Desain untuk Sosial?
Menilik fungsi desain dalam hubungan sosial manusia.
Words by Whiteboard Journal
Akhir-akhir ini feed Instagram saya dibanjiri oleh cerita dari kawan-kawan desainer produk* yang sedang berada di pedalaman pulau Kalimantan, Maluku, Papua. Berkolaborasi dengan para pengrajin atau pengusaha lokal, para desainer tersebut ditantang untuk mengembangkan produk kerajinan yang sudah ada untuk disesuaikan dengan kebutuhan pasar. Banyak di antara produk-produk tersebut berhasil mengintrusi market baru melalui keikutsertaan serta penempatannya di pameran-pameran skala international, di galeri desain dan gerai-gerai homedecor di Jakarta, Bali, dan beberapa kota di mancanegara.
Akhir-akhir ini pun muncul beberapa program yang diusung pemerintah pusat maupun daerah untuk membangun industri kerajinan dengan suntikan keilmuan desain yang bertujuan untuk mempenetrasi pasar baru, domestik maupun internasional, sehingga dapat membangkitkan lagi denyut ekonomi di kampung-kampung kerajinan. Adapun juga contoh program yang mengikutsertakan berbagai profesi desainer untuk menemukan potensi kreatif di suatu daerah serta mengembangkannya menjadi potensi ekonomi bagi warga lokal di samping berladang atau beternak di daerah. Mungkin tidak asing lagi di telinga kita beberapa tahun ke belakang: banyak institusi-institusi pemerintahan yang fokus menggunakan keilmuan desain untuk mengembangkan industri-industri kecil dan menengah, serta industri kreatif. Secara bersamaan, ada pula inisiatif dari sektor privat, seperti social enterprise yang bertujuan membantu pengrajin maupun memberi keterampilan kerajinan di pedalaman yang kondisi ekonominya perlu diperbantukan. Tak lepas dalam hal ini tenaga desain pun berperan penting di lapangan, agar para pengrajin tidak terbatas memproduksi kerajinan untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri dan pasar di sekitarnya, sehingga produknya dapat mengekspansi ke pasar luar.
Memang saat ini peran desainer produk industri sangat berbeda dibandingkan dengan kondisi beberapa dekade ke belakang, dimana pada umumnya mereka bekerja di sektor industri besar, seperti otomotif maupun elektronik. Hal ini seharusnya dapat ditelusuri lebih dalam bagaimana tenaga desain produk dapat juga menjadi jasa yang dianggap optimal untuk tujuan pembangunan sosial. Apalagi, metoda desain yang selalu mengedepankan solusi atas permasalahan, menurut saya cukup problematik apabila tidak kontekstual terhadap kondisi lokal, yang akhirnya cenderung mensimplifikasi kompleksitas struktur sosial dan budaya yang ada. Pertanyaan pun muncul di benak saya, mengapa desain produk yang dianggap sebagai profesi yang bertujuan menjawab kebutuhan calon pengguna dan pasar dapat digunakan pada tujuan ‘pembangunan’ ekonomi dan sosial pada komunitas tertentu? Lalu bagaimana dengan metode yang dipraktikannya pada konteks tersebut? Apakah proses desain yang umumnya berorientasi klien atau pasar dapat menjadi hal yang tepat untuk konteks pembangunan komunitas? Lebih jauh lagi, apakah problem solving yang menjadi jargon utama yang diusung dalam proses mendesain telah cukup menjawab permasalahan yang ada? Pertanyaan sederhana ini mengantar tulisan ini untuk mengeksplor lebih jauh perkembangan disiplin desain produk, terutama terkait perannya menjawab permasalahan sosial.
Perkembangan Desain Sosial di Dunia
“There are professions more harmful than industrial design, but only a very few of them.” – Victor Papanek, 1984
Sebelum berangkat lebih jauh, mari kita telusuri dulu perkembangan desain produk industri di dunia, terutama dalam irisannya terhadap menjawab permasalahan sosial. Ketika budaya konsumerisme mencapai titik puncaknya pada kurun 1970-an di Amerika Serikat, desainer produk industri dianggap sebagai pihak yang bertanggung jawab atas terciptanya kondisi tersebut. Profesi ini, melalui kemampuannya, berperan untuk menciptakan suatu rancangan produk berdasarkan kebutuhan pasar dengan tujuan utama untuk diproduksi secara massal dan efisien. Bila kita tengok sejarahnya, memang profesi ini lahir dari pecahnya revolusi industri, yang seiring waktu membentuk paradigma desainer produk sebagai aktor yang berperan untuk membentuk dan memenuhi keinginan pasar. Di tengah status quo atas profesi ini pada saat itu, Victor Papanek (1984) menerbitkan buku “Design for the Real World” yang menuai kontroversi melalui kritik pedasnya terhadap profesi desainer produk. Menurutnya profesi ini sangat berdampak negatif terhadap ekosistem dunia, mengingat kemampuannya untuk mengolah suatu material menjadi wujud produk. Lebih jauh lagi, profesi ini juga menstimuli kebutuhan manusia sebagai pembeli. Panggilan pun menggema bagi para desainer untuk lebih peduli terhadap kebutuhan sosial dan menyalurkan jasanya bagi kebutuhan kaum yang termarjinalkan, seperti kelompok berkebutuhan khusus dan lansia, hingga kemungkinan ikut sertanya profesi ini terhadap pembangunan ekonomi di dunia ketiga. Desainer-desainer yang memiliki kewajiban sosial pun lahir dengan giat bekerja di ranah grassroots dan lokal, namun sayangnya selalu absen dalam gemerlap panggung desain komersil.
Kegiatan desain dengan tujuan sosial telah cukup panjang sejarahnya, namun istilah ‘social design’ sebetulnya mulai menghangat pada dekade ini. Ada yang berpendapat bahwa momentum krisis moneter 2008 di Eropa menjadi peranan besar terhadap munculnya disiplin ini. Berkembangnya jumlah sekolah desain ternyata tidak sebanding dengan penutupan beberapa perusahaan yang biasa menyediakan lapangan kerja bagi desainer. Ada pula yang melihat bahwa desain sosial muncul karena adanya perubahan kondisi politik dan perubahan sistem pemerintahan yang lebih terbuka, kebutuhan akan entrepreneur sosial, perkembangan pesat di bidang teknologi digital, hingga tumbuhnya aktivis-aktivis desain yang fokus terhadap perkembangan kondisi lingkungan dan penyamarataan ketimpangan ekonomi dan sosial. Pada akhirnya, akademi atau sekolah desain pun merespon secara perlahan dengan menerapkan ilmu-ilmu baru ke ranah bidangnya, hingga muncul program-program studi seperti, service design, design for communities, dan lainnya dengan harapan para lulusan sekolah desain dapat bekerja di sektor publik maupun di organisasi non-pemerintah. Saat ini, keilmuan desain telah berkembang lebih jauh untuk tidak hanya terbatas pada perancangan dan pembuatan sebuah objek, tetapi juga menyentuh aspek politik, sosial dan budaya.
Beberapa pemikir desain di dunia pun mencoba merumuskan lebih dalam peranan disiplin desain terhadap perkembangan sosial. Namun dibandingkan untuk membakukannya sebagai satu disiplin atau pemahaman, social design dirasa lebih tepat untuk dimengerti sebagai suatu aktivitas yang terbuka dan cair sehingga memberi ruang bagi berbagai disiplin dan praktis untuk dapat terasosiasi pada ranah ini. Sehingga, praktik desain sosial pun akan lebih kontekstual sesuai dengan isu yang akan diselesaikan.
Keterbatasan Desain
Desain sosial memang muncul sebagai upaya merancang suatu sistem perubahan dengan menekankan pada nilai-nilai kolektif tanpa didominasi kebutuhan komersialisasi semata. Premis-premis seperti ‘kita semua adalah desainer’ (Manzini, 2015) muncul dengan penekanan terhadap nilai participatory, dimana desainer dituntut memiliki kemampuan untuk mengikutsertakan pihak lain dalam proses mendesain. Namun desain sosial bukan berarti tanpa keterbatasan. Dalam kenyataannya, pencarian solusi desain untuk masyarakat sering kali secara tidak sadar menutup kemungkinan participatory, sehingga proses mendesain menjadi sepenuhnya hak prerogatif desainer. Seperti contoh, desainer-desainer yang ‘diterjunkan’ dalam proyek pembangunan industri kecil kerajinan dalam kurun waktu yang singkat, pada akhirnya hanya memberi solusi yang kurang optimal. Karena keterbatasan waktu dan target yang ditentukan, proses mendesain menjadi satu arah dan luput untuk melihat lebih holistik apa potensi yang dapat digali dan diolah di perkampungan kerajinan tersebut. Dampak negatifnya yakni terciptanya dikotomi yakni antara pihak yang ‘membangun’ dan ‘dibangun’. Lebih jauh lagi, impian untuk menghasilkan pengrajin maupun pengusaha kerajinan yang berdikari akhirnya tergerus dengan keinginan untuk selalu berinovasi dengan landasan menjawab kebutuhan pasar yang seluruhnya terdapat pada proses mendesain. Want to keep up with the latest gambling news? The online casino portal will tell you about the best casino bonuses, the latest news and offer the latest gaming club reviews. Akhirnya, secara tidak sadar, desainer akan hanya menjadi agen perpanjangan kebutuhan pasar dengan sistem auto-regulasinya dan luput untuk memperhatikan pemikiran dan pandangan dari kacamata pengrajin.
Kritik terhadap praktik desain dalam konteks pembangunan serta implikasi negatif dari inovasi dalam proses desain sudah banyak disuarakan oleh para peneliti desain. Lucy Suchman (2011) mengulas bagaimana impian dan harapan yang tercipta dalam praktik-praktik desain untuk membawa perubahan yang progresif nyatanya sangat problematik. Konsekuensi yang tercipta yakni munculnya polaritas antara daerah ‘terbangun’ dan ‘yang belum terbangun’ berkontribusi pada persoalan umum, seperti terciptanya persoalan center-margin (pusat dan pinggiran). Hal ini akan menciptakan risiko-risiko kontrol sosial dari pusat ke daerah. Kekhawatiran ini bukannya tak beralasan. Permasalahan pertama adalah, dalam perkembangan dunia saat ini yang erat kaitannya dengan tolak ukur perkembangan teknologi, tak dapat dipungkiri bahwa ‘perubahan’ menjadi agenda utama dalam mencapai suatu inovasi (Barry, 2011). Tolak ukur seperti ini secara tidak sadar menjebak kita dalam suatu pemahaman, seperti dikotomi negara maju dan berkembang, dimana negara-negara maju memiliki sistem ekonomi yang stabil, perkembangan teknologi yang konstan, serta kondisi institusi pendidikan dan budaya yang mapan. Sebaliknya kondisi ini menjadi kontradiktif di negara-negara berkembang dimana nilai-nilai tradisi masih kental dipraktikkan. Kondisi ini memicu kebutuhan untuk memodernisasi kondisi sosial dan budaya di negara-negara berkembang menjadi ‘serupa’ dengan negara maju disertai anggapan untuk memutus nilai-nilai tradisi maupun kelokalan yang dianggap kuno dan tak bernilai. Imbasnya, nilai-nilai tradisi dan ragam budaya dan sosial yang lazim ditemukan negara-negara berkembang, dianggap primitif dan secara perlahan tergerus oleh nilai-nilai yang mengutamakan ‘progresifitas’ atas nama inovasi dan pembangunan. Secara tidak langsung, pola pikir tersebut menjebak kita akan kebutuhan untuk selalu berubah dan up to date; menciptakan imajinasi-imajinasi dimana lingkungan sekitar kita selalu dalam kondisi ‘ketinggalan zaman’. Nilai-nilai progresifitas inilah yang kadang menutup mata para agen perubahan terhadap nilai-nilai sosial, budaya, sejarah, serta politik di tingkat lokal. Tak dapat dipungkiri bahwa kelalaian ini pun terdapat dalam praktik desain; dan terlebih lagi, desain berkontribusi besar terhadap konstruksi imaji-imaji tersebut. Desainer sebagai agen perubahan pun melakukan praktik ini tanpa menyadari adanya implikasi-implikasi negatif yang dihasilkannya.
Permasalahan kedua yakni terletak pada sistem penerapan pendidikan di sekolah-sekolah desain di negara-negara berkembang yang terletak di Global South (belahan bumi selatan). Tony Fry (2017) mengemukakan bahwa pendidikan desain umumnya didominasi oleh keilmuan yang dirumuskan di negara-negara di Global North (belahan bumi utara), dimana keilmuan desain disana berlandaskan kebutuhan pasar yang disertai dengan pola produksi massal dengan dukungan kecanggihan teknologi produksi di negara-negara tersebut. Menurut saya, kegagalan dalam menyesuaikan keilmuan desain dan menerapkannya dalam konteks kelokalan di Indonesia menjadikannya suatu permasalahan utama atas munculnya kondisi seperti ini.
Kurangnya sensitifitas para desainer terhadap kompleksitas struktur sosial dan budaya, nyatanya dapat pula berisiko untuk berkontribusi pada praktik-praktik neokolonialisme. Para peneliti antropologi desain mengingatkan bahwa, dengan kapasitas desain yang sangat strategis untuk merancang dan memberi dampak perubahan yang nyata, sensitifitas tersebut menjadi hal yang sangat mendesak, sehingga kesalahan masa lampau yang diakibatkan keilmuan antropologi sebagai landasan keputusan kebijakan pemerintahan kolonialisme beberapa abad lalu seharusnya dapat dihindari (Janzer and Weinsten, 2014).
Lalu?
Dalam tulisan ini, saya tidak bermaksud untuk mematahkan semangat positif yang dibawa oleh teman-teman desainer dalam praktiknya untuk ikut serta dalam agenda pembangunan beserta bukti-bukti konkrit yang telah dihasilkan. Tetapi, saya ingin mengedepankan bagaimana pentingnya untuk memahami nilai-nilai kelokalan disamping tujuan utama untuk menyelesaikan masalah dengan berlandaskan nilai inovasi dan progresifitas.
Victor Margolin (2002), dalam buku The Politic of Artificial, berargumen bahwa, apabila desainer ingin mengeksplor potensi desain lebih jauh, maka sebaiknya mereka dapat juga menganalisa lebih dalam dimana posisi praktik desain tersebut dilakukan. Senada dengan pernyataan ini, Arturo Escobar (2018) menyuarakan gagasan ‘Design for the Pluriverse’, menekankan suatu transisi dari pemahaman inovasi yang hanya mengedepankan nilai modernitas tunggal, dan lebih memahami aspek-aspek sosial, budaya, perkembangan sejarah serta potensi keberagaman di lokasi dimana proses desain dilakukan. Menurut saya poin-poin tersebut sangat penting untuk disimak dan ditelaah lebih jauh, terutama bagaimana desain dapat menjadi kontekstual dengan kondisi dan nilai-nilai lokalitas. Seperti kata pepatah: ‘di mana bumi dipijak, disitu langit dijunjung’.
Lalu apakah kita harus meninggalkan keilmuan desain saat ini yang umumnya diproduksi oleh negara-negara maju? Menurut saya, hal ini terlalu ekstrem dan sulit dilakukan. Tetapi, dengan sedikit merubah arah proses desain, dengan mempertimbangkan lebih dalam terhadap kondisi lokal, perubahan pun akan dapat dilakukan. Memang, tuntutan percepatan serta ‘deadline’ untuk menjawab kebutuhan pasar akan selalu menghantui, sehingga cenderung membuat kita mensimplifikasi kompleksitas permasalahan yang terjadi dilapangan. Tetapi, harus disimpan baik-baik dalam hati dan pikiran kita, bahwa dalam konteks desain untuk kebutuhan sosial, mendesain produk sempurna atas dasar kebutuhan pasar bukan hanya tujuan satu-satunya.
Desainer umumnya menghabiskan energi, waktu dan konsentrasinya untuk membuat produk dengan nilai estetika yang baik, fungsi yang sempurna, serta berpikir bagaimana proses penjualannya. Tetapi mereka seringkali luput untuk memikirkan bagaimana efeknya terhadap pihak yang memproduksi benda yang dirancang dan dampaknya terhadap lingkungan sekitarnya, serta bagaimana nantinya produk yang dihasilkan akan berdampak pada kondisi sosial secara luas. Gagasan desain, menurut saya, tidak dapat dianggap sebagai solusi absolut, dimana tanggung jawab desainer berakhir ketika prototype atau produk akhir diluncurkan. Desainer seharusnya mampu berf\pikir dan menginvestasikan waktunya lebih lama sebelum, ketika dan sesudah proses desain berlangsung. Karena bagaimanapun juga desain yang dihasilkan akan mempengaruhi kondisi sosial dimana kita berada, dan kondisi sosial tersebut juga akan mendesain kita kembali.
*Dalam tulisan ini penggunaan kata desainer produk industri dan desainer produk memiliki makna yang sama.
Reference
Barry, Andrew. 2001. Political Machine: Governing a Technological Society. London: Athlone
Escobar, Arturo. 2018. Designs for the Pluriverse: Radical Interdependence, Autonomy, and the Making of the Worlds. Durham, N.C.: Duke University Press
Fry, Tony. 2017. Design for/by “The Global South”. Design Philosophy Papers 15:1, 3-37
Janzer, C.L., and Weinstein, L.S. 2014. Social Design and Neocolonialism. Design and Culture 6:3, 327-344
Manzini, Ezio. 2015. Design, When Everybody Designs: An Introduction to Design for Social Innovation. Massachusetts: MIT Press
Margolin, Victor. 2002. The Politic of Artificial. Chicago: The University of Chicago Press
Papanek, Victor. 1984. Design for the Real World. Chicago: Academy Chicago Publisher
Suchman, Lucy. 2011. Anthropological Relocation and the Limits of Design. Annual Review of Anthropology 40: 1-18