Dear David: Rambu Totalitarianisme Pendidikan Kita
Dalam submisi column ini, MM Ridho mengulas bagaimana film Dear David (2023) berhasil menyoroti dan menjadi rambu bagi praktik totalitarianisme dalam institusi pendidikan di Indonesia.
Words by Whiteboard Journal
Hampir satu dekade meninggalkan penjara kecil bernama sekolah, rasa getir itu masih terasa ketika saya menonton Dear David (2023) pekan lalu. Kalau saja bukan karena teman-teman dan keseruan yang kerap mereka buat dan beberapa guru yang kompeten, mungkin pahit adalah satu-satunya aftertaste yang saya rasakan hingga saat ini.
Saya jelas sangat beruntung dapat dikelilingi teman-teman yang baik dan suportif, serta segelintir guru yang memang bisa memberi arahan pada tumbuh kembang nalar dan kemampuan saya. Namun, nggak semua orang seberuntung saya. Beberapa orang pasti merasa relate dengan Dilla (Caitlin North Lewis), yang menjadi lian dalam pergaulan hanya karena memiliki ekspresi fashion yang berbeda.
Apakah ini kesalahan Dilla ataukah teman-temannya yang menganggap ia sebagai pecun?
Meski perselisihan antara siswa kerap terjadi dalam pergaulan, tentunya sekolah sebagai institusi pendidikan berperan besar dalam terbentuknya sekat-sekat dan potensi gelut ini.
Supaya kita menyadari sekolah adalah biang keladinya, mari kita ulang singkat problem utama dalam plot film garapan sutradara Lucky Kuswandi ini:
Laras (Shenina Cinnamon) terjerat masalah karena cerita fiksi erotis tentang David (Emir Mahira)—yang ia tulis untuk mengaktualisasikan hobinya secara privat—tersebar dan viral tanpa ia tahu siapa yang menyebarkannya. Lantas David, yang menjadi tokoh utama dalam cerita-cerita Laras, kini dipandang berbeda dan menjadi ikon seksual seantero negeri.
Sekolah Cahaya, tempat mereka menempuh pendidikan, jelas kebakaran jenggot dan mencoba melakukan damage control atas kejadian ini. Dan tentu, semua mata tertuju pada Dilla yang kerap memposting foto-foto seksi di akun media sosial pribadinya. Ia diduga membuat dan menyebarkan cerita-cerita tersebut.
Tidak satu orang pun—kecuali David yang akhirnya menyadari dari kemiripan peristiwa di cerita tersebut—menyangka bahwa cerita-cerita itu ditulis oleh Laras, seorang penerima beasiswa sekaligus ketua OSIS Sekolah Cahaya. Tentu, ketika akhirnya Laras ketahuan, ia diminta untuk bertanggung jawab melakukan klarifikasi atas karya erotisnya yang tersebar itu.
Membaca klarifikasi yang dibuatkan pihak sekolah atau drop out. Selain akan kehilangan statusnya sebagai siswa, ia juga tak akan lagi merasakan manfaat beasiswa yang dahulu dirasakannya. Jauh sebelum itu, pihak sekolah juga telah melakukan manajemen risiko dengan cara mencampurtangani ruang privat para siswa: merazia ponsel dan meminta mereka membuka gembok akun-akun media sosialnya.
Skenario ini jelas bukan khayalan omong kosong Lucky Kuswandi dan tim. Saya rasa, hampir semua yang pernah mengemban pendidikan di Indonesia pernah mengalami, atau setidaknya, berada dalam situasi ini. Ruang privat para siswa yang melebur jadi urusan pihak sekolah dalam film Dear David adalah praktik totalitarianisme institusi pendidikan yang dinormalisasi di negeri ini.
Istilah totalitarianisme mungkin dikenal dan erat dihubungkan dengan rezim pemerintahan Stalin di masa kejayaan hingga keruntuhan Uni Soviet. Selain itu, istilah ini kerap muncul dan jadi gagasan utama dalam novel-novel (termasuk Magnum Opus) penulis besar namum problematik, George Orwell. Secara definisi, totalitarian adalah bentuk pemerintahan yang mengatur dan mengedepankan kontrol secara total atas kehidupan warganya.
Dear David menggambarkan realita yang menyelimuti intitusi pendidikan Indonesia, di mana sekolah menjadi agen yang mengoperasikan kontrol secara total terhadap para siswanya. Kita bisa bagaimana repotnya sekolah repot mengurusi postingan di media sosial Dilla, hingga cerita fiksi yang ditulis Laras secara apik untuk dirinya itu, tanpa peduli siapa pelaku penyebarannya.
Urusan-urusan di ranah pribadi seperti ekspresi diri, dalam bentuk apapun, seharusnya bukan jadi problem yang heboh kalau sekolah dapat berfungsi sesuai dengan tujuan utamanya: mendidik, bukan mendisiplinkan; membekali, bukan menyeragamkan. Alih-alih menjadi institusi pendidikan, sekolah masih melihat para siswa sebagai subyek pasif yang kosong dan tidak terarah. Oleh karenanya, mereka berhak mencekoki dan membatasi apapun yang tidak sejalan dengan apa yang dianggap lazim oleh masyarakat sejak dulu.
Dalam sebuah percakapan dengan Myles Horton, yang kemudian diabadikan menjadi buku berjudul We Make the Road by Walking: Conversations on Education and Social Change (1990), Bapak “pedagogi pembebasan” Paolo Friere berkata:
“The teacher is of course an artist, but being an artist does not mean that he or she can make the profile, can shape the students. What the educator does in teaching is to make it possible for the students to become themselves.”
Di luar berbagai kekurangannya, Dear David berhasil menunjukkan bagaimana sekolah gagal memberikan pemahaman bahwa setiap siswa adalah individu yang unik dan memiliki ekspresi yang berbeda terhadap dunianya masing-masing. Secara apik juga memberikan gambaran kengerian fenomena post-truth yang berkombinasi dengan totalitarianisme pendidikan kita.
Di antara haru dan manisnya masa remaja, Dear David berhasil menjadi representasi dari keberagaman yang kerap dipaksa menjadi seragam. Dan, yang terpenting, ia menjadi rambu bahaya bagi paham kuno yang menjangkiti insitusi pendidikan kita.