Gotong Royong Merawat Empati di Masa Pandemi
Pada submisi column kali ini, Dwi Setyowati menulis tentang bagaimana gotong royong menjadi harapan di tengah carut marut penanganan pandemi sekaligus modal yang baik bagi kita dalam bernegara untuk mengahadapi dunia pasca pandemi.
Words by Whiteboard Journal
Gotong royong merupakan jargon paling penting dalam sendi kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat di Indonesia namun juga menjadi jargon yang paling sering disalahartikan dan disalahgunakan. Sebagai sebuah jargon, konsep, doktrin dan nilai, kajian kegotongroyongan telah diangkat oleh banyak peneliti ilmu sosial dan ilmu politik. Namun sebagian besar cenderung menolak memberikan definisi baku dan lebih fokus pada upaya mengkritisi praktiknya dalam perspektif kritis. Dalam tulisan ini saya mengurai secara singkat pemaknaan gotong royong dari riset yang telah ada lalu memaparkan relevansinya dalam konteks pandemi.
Pandemi COVID-19 yang telah berlangsung sejak awal tahun 2020 hingga kini membawa sekurangnya dua keresahan yang menurut saya paling krusial di Indonesia: pertama, melemahnya kondisi ekonomi sebagian besar masyarakat Indonesia khususnya kelas menengah dan bawah akibat pembatasan aktivitas dan pemutusan hubungan kerja. Kedua, maraknya berita bohong atau hoaks yang menciptakan efek domino pengabaian protokol kesehatan dan berujung pada kematian. Pada tiap keresahan dan kerentanan ini kita akan melihat bagaimana gotong royong menjadi spirit, semangat dan ruh yang menggerakkan empati dan aksi masyarakat Indonesia melalui gerakan warga membantu warga dalam beragam bentuk.
Dalam konteks pandemi saat ini, wacana vaksin gotong royong yang menuai kontroversi dapat menjadi contoh bagaimana jargon ini digunakan dengan makna frasa yang mengalami peyorasi. Vaksin yang seharusnya berbasis kemanusiaan, ketika diserahkan ke pihak ketiga dan berbayar menjadi berpotensi memunculkan praktik mafia dan korupsi. Semangat gotong royong juga menjadi kambing hitam dalam berbagai praktik “korupsi berjamaah” di berbagai sektor pemerintahan dan masyarakat. Banyak pelaku korupsi berani dan tidak merasa bersalah karena praktik suap dan sebagainya dilakukan secara “gotong royong”.
Sebagaimana relasi dan interaksi sosial masyarakat bersifat dinamis, demikian pula pemaknaan dan penerapan konsep gotong royong. Konsep inti Pancasila tersebut harus menghadapi gempuran kekacauan sosial dan individualisme yang dipromosikan oleh ideologi liberal. Sebagai konsep yang diterima sebagai kearifan lokal dan tradisi yang diwariskan antar generasi, gotong royong bertransformasi mengikuti perubahan zaman, globalisasi, konflik sosial dan politik. Prinsip dasar gotong royong tidak berubah yaitu menggerakkan solidaritas sosial dan menciptakan kohesi sosial dalam kehidupan bangsa Indonesia dan oleh karenanya gotong royong akan terus relevan untuk diterapkan.
Bukan sekadar jargon, gotong royong adalah modal sosial yang bila dikembangkan dengan baik dapat membangun kompetensi sumber daya manusia (SDM) yang lebih baik, mengubah struktur masyarakat ke arah yang lebih egaliter dan tidak polaristik, menciptakan manajemen sosial yang lebih sehat dan kepemimpinan sosial dan politik yang memprioritaskan kemajuan bersama baik di tingkat komunitas lokal maupun nasional.
Pada awalnya, tradisi gotong royong merupakan diskursus politik yang mendasari relasi negara dan rakyat di pedesaan dan tercermin dalam tiga hal: watak atau sifat dasar pemerintahan, hubungan antara pemerintah dengan masyarakat pedesaan dan legitimasi permintaan dan pemenuhan kebutuhan oleh negara. Namun dalam beberapa dekade terakhir gotong royong menjadi doktrin yang selalu digaungkan pemimpin politik dan perencana pembangunan ketika membicarakan kepentingan nasional. Menurut Prof. Koentjaraningrat, secara tradisi ada dua praktik gotong royong yang dikenal masyarakat Indonesia yaitu gotong royong tolong menolong (aktivitas pertanian, rumah tangga, pesta dan perayaan, bencana dan kematian) dan gotong royong kerja bakti (untuk kepentingan umum baik atas inisiatif warga atau dipaksakan).
Dalam praktik yang paling sederhana, gotong royong antar warga dilakukan untuk memperkuat perekonomian dan ketahanan sosial. Dalam proses pembangunan, gotong royong bukan saja menjadi wacana yang terus digaungkan tetapi juga melalui proses institusionalisasi dalam program pembangunan. Gotong royong menjadi alat rekayasa sosial dan strategi linguistik yang digunakan elit untuk menciptakan kontrol atas masyarakat. Namun seiring waktu, masyarakat pun semakin kritis dalam menyikapi makna dan praktik gotong royong serta memahami potensi penyalahgunaan jargon ini oleh pejabat-pejabat korup. Dalam konteks pandemi COVID-19, gotong royong mengejawantah dalam beragam gerakan swadaya warga bantu warga dan bertransformasi dalam beragam bentuk altruisme yang didasari rasa empati dan solidaritas sosial.
Gotong Royong Berempati di Masa Sulit Ekonomi
Kesehatan, keselamatan dan kesejahteraan warga adalah tanggung jawab negara. Namun dalam konteks pandemi COVID-19 yang melanda dunia dan nusantara, pemerintah pusat dan daerah di Indonesia cenderung kewalahan dalam mitigasi wabah. Indonesia bahkan diperkirakan menjadi negara terakhir di dunia yang akan keluar dari kubangan pandemi mengingat sebaran kasus yang menjangkau seluruh provinsi dan strategi pengendalian pandemi yang belum agresif dan ideal. Kasus terus bertambah, vaksinasi belum merata, angka kematian terus meningkat. Setelah melanda perkotaan dan meninggalkan jejak kematiaan massal, tsunami COVID-19 kini bahkan masuk ke desa-desa di Pulau Jawa dengan angka kematian melonjak sepuluh kali lipat selama bulan Juli 2021.
Dampak pandemi pada warga bukan hanya ancaman kesehatan dan keselamatan dari virus mematikan namun juga ancaman kerentanan secara ekonomi. Selama masa pandemi, pemerintah menerapkan pembatasan aktivitas masyarakat melalui kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) pada tahun 2020 dan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) yang terus diperpanjang dan dimodifikasi sepanjang tahun berjalan 2021.
Pembatasan ini berdampak besar pada keberlangsungan hidup dan kesejahteraan masyarakat: para karyawan terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) karena pabrik atau kantor ditutup atau karena yang bersangkutan harus menjalani isolasi mandiri (isoman) yang berkepanjangan. Pandemi juga menghantam para pebisnis dan pekerja di industri restoran, perhotelan, pariwisata, UMKM, seni, hiburan dan penerbangan.
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), sebanyak 29,12 juta penduduk usia kerja menjadi pengangguran pada tahun 2020. Jumlah pengangguran ini naik 14,28%. Solusi yang dihadirkan pemerintah melalui kementerian sosial adalah pembagian dana bantuan sosial yang terdiri dari Bantuan Pangan Nontunai (BPNT), Program Keluarga Harapan (PKH) dan Bantuan Sosial Tunai (BST). Namun persyaratan, pendataan dan manajemen distribusi menjadikan bentuk-bentuk bantuan ini tidak menjangkau seluruh lapisan masyarakat yang terkena dampak PSBB dan PPKM. Lalu bagaimana nasib keluarga yang kehilangan pencari nafkah atau terdesak membutuhkan dana untuk membeli susu anak atau untuk biaya pengobatan orang tua? Bagaimana dengan orang-orang yang kehilangan sumber pendapatan dan harus menjalani isoman namun tidak mampu menebus obat-obatan atau tidak ada uang untuk biaya pemakaman kerabat? Bagaimana dengan mereka yang tabungannya sudah habis bahkan untuk membayar uang kontrakan rumah yang sudah jatuh tempo?
Inisiatif warga membantu warga yang terdampak pandemi (baik secara kesehatan maupun secara ekonomi atau keduanya) didorong oleh rasa empati, solidaritas dan semangat kolektif sebetulnya telah muncul sejak awal masa pandemi. Di tingkat paling kecil, rukun tetangga dan rukun warga, beberapa keluarga secara sukarela mengorganisasi bantuan makanan atau bahan makanan yang dikirim ke rumah penyintas atau dijejer rapi di pagar rumah dan bebas diambil oleh siapa saja yang membutuhkan. Komunitas-komunitas nirlaba, restoran dan kampus berlomba mengumpulkan donasi, mengorganisasi dapur umum, menyediakan bantuan pangan dan obat-obatan bagi pasien COVID-19 yang menjalani isoman.
Inisiatif lain yang tak kalah penting adalah kolaborasi lintas komunitas berbasis online dalam membuat database wargabantuwarga.com untuk memberikan bantuan informasi akses fasilitas dan alat kesehatan di tiap provinsi, penyediaan hotline untuk informasi layanan kesehatan serta program bantuan sembako isoman di mana warga bisa berdonasi atau mengajukan bantuan.
Kolaborasi yang melibatkan kitabisa.com, Indo Relawan, LaporCovid19, KawalCOVID19, Pandemic Talks, Forum Indonesia Muda, Forum Zakat, Badan Amil Zakat Nasional, Kata.id, Pemimpin.id, Filantropi Indonesia, Human Initiative Volunteer Energy, Narasi, Qiscus Humanitarian Forum Indonesia, Urundayacovid.com dan Serikat Buruh Migran Indonesia tersebut menunjukkan pada kita dua hal penting: pertama, bahwa akses informasi yang cepat dan tepat, dapat menjawab kebutuhan warga khususnya di tengah situasi emosional (panic buying masker, oksigen dan alat kesehatan lainnya, maraknya pandemic denial atau penolakan kenyataan hadirnya virus corona hingga berita bohong yang menyesatkan dan membingungkan warga). Kedua, wargabantuwarga.com yang digerakkan oleh berbagai elemen masyarakat dan pemerintah menunjukkan bahwa solidaritas, alih-alih fragmentasi, dengan tujuan pelayanan pada masyarakat secara luas dapat dibangun dengan cepat tanpa melihat perbedaan.
Gotong royong warga, solidaritas terhadap penyintas dan yang terkena dampak, tidak terhenti di bantuan makanan atau portal informasi: warga menggalang Gerakan Solidaritas Sejuta Tes Antigen dan Peminjaman Tabung Oksigen Gratis dan sekelompok anak muda membangun platform Bagi Rata untuk membantu para pekerja yang terkena dampak ekonomi. Di tengah krisis finansial yang menyulitkan warga untuk melakukan tes usap karena tidak ada biaya dan di tengah krisis kelangkaan tabung oksigen dan alat kesehatan lainnya, gerakan solidaritas ini menawarkan solusi kemanusiaan yang paling tepat sasaran.
Bagi Rata hadir dengan tujuan menyalurkan bantuan bagi para pekerja yang nasibnya tidak menentu karena pandemi dan tidak tersentuh oleh beragam skema bantuan pemerintah. Melalui platform ini para pekerja yang masih mendapatkan gaji penuh dapat membantu kebutuhan dasar para pekerja yang dirumahkan atau terkena PHK. Sistem subsidi silang yang aktif sejak Maret 2020 ini sangat menolong orang-orang yang berada dalam situasi sulit dan pelik serta memiliki kebutuhan mendesak tanpa menampilkan atau menjual potret kemiskinan yang seringkali menjadi senjata inisiatif penggalangan dana. Tentu saja penerima dana ini harus memenuhi berbagai syarat dan ketentuan serta melewati proses verifikasi dengan keputusan final di tangan pemberi dana.
Program Bagi Rata patut kita apresiasi karena belum banyak upaya kolektif dalam membangun jaring pengaman sosial secara swadaya (dari rakyat untuk rakyat). Di bulan Juli 2021 ada Rp. 400 juta arus dana dan secara total subsidi silang mencapai angka 1 Milyar Rupiah dari 8000 transaksi subsidi silang. Subsidi itu menolong orang-orang yang bahkan tidak tahu apakah ia bisa makan esok hari, apakah cicilan bulan ini bisa terpenuhi dengan tabungan yang sudah menipis, apakah tagihan obat bisa dilunasi, apakah bisa mengurus pemakaman yang layak bagi anggota keluarga yang wafat, dan sederet urgensi lain yang seringkali menciptakan ketidakberdayaan dan keputusasaan.
Gotong Royong Lawan Berita Bohong
Di tengah wabah COVID-19 ini ada yang lebih mematikan daripada virus itu sendiri: berita bohong atau hoaks. Berita bohong yang tersebar dengan cepat melalui grup-grup keluarga dalam aplikasi layanan pesan dan media sosial tentu meresahkan karena dibuat seolah-olah benar sehingga dapat menjerumuskan orang-orang yang mempercayainya.
Menurut dokter sekaligus influencer Tirta Mandira Hudhi, hoaks yang beredar di tengah masyarakat selama pandemi sangat beragam. Ia mencatat beberapa di antaranya yang paling memicu kontroversi: pertama, terkait obat cacing ivermectin yang disebut ampuh melawan virus corona namun sesungguhnya harus melewati tes lebih lanjut terkait efektivitasnya.
Kedua, terkait konsumsi vitamin C dan vitamin D 10.000 IU yang disebut mampu melawan virus namun realitanya konsumsi vitamin megadosis berisiko mengganggu saluran cerna, batu ginjal hingga hiperkalsemia (kelebihan kalsium) dengan segala efek sampingnya.
Ketiga, terkait manfaat memasukkan bawang putih ke hidung yang disebut ampuh mengeluarkan cairan di paru-paru akibat corona namun realitanya tidak ada bukti ilmiah dan justru dapat menyebabkan iritasi dan gangguan saluran pernafasan.
Berita bohong keempat: orang tanpa gejala (OTG) disebut tidak dapat menularkan namun pada kenyataannya, bergejala maupun tidak bergejala, penyintas COVID-19 selama dalam kondisi positif, dapat menularkan virus ke sekitarnya.
Kelima, berita bohong bahwa masuk rumah sakit berarti siap “di-covid-kan”. Berita ini tentu saja berpotensi menghalangi orang-orang yang positif, khususnya dengan gejala sedang dan berat, untuk mendapatkan penanganan dan perawatan.
Keenam, yang paling fatal, terkait himbauan untuk berhenti membaca dan menyebarkan informasi seputar COVID-19 karena virus dapat dihindari ketika kita berpikir positif dan bebas dari rasa takut. Hoaks ini dapat menjerumuskan publik untuk abai pada perkembangan virus corona terbaru dan warga bahkan bisa melupakan kondisi pandemi yang sesungguhnya masih berlangsung bahkan cenderung semakin parah ini.
Dalam konteks pandemi, para dokter dan perawat menjadi pejuang di garda depan, tidak hanya dalam upaya bersama melawan virus tetapi juga dalam upaya gotong royong melawan berita bohong. Berita bohong berisi hal-hal yang belum pasti namun sukses beredar karena banyak orang menyebarkannya sambil bertanya di laman media sosial dan grup pertemanan, “Eh, ini bener ga sih?”. Oleh karena itu, menurut dr. Tirta, solusi terbaik bagi publik adalah mengkonfirmasi berita-berita dan informasi yang beredar itu secara langsung, face-to-face virtual kepada tenaga kesehatan yang dapat dipercaya kepakarannya. Para dokter secara sukarela dan semangat gotong royong membuka layanan publik telemedicine melalui WhatsApp dan Telegram sebagai upaya meluruskan informasi “ngawur” seputar pandemi yang beredar di masyarakat.
Langkah para dokter untuk membuka layanan telemedicine dan secara aktif memberikan edukasi seputar pandemi di media sosial adalah langkah tepat mengingat netizen Indonesia sangat aktif dalam berkomunikasi baik melalui aplikasi pesan maupun media sosial khususnya Instagram. Walaupun tidak dapat dipungkiri bahwa media sosial merupakan salah satu tempat utama orang-orang tidak bertanggung jawab untuk menyebarkan berita bohong, media-media seperti YouTube, Instagram, Facebook, Twitter dan Tik Tok tetap relevan, penting dan efektif digunakan sebagai platform edukatif dan informatif.
Saya merasakan manfaat dari mengikuti berbagai akun resmi para dokter di Instagram seperti Profesor Zubairi Djoerban (@profesorzubairi), dr. Adaninggar Primadia Nariswari (@ningzsppd) dan dr. Adam Prabata (@adamprabata) serta komunitas seperti Pandemic Talks (@pandemictalks). Kita bisa mengakses informasi penting seputar pandemi melalui konten-konten menarik dengan bahasa dan grafis yang mudah untuk dipahami dan disebarluaskan atau cukup dengan mendengarkan tanya-jawab antara netizen dan para pakar saat sesi live.
Selain oleh para dokter dan komunitas, pemanfaatan media sosial untuk kampanye yang edukatif juga dilakukan secara konsisten oleh para figur publik termasuk YouTuber, content creator, selebritas dan para influencer. Masyarakat, kita semua, para follower dan subscriber, secara tidak langsung dapat mengambil inspirasi dan melakukan hal yang sama secara sederhana untuk lingkaran keluarga dan pertemanan, misalnya dengan membuat konten tentang pentingnya mematuhi protokol kesehatan dan ajakan untuk stay at home selama PPKM. Kita bisa gotong royong melawan berita bohong dengan menciptakan ekosistem media sosial yang sehat.
Gotong Royong adalah Terang dalam Gelap
Di tengah carut marut penanganan pandemi COVID-19 yang membawa krisis kesehatan dan ekonomi, sebagai bangsa Indonesia kita patut bangga atas semangat dan aksi gotong royong yang masih berdenyut di tengah-tengah masyarakat Indonesia. Di tangan pemilik kepentingan, sebagaimana ditulis dalam riset-riset terdahulu terkait pembangunan, gotong royong menjadi alat rekayasa sosial dan diskursus politik. Namun di tengah masyarakat, terlebih dalam situasi krisis yang mengancam keselamatan bersama, kegotongroyongan menjadi ruh yang menggerakkan empati dan solidaritas bahkan membangkitkan altruisme.
Keresahan yang dihadapi pemerintah dan masyarakat selama pandemi ini tentu saja bukan hanya masalah ekonomi dan sulitnya menghalau hoaks. Keresahan itu ada di hampir semua lini kehidupan dan membuat kelompok rentan semakin berada dalam posisi rentan: bagaimana pandemi yang memaksa kita berada lebih lama di rumah justru meningkatkan kasus kekerasan domestik dan pernikahan anak, bagaimana pandemi yang memaksa kita lebih banyak menghabiskan waktu di layar komputer dan telepon genggam justru memicu meningkatnya kekerasan berbasis gender online, bagaimana pandemi memicu gangguan kesehatan mental, dan masih banyak lagi. Namun percayalah, di tiap keresahan itu telah dimulai aksi, daya dan upaya pemerintah dan masyarakat untuk bangkit secara gotong royong dari keterpurukan dan menolak kehancuran.
Gotong royong di masa pandemi menunjukkan bagaimana konsep ini bukan hanya tetap relevan menjadi tenaga yang menggerakkan solidaritas sosial dan menciptakan kohesi sosial sebagaimana makna sejatinya, tetapi juga mengalami intensitas ke bentuk altruisme atau berkorban demi kepentingan dan keselamatan orang lain. Menyediakan dan mengirim makanan secara sukarela hingga berbagi gaji dan penghasilan bagi mereka yang terdampak adalah bentuk-bentuk altruisme yang muncul selama pandemi. Tulisan ini tidak membahas bagaimana altruisme juga terjadi namun seringkali terlupakan di berbagai fasilitas kesehatan: selain para tenaga kesehatan, garda depan melawan virus corona, ada juga tenaga non-kesehatan yang tak kalah penting peran dan pengorbanannya: para supir ambulance, petugas pemulasaran jenazah, petugas kebersihan rumah sakit dan para penggali kuburan yang semuanya bekerja 24 jam tanpa insentif dengan risiko penularan kepada diri sendiri dan keluarga mereka.
Kita menyaksikan bagaimana gotong royong menjadi terang dalam gelap sekaligus modal yang baik bagi kita dalam berbangsa dan bernegara untuk menghadapi dunia pasca pandemi. Semoga nyala itu abadi dan tidak pudar oleh perbedaan pandangan politik di masa depan.