pasar? Saya berhenti beberapa saat selepas membaca dialog itu. Saya merasa familiar dengan kalimat-kalimat Armin.
Tiba-tiba ingatan saya melompat lagi pada sebuah cerita dari seorang antropolog dan pemikir David Graeber. Suatu hari, ketika ia tengah bersantai bersama seorang kawannya di sebuah padang rumput dekat tepi danau, ia melihat seekor cacing yang bergelantungan di tangkai rerumputan. Cacing itu menghabiskan tenaganya untuk bergerak kesana-kemari, berputar-putar bahkan melompat tanpa alasan yang jelas. Graeber berpikir bahwa hewan itu menghabiskan energinya untuk melakukan sesuatu yang tidak jelas manfaatnya: mungkin hewan itu sedang bermain-main? Kawannya mengomentari: “Semua hewan memang senang bermain-main.” Graeber berpikir bahwa mungkin ucapan kawannya benar, hewan bisa bermain dan bersenang-senang. Tetapi, ketika kita mendengar itu, kita pasti segera menganggap ucapan itu hanyalah lelucon belaka. Atau, kalau pun kita menanggapinya sedikit lebih serius, kita akan melihat itu sebagai pernyataan yang konyol, eksentrik dan tanpa dasar.
Lumrahnya, manusia modern cenderung berpikiran bahwa makhluk hidup hanya akan menggunakan energinya untuk mendapatkan sesuatu yang menguntungkan bagi kepentingan bertahan hidup: untuk mendapatkan mangsa, untuk mendapatkan pasangan atau untuk mendapatkan teritori. Setelah perkembangan ilmu genetika, alasan lain ditambahkan: kita hidup untuk memperbanyak dan membiakkan materi genetik dalam diri kita. Ini yang diyakini Zeke, juga Dawkins. Dalam pandangan modern ini, hidup dilihat sebagai “alat” untuk mencapai tujuan tersebut.
Dalam ceritanya, Graeber justru membuka kemungkinan lain: bagaimana kalau hidup sebenarnya bukanlah “alat” untuk mencapai tujuan tertentu, melainkan hidup adalah tujuan itu sendiri? Untuk hidup berarti untuk melakukan apa saja tanpa mesti harus selalu mencari alasan rasional atas tindakan kita. Seperti halnya bagi Armin, untuk hidup berarti untuk berlari-lari di atas bukit, membaca buku saat hujan dan jalan-jalan di pasar.
Secara saintifik anggapan demikian tentu akan mendapatkan tempat di rak sampah. Nalar wajar saat ini memang mengatakan bahwa segala tindakan makhluk hidup, dalam hal ini hewan, selalu mengarah kepada usaha untuk bertahan dan berkembang biak. Misalnya, segala tindakan hewan, betapa pun anehnya tindakan itu, harus dilihat sebagai usaha untuk mencapai tujuan tadi. Kita dituntut untuk selalu mencari, mengetahui dan memiliki alasan rasional di balik tindakan tersebut.
Tetapi, dalam ceritanya itu, Graeber mencoba mengajak kita kembali melacak asal-usul pemahaman yang demikian. Menurut Graeber, ini bisa kita lacak pada awal perkembangan awal teori evolusi. Ketika Darwin menulis The Origins of Species, sesungguhnya ia banyak dipengaruhi oleh pola pikir ekonomi yang saat itu berkembang di Barat. Pola pikir itu pada dasarnya menyatakan bahwa setiap individu selalu berpatokan pada prinsip maximizing profits dalam setiap tindakannya. Darwin bahkan meminjam istilah “survival of the fittest” yang ditulis oleh Herbert Spencer ketika membicarakan ekonomi kapitalisme laissez-faire. Spencer sendiri menciptakan istilah itu setelah membaca Darwin, dan ia menganggap penjelasan yang ditulis Darwin amat sesuai dengan teori-teori ekonominya. Kehidupan dilihat sebagai arena brutal yang setiap individunya mesti saling berkompetisi untuk memenuhi ‘tujuannya’ bertahan dan berbiak.
Gagasan tandingan datang dari seorang naturalis—yang juga merupakan seorang mantan pangeran di Rusia bernama—Peter Kropotkin. Dalam bukunya yang berjudul Mutual Aid Kropotkin menolak gagasan bahwa setiap makhluk hidup mesti berkompetisi dan melakukan maximizing profits untuk sukses bertahan hidup. Ia menemukan fakta bahwa banyak spesies yang lebih sukses bertahan hidup dengan mengandalkan kooperasi di atas kompetisi. Kropotkin juga menolak pemahaman bahwa setiap hewan selalu bertindak ‘rasional’, yaitu makhluk yang hanya akan menggunakan energinya untuk mencapai ‘tujuan’ hidup tadi. Hewan tidak selalu bertindak ‘rasional’, mereka juga terlibat dalam segala aktivitas yang oleh Kropotkin sebut sebagai “the joy of life”, seperti pada manuver-manuver yang dilakukan oleh sekelompok burung, atau permainan gulat yang dilakukan oleh para tupai.
Inilah yang dimaksud Armin. Ia menolak pandangan Zeke yang mengatakan bahwa hidup adalah “alat” untuk mencapai tujuan tertentu: berkembang biak. Alih-alih begitu, Armin—sepakat dengan kemungkinan yang diandaikan Graeber dan Kropotkin—meyakini bahwa hidup adalah tujuan itu sendiri.
Dari lompatan ingatan yang satu menuju lainnya, saya tiba-tiba sampai di ingatan beberapa minggu sebelumnya saat saya pergi berkunjung ke sebuah desa di kaki Gunung Gede. Siang itu, saya melihat ramai pria dan anak-anak sedang membuat banyak kincir angin (kolecer dalam Bahasa Sunda). Beberapa telah selesai mengerjakannya dan tampak puas merayakan dengan kretek yang mereka hisap.
Saya tidak berkunjung di akhir pekan, dan itu siang hari, saya pikir mereka pasti melakukan ini untuk manfaat atau keuntungan tertentu, sebab mereka harus mengorbankan waktu di jam kerja mereka di kebun untuk membuat kincir angin tersebut. Nantinya saya sadar bahwa mereka tidak sedang mengorbankan apa-apa.
Saya sadar bahwa saya telah menjadi Zeke—menjadi apa yang dipertanyakan oleh Graeber, Kropotkin dan Armin. Saya telah mencoba mencari penjelasan rasional untuk apa yang dikerjakan oleh para pria di desa itu. Yang waktu itu saya tidak pahami adalah para pria itu tidak mengerjakan proyek kincir angin mereka untuk keuntungan tertentu, mereka hanya sedang hidup, dan bersenang-senang akan itu.
Dari ingatan itu, saya melompat lagi menuju kenangan masa kecil saya. Saat masih di Sekolah Dasar, saya tinggal bersama kakek yang merupakan seorang petani dan penganyam bilik bambu. Saya tiba-tiba teringat bahwa kakek saya dulu sering bolos ke sawah atau ke kebun hanya untuk merancang layang-layang raksasa dari kertas wajit. Dengan amat bergairah, Ia menghabiskan waktu seharian untuk menciptakan mahakaryanya itu. Saya tidak pernah menyadari bahwa apa yang dilakukan kakek adalah bentuk lain dari pemaknaan kehidupan yang tidak selalu bergantung kepada tujuan-tujuan rasional tertentu. Ia hidup dan bersenang-senang.
Zeke mungkin akan mencari-cari alasan: kenapa kakek dan para pria itu menghabiskan energinya untuk membuat layang-layang serta kincir angin? Motif maximizing seperti apa yang mereka miliki? Apa pentingnya membuat layang-layang dan kincir untuk survival? Pertanyaan itu juga mungkin muncul saat ia melihat beruang grizzly menari-nari di sungai atau saat gajah yang bermain air. Masalahnya adalah seperti yang Armin sadari, hidup tidak selalu berputar pada tujuan-tujuan seperti itu. Kita begitu terbiasa untuk mencari segala penjelasan rasional untuk tindakan dalam hidup; dan kita amat menyesal jika tindakan yang sudah kita lakukan tidak didasarkan pada kalkulasi untung-rugi yang rasional.
Saat Armin bercerita tentang lomba larinya sore itu, mentari segera akan terbenam. Ia, Eren dan Mikasa berlari menuju sebuah pohon di atas bukit. Angin berhembus sangat hangat hari itu, dan daun beterbangan ke segala arah. Entah mengapa, Armin berpikir mungkin alasan dirinya terlahir adalah agar mereka bertiga bisa berlarian di bukit itu. Ia lantas menyimpulkan: berlarian di bukit, membaca buku, dan jalan-jalan di pasar—seperti juga membuat layang-layang dan kincir angin—mungkin tidak memiliki signifikansi apa pun untuk ‘tujuan’ hidup: bertahan dan berkembang biak. Tapi, baginya momen-momen itu punya makna berharga: bagaimana jika momen-momen tersebut adalah tujuan hidup itu sendiri? Mendengar itu, Zeke lantas teringat dengan permainan lempar tangkap yang biasa ia lakukan dengan mentor dan sahabatnya Tom Ksaver di masa kecilnya: “just throwing, catching, and thowing again. “ Itu adalah kegiatan sepele, tapi Zeke segera sadar bahwa kegiatan itu sungguh bermakna baginya. Kegiatan itu tak berarti apa pun bagi ‘tujuan’ hidup, tapi Zeke ingin selalu mengulangnya; terus bermain, lempar, tangkap, lempar, tangkap dan seterusnya.
Di situlah kemudian Zeke tiba-tiba melihat bayangan bola kasti yang sering ia mainkan bersama Tom saat kecil. Di situ pula ia sadar bahwa hidup bisa bermakna lain. Fakta ilmiah memang menunjukkan bahwa peran makhluk hidup adalah untuk memenuhi tujuan tertentu: melanggengkan materi genetik dalam dirinya. Tetapi, bukan berarti kita bisa mereduksi setiap tindakan dalam kehidupan semata-mata hanya untuk mencapai tujuan tersebut. Bagaimana jika kehidupan mengizinkan kita untuk bersenang-senang? Bagaimana jika kehidupan mempersilakan kita untuk membuat makna atas hidup? Bagaimana jika kehidupan tidak menuntut kita untuk selalu melakukan perhitungan rasional untuk keberlangsungan hidup itu sendiri?
Dari chapter 137 dan ingatan-ingatan yang menyertainya, saya sebetulnya belajar bahwa pemaknaan hidup tidak selalu berputar pada tujuan-tujuan saklek tertentu. Hidup itu sendiri adalah tujuan. Berlarian di atas bukit, membuat kincir angin, merancang layang-layang, bermain lempar tangkap dan bersenang-senang menikmati momen hidup adalah tujuan. Seperti yang dipertanyakan David Graeber dalam tulisan ceritanya: What’s the point if we can’t have fun?