
Di Hidup yang seperti Perlombaan, Kenapa Kita Sering Dibuat Kalah?
Dalam submisi Open Column kali ini, Muhammad Afriza Adha mengisahkan karakter-karakter di suatu semesta yang tidak mengenal garis finis, dan tidak pernah diberikan kesempatan untuk memilih jalan hidupnya sedari rahim—semua sebagai bentuk refleksi terhadap ketidakadilan sosial yang seakan-akan ‘normal’ di sehari-hari.
Words by Whiteboard Journal
Apa yang paling bodoh selain pelari yang tak tahu di mana garis finisnya? Memikirkan jawabannya, dan hidup di dunia seperti ini, saya curiga kita semua memang bodoh—sama halnya dengan pelari itu, yang akan terus berlari sampai lututnya memanas lalu meledak.
Si buruh yang bekerja 12 jam sehari—bahkan kerap kali melewati batas itu—tak tahu kapan ia perlu berhenti, selain alarm dari tubuhnya yang mulai renta dan tak bisa lagi membungkus ribuan smartphone ke dalam kardus. Uang yang ia peroleh dari keringat yang ia jual tak cukup disisakan sebagai tabungan masa tua. Nafasnya pendek. Upahnya hanya cukup untuk ia mengisi perut hari ini agar besok ia bisa kembali bekerja, tak peduli jari-jarinya mulai lecet dan mengeluarkan tetesan darah.
Si istri yang mengorbankan waktu tidurnya demi terus belajar, mengumpulkan beribu pengalaman tak adil dari jutaan perempuan terdahulu, mencoba membedah realitas guna mencari pintu keluar dari kemasygulan ini. Ia tak akan pernah berhenti sampai ia menyadari dunia ini memang tidak adil bagi kaumnya, lantas kemudian ia bergegas menyuci pakaian dalam suaminya yang bau amis.
Si hitam legam yang terus berlatih mengasah bakat menyanyi, berpidato, dan apa pun itu yang dapat memberi kesan pada personanya sebagai individu yang baik. Ia menolong orang lain tanpa pamrih, sebab ada pedoman yang tertanam di kranium kepalanya: manusia adalah saudara bagi sesamanya. Tapi semuanya terasa sia-sia ketika temannya dibekuk tanpa ba-bi-bu oleh aparat, seolah ia bukan manusia.
Atau si petani tua, yang merelakan tanahnya diambil paksa oleh mereka yang rakus. Mereka yang menipunya dengan iming-iming kehidupan bagai surga dalam kemasan kemajuan. Nyatanya, ia terusir dari sumber penghidupannya selama ini. Dengan bekal yang tak banyak, ia dipaksa untuk meniru gaya hidup manusia kota. Mencari duit seperti orang-orang maju. Bila ia tak sanggup, itu salahnya sendiri. Salahnya sendiri! Begitu anggapan mereka, di tengah kemiskinan yang terus mengetuk pintu rumah si petani. Ia benar-benar tak punya senjata untuk bertahan dalam pertempuran tanpa belas kasih. Yang lemah ditindas. Mau tak mau, suka tak suka, ia mesti menanggung semua derita.
Yang kalah dan menderita dalam hidup ini adalah mereka yang tidak mengerti apa-apa tentang cara hidup modern, padahal cara hidup mereka selama ini tidak menyebabkan kerusakan sebesar kerusakan yang disebabkan oleh “pembangunan era kemajuan.”
Yang kalah dan menderita juga mereka yang lahir dengan warna kulit tertentu, yang sesungguhnya tak pernah mereka pilih. Begitu juga mereka yang lahir dengan atau tanpa penis—tak pernah diberi hak memilih dari dalam rahim.
Beberapa kondisi tak adil itu, lambat laun, menjadi kenormalan yang harus diterima tanpa protes.
***
Tembakan dilepaskan ke udara—tanda perlombaan dimulai. Tapi si pembuat acara tak pernah menunjukkan di mana garis finisnya.
Si pelari tetap harus berlari tanpa henti, sampai kakinya patah terkilir, atau jika perlu, sampai lututnya meledak karena panas. Sebuah tontonan yang memanjakan penonton, dan menghasilkan keuntungan besar bagi si pembuat acara.
Kalau perlombaan seperti itu benar-benar ada, barangkali kita memang tak akan terlalu terkejut. Bukankah kita sudah karib dengan ketidakadilan yang seperti itu?