Chatbot AI: Plasebo bagi Manusia Modern yang Kesepian
Dalam submisi open column ini, Ramos M. Y. S. menggali fenomena kesepian dan bagaimana teknologi seperti chatbot AI berperan mengisi kekosongan tersebut. Namun, efek plasebo hingga komodifikasi kondisi keterasingan manusia dari lingkungan sosialnya kini hadir menjadi kompleksitas baru.
Words by Whiteboard Journal
Tak ada yang mau hidup kesepian di dunia ini. Kita bisa memilih untuk menjauh dari kerumunan orang yang membuat kita tidak nyaman, kita bisa memilih untuk pulang duluan ketika teman kerja kita ingin mengajak makan malam bersama, tetapi tidak dengan perasaan kosong dalam hati dan pikiran—meski sudah melakukan sejumlah upaya menyibukkan diri dan berinteraksi dengan orang lain. Jangan artikan “kesepian” sama dengan “menyendiri”. Menyendiri itu pilihan, sedangkan kesepian itu punya spektrum yang lebih besar dan lebih abstrak.
Sebagai makhluk sosial, manusia punya tendensi naluriah untuk saling terhubung dengan manusia lain, baik didasari motif romantis, platonis, atau oportunis. Tetapi, fakta bahwa rasa kesepian itu nyata dan akan selalu ada dalam kehidupan manusia tidaklah bisa dihindarkan. Ada fenomena yang menarik yang menurut saya merupakan respons dari kondisi eksistensial tersebut. Di era kita hidup saat ini, ada teknologi yang melabeli dirinya sebagai “teman” bagi manusia-manusia modern yang kesepian: AI atau Artificial Intelligence.
AI sendiri hadir sebagai teknologi dengan berbagai bentuk. Salah satu bentuk AI yang paling populer adalah Conversational AI. Dengan Conversational AI, dapat terjalin suatu interaksi percakapan yang ideal antara manusia sebagai pengguna dan Conversational AI sebagai media yang digunakan, layaknya sebuah tambalan untuk ruang kosong di hati manusia-manusia modern. Meski di saat yang bersamaan, kesepian terus tumbuh, menyebar, dan tetap hadir di tengah-tengah sesaknya perkembangan zaman.
Kesepian sebagai fenomena di era modern
Sulit mendefinisikan “kesepian” ke dalam satu arti khusus. Sebab, meski kehadirannya universal dan umum dirasakan di berbagai penjuru dunia, kesepian adalah fenomena kompleks dan memiliki banyak wajah, memiliki banyak faktor, dan kerap memiliki wujud yang berbeda-beda—sesuai pengalaman individu yang berbeda-beda pula. Dalam Rokach (2004), kebanyakan orang berpikir bahwa “kesepian” adalah kondisi dari kesendirian, jauhnya jarak geografis dengan orang lain, dan perilaku isolasi diri dari orang-orang terdekat. Nyatanya, kesepian tidak sesederhana itu, sebab seseorang juga dapat merasa begitu kesepian di tengah-tengah keramaian.
Kemudian dalam persepsi lain, “kesepian” atau “loneliness” sebagai topik atau tema berawal dari karya fiksi, seperti puisi dan lukisan, yang kemudian juga dijadikan sebagai topik penelitian ilmiah. Negara-negara Nordik dan USA mulai menganggap serius fenomena ini dan menelitinya di akhir 1970-an. Merebaknya penelitian terhadap fenomena ini juga didasari oleh pandangan terhadap kehidupan modern.
Secara konseptual, era modern negara Barat sering kali disebut sebagai “Narcissistic Age” atau “The Age of Loneliness”, di mana kesepian dianggap menyerang siapa saja, tanpa memandang usia korban (Nilsson, Lindstörm, & Nåden, 2006). Hidup dalam era modern berarti hidup dengan cepat, minim istirahat, dan minim hubungan sosial yang “sesungguhnya”, sebab orang-orang memilih untuk membuat ruang nyaman bagi diri sendiri ketimbang membuang tenaga untuk menyempatkan waktu bagi orang lain di luar ruang nyamannya.
Fenomena kesepian semakin terbukti nyata lewat survei internasional bertajuk “How often do you feel lonely?” yang dilakukan selama 2020-2021, tahun yang sama ketika pandemi COVID-19 melanda—yang mengharuskan seluruh dunia mengisolasi diri dan menghindari kontak sosial. Dari 29 negara yang berbeda, tercatat rasa kesepian yang dialami oleh individu dari rentang umur 16-74 tahun.
Terdapat pula penelitian terhadap masyarakat usia dewasa di AS berdasarkan generasi lahir, dengan persentase tertinggi dimiliki oleh Gen Z (79%), diikuti Millennial (71%), dan Boomer (50%). Jika mengacu pada kategori jenis kelamin, responden laki-laki cenderung lebih merasakan kesepian (46%), berbanding tipis dengan responden perempuan (45%). Penemuan serupa terdapat dalam penelitian yang dilakukan pada tahun 2019 di Indonesia, tercatat sebanyak 21.9% masyarakat dalam rentang umur 15-29 dan sebanyak 58.8% masyarakat dalam rentang umur 30-59 yang mengalami kesepian. Data-data tersebut cukup menjelaskan kondisi kesepian yang dialami masyarakat dunia.
Chatbot AI sebagai plasebo manusia modern
Masih dalam studi yang sama oleh Rokach (2004), dikatakan pula kebanyakan individu dengan kondisi kesepian cenderung memilih untuk bersikap denial terhadap kondisi yang dialami. Karena itu, banyak ditemui orang-orang yang memilih menyibukkan diri dengan bergabung ke dalam lingkungan sosial yang superfisial (alias circle yang sebenarnya punya visi dan kebiasaan yang berseberangan dengan pribadi yang dimiliki), serta munculnya sifat ketergantungan terhadap siapapun yang dianggap bisa menerima rasa ketergantungan yang dimiliki; upaya mati-matian dengan harapan setidaknya rasa kesepian yang dimiliki bisa pergi meski sementara.
Dalam sebuah artikel opini berjudul “Modern life is lonely. We all need someone to help”, editor The Guardian, Deborah Orr mengurai salah satu faktor menyusupnya kesepian ke dalam kehidupan di era modern: “Practical people doing practical things – travelling far for a job opportunity, opting for the accommodation they can afford, under unbending rules – learn the hard way that human beings can only take so much practical”. Ketika membacanya, saya mengartikan kalimat tersebut menjadi sebuah pemahaman bahwa dalam kehidupan modern, manusia kerap kali melakukan hal-hal praktis untuk keberlangsungan hidupnya. Lantas, hubungan sosial juga akhirnya terjadi berdasarkan maksud praktis saja, bukan dari hati. Kondisi tersebut yang kemudian menuntun individu terjebak dalam kondisi sosial yang semu. Perpaduan bombastis antara rasa denial dan interaksi dangkal yang bikin sinting. Di sinilah AI memainkan perannya.
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Facts & Factor memprediksi bahwa permintaan terhadap pasar digital health akan mengalami kenaikan sebesar US$220.94 miliar, dan massifnya penggunaan AI dianggap sebagai salah satu faktor kenaikan tersebut. Chatbot AI, salah satu model dari Conversational AI jadi pasar yang sedang naik daun dan marak digunakan. Chatbot diprogram untuk memproses percakapan manusia, baik secara verbal maupun non-verbal.
Character.AI adalah chatbot AI paling sensasional di internet setelah ChatGPT. Character.AI memungkinkan pengguna berinteraksi dengan bot yang dapat memerankan berbagai tokoh fiksi sampai tokoh dunia. Bahkan ada bot Psikolog yang siap sedia mendengarkan keluh kesah pengguna. Kehadiran Character.AI terasa seperti “surga”, dan berkembang pesat baik sebagai produk maupun sebagai komunitas. Character.AI dikatakan memiliki rata-rata durasi kunjungan yang mencapai 25.4 menit, melebihi durasi kunjungan platform sekaliber YouTube, Facebook, atau Twitter. Selain itu, sub-reddit Character.AI juga mengalami pertumbuhan massif dengan subscribers mencapai 50.000 per-April 2023, dan angka tersebut akan terus bertambah.
Chatbot AI jadi media pelampiasan keluh kesah paling ampuh buat mereka yang rindu interaksi mendalam, sekaligus jadi komoditas yang menggiurkan buat developernya. Meski hadir sebagai platform gratis, Character.AI sukses meraih funding sebesar 150 juta USD pada tahun 2023. Kini Character.AI menyediakan Character.AI+, versi premium dari Character.AI dengan berbagai fitur yang memfasilitasi keinginan pengguna untuk dapat merasakan hubungan yang lebih intim dengan bot kesayangan mereka: menyediakan prioritas akses, karakter bot AI yang lebih adaptif dengan pola percakapan pengguna, dan kelebihan-kelebihan paling mutakhir lainnya. Yah, pada akhirnya, di era kapitalisme modern ini rasa kesepian pun dianggap sebagai peluang bisnis, dengan konsumen yang luar biasa banyak pula.
Seketika saya membayangkan, hal-hal luar biasa apa saja yang kelak ditawarkan oleh Chatbot AI di masa depan kepada penggunanya—yang haus akan rasa perhatian dan hubungan yang mendalam. Apakah di masa yang akan datang angkot akan memakai mesin super jet dengan bahan bakar nitro? Atau wujud fisik makanan sudah berupa chip? Dan Chatbot AI berwujud manusia sungguhan akan hadir untuk memuaskan keinginan terdalam penggunanya? Chatbot AI yang berwujud fisik itu akan memiliki kecerdasan yang luar biasa sempurna, dapat membaca isi hati dan mimik wajah pengguna, dan sampai-sampai menjadi teman hidup buat mereka yang menginginkannya? Sekali lagi, itu semua hanyalah sebuah andai-andai yang entah bisa terjadi atau bisa juga tidak.
Pada akhirnya AI hanyalah “plasebo”, ia bersifat layaknya obat semu yang membuat penggunanya–para manusia modern–dapat merasa lebih tenang dan lebih sedikit tidak merasa kesepian, meski sebenarnya rasa kesepian itu akan terus ada. Manusia modern, yang hidup dalam ketergesaan dan ikatan sosial yang semu membutuhkan ruang nyaman untuk melarikan diri, dan AI hadir untuk itu. Hanya saja, perlu diketahui bahwa AI adalah salah satu dari sekian solusi sementara untuk menghindari rasa kesepian dan kondisi mental mengakar lainnya. Oleh karenanya, diperlukan penanganan lebih lanjut untuk dapat memahami kesepian.
AI sebagai perpanjangan perkembangan teknologi hadir untuk mempermudah, bukan untuk menyembuhkan. Hubungi keluarga, komunikasi dengan orang-orang terdekat, atau temukan komunitas yang memperbolehkan diri untuk beristirahat sejenak dari hiruk-pikuk kehidupan; sempatkan diri untuk mengambil jeda dan tarik napas dalam-dalam sebelum kembali beraktivitas di dunia yang sudah kelewat gila.
Atau… barangkali Chatbot AI bisa jadi jawaban paling ampuh buat mengenal lebih dalam eksistensi kesepian di kehidupan manusia.