Fasad Rumah dan Tentang Kita Yang Menetap Pada Kesementaraan
Pada submisi column kali ini, Jan Stanlav menulis tentang perpindahan manusia zama kini, perihal pulang, dan perihal keberumahannya.
Words by Whiteboard Journal
Januari 2001 untuk pertama kalinya saya memiliki kendaraan sendiri, sebuah motor bebek atas nama sendiri, sebab waktu itu saya sudah punya KTP dan berhak memiliki barang dan kendaraan yang diatasnamakan langsung pada saya. Begitulah, akhirnya terbit STNK motor dan BPKB atas nama saya, sesuai KTP Lampung, meski motor itu tak pernah dipakai di Lampung, melainkan dibawa langsung ke Yogya, tempat saya kuliah waktu itu. Plat motor ditempeli BE.
Masalah muncul ketika saya memutuskan mengubah KTP saya menjadi penduduk Yogyakarta di sekitar 2012. Waktu itu, pengurusan pajak motor dengan KTP Lampung masih bisa dilakukan karena saya belum sepenuhnya mencabut berkas saya, dan KTP Lampung masih berlaku. Namun setelah KTP elektronik yang berlaku seumur hidup terbit, dan berkas KTP saya di Lampung sudah saya cabut, juga KTP Lampung dulu itu sudah habis masa berlaku, saya tak bisa lagi mengurus pajak maupun penggantian plat nomer yang habis masa berlakunya di 2021. KTP elektronik yang kabarnya berlaku nasional juga tak menolong dalam hal ini. Semestinya, dalam peraturannya, motor itu dicabut berkasnya dari Lampung dan dipindah ke Jogja sesuai KTP saya, motor BE menjadi plat AB. Namun pengurusan berkas memakan waktu lama dan berbiaya besar. Lagipula, di 2021 itu saya pindah ke kota lain lagi tanpa mengubah KTP. Kalau pun motor akan dicabut berkas dan dipindah sesuai KTP saya di Jogja, sementara saya dan motor tersebut sudah bertempat tinggal di kota lain, rasanya lebih tak masuk akal.
Di situlah saya menyadari betapa absurd jika sesuatu yang dimiliki, identitasnya, harus melekat, atau dilekatkan pada “identitas” saya secara formal. Identitas pun, jika dipikir lebih jauh, dilekatkan dengan sesuatu yang lain, baik yang konkret macam tempat, lokasi, ataupun yang abstrak, ideologi, agama, dan sebagainya. Atau, jangan-jangan identitas itu semua abstrak, semacam ilusi kita atas keberakaran.
Untuk alasan keamanan, peraturan demikian memang baik, tetapi melihat bagaimana sesuatu (benda) harus punya identitas menetap yang dikaitkan dengan manusia yang punya daya berpindah lebih besar di masa kini, itu cukup merepotkan. Saya membayangkan, bagaimana plat nomer kendaraan harus diperpanjang dan diganti, atau nomer motor digesek berdasar kertas gesekan yang harus diperoleh dari Polres setempat (yang sesuai dengan plat motor itu) ketika orang sedang dalam perjalanan yang bisa jadi tak pernah kembali, atau baru kembali lama sekali. Atau seperti kasus saya, saya berpindah kota, bukan lagi di Jogja, tetapi di Bandung, Jawa Barat. Bagaimana nasib motor saya yang masih berplat BE itu? Mau tidak mau pajak harus tetap dibayar, dan penggantian plat nomer yang sudah berakhir dilakukan dengan cara tanpa KTP, alias nembak. Begitulah kata orang-orang yang sudah pernah melakukan. Secara umum, mungkin saya yang dianggap keliru karena berpindah kota dan tidak mengurus detail satu-satu sejak lama.
Begitulah saya yang punya kecenderungan nomaden ini mulai merasa bagaimana kompleksnya perihal identitas, rumah, kepulangan, dan peristiwa perpindahan. Pertanyaan tentang keberakaran juga mampir di benak saya. Meski dilahirkan di Lampung, saya hidup begitu lama di Jogja dan merasa “berakar” di sana, atau saya yang berusaha “mengakar.” Mengakar demi apa? Mungkin itu seperti semacam keniscayaan kehidupan di dunia. Tetapi apakah itu keberakaran, bukan kah ia hanya semacam kebutuhan agar kita memiliki relasi dengan yang fana ini, untuk bisa menyebut diri, dan merasa diri eksis di bumi? Dan bagaimana keberakaran, keberumahan, keberpindahan itu dimaknai lagi dalam konteks dunia yang sekarang? Karena itulah saya mencoba memproblematisasi hal itu lewat tulisan.
Menetap dan berpindah adalah persoalan paling purba bagi makhluk hidup. Manusia bergerak demi bertahan hidup, survival, mencari makan, dan mencari daerah yang baik untuk bisa ditinggali. Perpindahan pada akhirnya adalah perkara rumah, tempat berdiam, menetap. Bahwa kemudian berpindah lagi karena berbagai hal, itu sebuah keniscayaan dari kehidupan di bumi yang selalu berubah.
Di zaman modern, sejak semua dicatat, didefinisikan, dikategorisasi, seseorang harus tercatat jadi warga masyarakat dan negara tertentu. Manusia tak lagi mencari tempat menetap, tapi ditetapkan untuk menetap. Dengan kata lain, untuk bisa berpindah atau berpergian ke mana pun, ia harus punya tempat yang tetap dahulu, dan punya “kartu” identitas yang melekat pada tempat itu. Namun dengan adanya kartu identitas yang menunjukkan kelekatan ia dengan sebuah tempat, orang akan lebih sulit berpindah untuk menetap di tempat lain dalam waktu lama. Seluruh kepergian dan aktivitas perjalanan sifatnya menjadi sementara. Ia harus kembali. Pulang ke rumah. Begitulah, kartu identitas, di satu sisi membebaskan sebab orang punya “tanda pengenal” yang sebagai jaminan kepercayaan ketika berelasi dengan orang di belahan dunia lain, namun di lain sisi mengikat. Ada semacam jangkar yang selalu menahan orang untuk tidak pergi. Entah itu rumah, tanah, keluarga, ataupun bentuk kepemilikan (barang) lain. Orang diharuskan kembali; dilekatkan pada sesuatu sebagai jaminan untuk kembali. Selain wilayah, kartu identitas juga berisi profesi, jenis kelamin, status, alamat, dan agama. Ada “batas” yang harus disandang setiap manusia di sana.
Pergeseran pola hidup manusia dari masyarakat nomaden menjadi masyarakat menetap, dan kemudian masyarakat modern, hingga munculnya masyarakat kontemporer (yang melahirkan semacam “digital nomad” dan para traveller – era yang sering kita sebut sebagai era masyarakat kosmopolit) mengundang kita melihat kembali perkara batas-batas itu. Pada masyarakat kosmopolit, keberumahan dan keberpindahan tampak menjadi suatu keniscayaan. Kebutuhan mereka tak hanya soal “rumah,” tapi juga soal “pergi.” Pemahaman atas tempat, atau tempat tinggal pun jadi berbeda. Bagaimana memaknai kembali rumah dan “pulang” dalam masyarakat kontemporer kini, bagi mereka yang bisa dikatakan traveller, musafir masa kini?
Rumah, tempat tinggal, di era di mana perpindahan manusia begitu masif, pada akhirnya mungkin menjadi semacam ilusi. Ia tak lagi berupa sesuatu yang secara fisik ada untuk ditinggali, melainkan bayangan yang selalu melekat sepanjang perjalanan. Ilusi, atau bayangan-bayangan semu tentang rumah, seperti juga bayangan atas “Tanah Air” yang ‘melanda’ orang-orang yang stateless di zaman Orde Baru, mungkin memang harus ada demi membuat sebuah perjalanan (dalam arti yang lebih jauh, kehidupan) bertahan.
Rumah, atau sebuah kepulangan mungkin bukan lagi soal asal-muasal, atau alamat yang tertulis di kartu identitas, melainkan apa yang bisa dihidupi: Negeri pemberi suaka, pekerjaan, orang-orang yang menyambut, dan perjalanan itu sendiri. Pulang dan rumah menjadi ilusi besar. Namun, ilusi tersebut akan selalu ada, sebab ia dibutuhkan, di setiap langkah kaki manusia, di setiap meter kendaraan melaju. Ia hadir di balik lampu-lampu di jendela rumah yang dilewati kereta pada malam hari, pohon-pohon mangga, rambutan, jambu, serakan daun-daun di halaman, kusen pintu, daun jendela, kotak sampah di trotoar jalan, bangku-bangku di teras, pagar mini di depan rumah, lemari tua, pot bunga di halaman rumah, dan sebagainya hingga ia tampak hanya sebatas kerinduan, sebuah melankolia atas apa yang ditinggalkan, yang hilang, yang berlalu; Bukan yang nyata ada.
Hingga mungkin, perihal “pulang” bukan pada apa yang dikenang, tapi pada apa yang dihidupi begitu lama, dan pada hidup yang meminta dihidupi kembali di saat ini; Ritme yang sekarang. Kepulangan bukan lagi sebentuk kenangan, melainkan yang sekarang sedang dijalani. Ia bukan lagi jejak, dan bukan pula tujuan, tapi telapak kaki yang sedang mendarat ketika melangkah. Seperti juga perihal rumah dan keberumahan, kepulangan tidak bertahan pada apa yang dapat dikenang, atau diingat, melainkan sesuatu yang memungkinkan untuk menjadi kenangan lagi dan lagi.
Melalui beberapa foto fasad rumah di sini, saya ingin mengajak membayangkan perpindahan manusia zaman kini, perihal pulang, dan perihal keberumahannya. Rumah kini seperti ilusi dari mobilitas manusia yang begitu tinggi. Fasad dari sebuah rumah di sini mencoba mensimbolisasi dualisme rasa itu; antara pulang dan pergi. Ia berkelindan di antara kerinduan “berumah” sekaligus kerinduan “pergi”untuk selalu bisa merasa “pulang.” Ia semacam menjadi imaji bagi orang-orang yang menetap pada kesementaraan.
Sebuah kepulangan bisa jadi hanya semacam ilusi, terlebih di zaman sekarang. Pemaknaan soal pulang dan kepulangan itu berubah. Kepulangan yang pada dasarnya berkaitan dengan ingatan tentang ada sesuatu yang bisa disinggahi, dan itu rumah, kini, di zaman banyak orang selalu butuh pergi dan perkembangan teknologi begitu pesat, di mana ruang dan waktu makin terkompresi, pandangan soal pulang itu bergeser. Cara orang mengingat dan mengalami rumah dan kepergian pun tak lagi seperti dulu.
Maka, kini, kepergian dan kepulangan seperti berada pada titik yang sama – keperpindahan dan keberumahan seperti jadi dua sisi pada satu mata uang, mungkin manusia butuh memiliki rasa yang tak hanya intim, tapi juga asing; Mereka, atau kita semua sesungguhnya tak butuh pulang dalam artian seperti dulu, sebab seiring berbagai perubahan zaman, rasa-rasa “berpulang” dan “berumah” itu mungkin hanya bisa terjadi ketika bersisian dengan rasa asing, sesuatu yang tidak diketahui. Kita, manusia yang menetap pada kesementaraan ini, kini butuh rasa-rasa, atau getaran-getaran lain yang melahirkan hasrat pulang.