Emang Boleh Menjadikan Musik sebagai Sumber Sejarah Alternatif?
Dari Iwan Fals, Made Mawut, Seringai, hingga Jimi Jazz; Dalam submisi Open Column ini, Ugik Endarto menyoroti kekuatan musik sebagai sumber pengetahuan alternatif mengenai sejarah yang kerap dikooptasi oleh kepentingan penguasa.
Words by Whiteboard Journal
Kepingan sejarah peristiwa genosida yang terjadi di Indonesia tahun 1965 hingga 1966 tak kunjung juga menemui bentuk utuhnya. Generasi X hingga Z yang tidak mengalami langsung peristiwa itu dijejalkan berbagai versi. Dalih pemerintah dengan versinya mengklaim betapa berbahayanya Partai Komunis Indonesia (PKI) di masa silam, sebagai partai yang mendalangi pembunuhan tujuh tentara yang di antaranya merupakan petinggi militer.
Untuk itu, pihak-pihak yang mengaku “nasionalis” mengambil langkah genosida kepada orang-orang yang dianggap anggota serta simpatisan PKI—tanpa peradilan—sebagai tindakan yang tepat guna membasmi orang-orang komunis yang dianggap merongrong keutuhan negara.
New York Times dalam terbitannya pada Mei 1966 yang termuat pada buku Dalih Pembunuhan Massal (2006) menyebut ada lebih dari setengah juta orang dibunuh kala itu. Meskipun begitu, semenjak Soeharto dan rezim Orde Baru runtuh di tahun 1998, berbagai riset berani muncul ke permukaan dengan membawa pesan kontra-narasi dengan versi pemerintah, seperti yang tertuang dalam buku Penghancuran PKI (2017), Propaganda dan Genosida di Indonesia (2020), dan lain-lain.
Garis besarnya, riset itu mengatakan bahwa banyak hal yang ditutupi dan fakta sejarah yang dibelokkan oleh pemerintah mengenai peristiwa genosida ‘65, semata untuk mengklaim kebenarannya dalam “membunuh” orang-orang PKI. Hingga kini, tidak ada titik terang peristiwa sejarah itu. Pihak pemerintah juga tampak enggan membuka peluang rekonsiliasi.
Sementara itu, selain melalui riset, tabir kelam itu tersingkap dengan sendirinya oleh alam, seakan atas kehendaknya ingin menunjukkan kepada manusia tentang sejarah yang terkubur. Seperti yang terjadi pada 2013 lalu, seorang nelayan menemukan tengkorak manusia yang berserakan di pantai Cucukan, Gianyar, Bali. Tulang-belulang jasad itu tergerus ombak lalu berserakan di pantai yang setelahnya dikumpulkan lalu dibakar masal oleh aparat desa setempat untuk menjaga kesucian wilayah. Diperkirakan terdapat sebanyak 200 tengkorak orang-orang yang dianggap PKI.
Menyingkap sejarah yang terkubur
Peristiwa itu mengetuk hati Made Mawut, seorang musisi blues asal Bali untuk menulisnya menjadi sebuah lagu dengan judul “Tabir Kelam” yang dirilis pada Maret 2023. Made Mawut menyusun musik folk dengan nada yang mellow dan progresi ala blues, dengan petikan gitar yang pelan juga vokal yang sendu. Lagu yang dinyanyikan dengan para personel Nosstress itu seakan membawa kaki-kaki kita menginjak pasir pantai Cucukan dan menyaksikan sisa-sisa kekejaman sejarah negara ini. Berikut penggalan liriknya yang memilukan: Berdiri di atas gundukan tak bernisan, berjuta kepala dikubur tanpa kafan, tergerus ombak disisir hujan.
Selain Made Mawut, musisi-musisi Indonesia yang sering kali menangkap peristiwa dan mengolahnya menjadi sebuah lirik adalah Iwan Fals. Ia adalah musisi dengan konsep realisme, mengangkat peristiwa-peristiwa kehidupan, politik, hingga ekonomi ke dalam lagu-lagunya.
Mungkin Gen-Z tak akan pernah tahu apa yang terjadi sekitar tiga puluh tahun lalu di Pondok Gede jika tak mendengarkan lagu “Ujung Aspal Pondok Gede” yang dirilis Iwan Fals pada tahun 1985. Ia menyodorkan gambaran tentang kondisi di sana, di mana masuknya pembangunan mulai menggusur ruang tradisional yang ada. Lebih lama sebelum Iwan Fals, aliran realisme dalam penulisan lirik juga sudah ditekuni oleh Benyamin Sueb, Franky and Jane, dan banyak lagi seputar lagu balada di tahun 50 sampai 80-an.
Memang di zaman sekarang tidak banyak yang mengangkat kisah-kisah realisme. Namun, banyak musisi dengan subgenre rock dan metal yang masih konsisten menyuarakan itu. Misalnya lagu “Petrus” milik Jimi Jazz, yang menurut Hipwee berkisah tentang pengalaman seorang Jimi Multhazam menyaksikan langsung penembakan misterius (petrus). Contoh lainnya, Seringai juga pernah membuat lagu bermuatan sejarah dengan lagunya “Dilarang di Bandung”, hingga generasi hip-hop zaman sekarang seperti Pangalo! yang mengemasnya dalam wadah kritik sosial dan politik.
Lagu dan ingatan sejarah alternatif
Kita tahu bahwa lagu bisa menjadi media sumber ingatan alternatif yang tidak dapat disepelekan, mengingat wacana publik tentang kebenaran dan keadilan di negeri ini telah banyak terkooptasi oleh kepentingan-kepentingan penguasa. Parahnya, media massa arus utama kerap menyambut hal ini dengan gegap gempita, kemungkinan mengharapkan derasnya kucuran dana penguasa. Tidak heran banyak wacana yang terbang di ubun-ubun kita sering kali mengandung banyak kebohongan dan sarat kepentingan.
Bagaimana mungkin kita mengharapakan negeri ini terbebas dari pembodohan, sementara kita selalu menutup telinga dan membuka mulut lebar-lebar untuk melahap semua yang rezim suguhkan sebagai satu-satunya sumber, termasuk hoaks, pencitraan, fitnah, dan tentu saja, cuci otak. Di tengah kejengahan akan fenomena itu, musik bisa menjadi menjadi media alternatif yang efektif untuk mengenal sejarah. Menurut penelitian Griyanti, dkk (2018), lagu mampu menyediakan sarana ucapan yang secara tidak sadar disimpan dalam memori di otak. Selain itu, lagu dapat menghadirkan sarana relaksasi dengan menetralisir denyut jantung dan gelombang otak yang dapat memicu retensi dan menyentuh emosi.
Lirik-lirik musik beraliran realisme sering kali memakai diksi-diksi yang mudah dipahami. Simpel namun mampu menjelaskan situasi kompleks yang dekat dan berkaitan dengan kehidupan sehari-hari. Coba tengok musisi folk realisme tahun 40-an seperti Woodie Guthrie, yang sampai saat ini lagu-lagunya bisa dijadikan rujukan dalam belajar sejarah perang dunia ke-2.
Meskipun begitu, berbagai lagu realisme yang tertulis itu tidak dapat dijadikan sumber utama sejarah. Sangat dianjurkan untuk mengimbanginya dengan membaca literatur yang disusun secara ketat dengan pakem-pakem historiografi ilmiah, karena lagu adalah karya sastra yang dalam penyusunannya melibatkan pengalaman yang terdistorsi oleh intuisi sang penulis lagu. Bukan berarti lagu realisme tidak penting, Tapi, sejarah itu perlu ada di dalam karya musik sebagai petunjuk memasuki pintu gerbang tentang sejarah, terutama yang gelap karena dimanipulasi karena kepentingan politis.