Cara Orang Tua Kami Melampaui Post Post-Power Syndrome
Pada submisi column kali ini, Edeliya Relanika menulis tentang siasat bertahan hidup orang tua melalui keberhasilan anak.
Words by Whiteboard Journal
Setiap sore, derasan tawa dan teriak, hingga perkelahian kecil kawanan bocah itu rutin terdengar dari teras rumah. Sewajarnya keceriaan yang khalis, anak-anak itu mungkin tak perlu berpikir keras—tentang menu makan malam apa saja yang bakal melezatkan ruang mulutnya. Setidaknya, kawanan bocah itu lekas berpulang ke rumah setelah dipanggil orang tuanya, sebelum senja mengundang dedemit berburu anak kecil yang badung.
Banyak dari mereka yang pulang ke rumah orang tua dari kedua orang tuanya. Apakah sudah mulai jelas poin dari kalimat pertama? Benar, ada realitas bahwa sejumlah tetangga masih hidup satu rumah dengan anak cucunya. Tentu menjadi hal biasa ketika anak-anak dewasa tetangga ini memutuskan menikah dan memiliki anak, namun masih dalam keadaan mencari pekerjaan berpenghasilan lebih stabil.
Bahkan, sebenarnya ada juga yang sudah menikah dan berpenghasilan mapan, namun masih dalam proses menyicil pembelian tempat hunian pribadi. Kurang lebih seperti itu rasanya tinggal di komunitas yang mayoritas warga generasi pertamanya telah melewati masa produktif sebagai pekerja industri berat.
Sudah menjadi kebiasaan yang lumrah ketika para orang tua generasi pertama getol memamerkan berbagai pencapaiannya di masa tua. Mulai dari membanggakan kesuksesan karir anak atau menantunya, banyaknya kejuaraan lomba dan deret piala di rak kaca ruang tamu yang diraih cucu mereka, hingga membanggakan aset likuid & non-likuid yang dibeli dengan uang pesangon pensiun.
Perilaku seperti itu lumrahnya ditunjukkan pada saat arisan dan aktivitas perkumpulan pasca belanja sayur di pagi hari oleh kelompok ibu-ibu. Untuk kelompok bapak-bapak, mereka kerap memamerkan banyak pencapaian keluarganya selepas pulang beribadah Maghrib atau Isya’ dari masjid.
Seolah-olah, tidak ada di antara kami yang ingin menunjukkan kegagalan—terhadap hasil panen buah produktivitasnya di masa lalu. Buah itu diasosiasikan dengan entitas anak-anaknya sendiri, yang akan bertumbuh lebat dan manis untuk segera dipanen.
Pengalaman kontestasi tadi bukan sebatas gejala dari mewabahnya post power syndrome semata. Jika didalami secara adil, orang-orang pensiunan tadi sebenarnya tidak masalah jika dirinya sendiri tak berhasil menciptakan rekam jejak prestatif selama masa berkarirnya. Perihal terpenting bagi mereka adalah ketika anak cucunya menjadi “sesuatu” yang pantas untuk dijemawakan. Akan muncul berjuta rasa bangga, ketika anaknya berhasil membeli rumah sekaligus kendaraan beroda empat di tahun pertama mereka baru bekerja.
Ada yang merasa bangga ketika anaknya baru menikah satu bulan dan telah dikaruniahi titipan ruh calon jabang cucu kesayangan. Kelulusan 3,5 tahun di jenjang S1 yang disusul dengan tawaran kerja di perusahaan bonafide juga tak luput dari bahan jemawaan orang tua. Tak lupa, ada yang bangga dengan pencapaian cucunya saat berhasil meraih berbagai kejuaraan dalam ajang kontes kecantikan.
Tetapi, apakah kalian merasa begitu ganjil dengan pencapaian tersebut? Mengapa semua pencapaian baik tadi terkesan ingin diadakan secepat mungkin? Ada yang mengedepankan masa baru satu tahun bekerja, baru menikah beberapa bulan, dan lulus kuliah dalam waktu di bawah empat tahun. Sehingga, mengapa standardisasi kecepatan pencapaian tersebut tidak ada yang menembus angka 5 hingga ke atas? Bukan kah setiap orang selalu memiliki waktu berhasilnya masing-masing, tanpa pengukuran yang pasti pada setiap sosoknya?
Sebagai anggota termuda dari generasi kedua di perumahan, perasaan tertekan dalam diri ini senantiasa muncul, saat harus memenuhi standar “bisa membanggakan orang tua secara materialistik” dapat diraih dalam waktu secepat mungkin. Apalagi hingga menjadi kemutlakan yang diada-adakan secara hustle dan rapid, mending hidup menjadi seperti robot saja kalau begitu.
Bayangkan saja saat mengetahui kebenaran; bahwa anak-anak dewasa tadi ternyata masih belum mampu memiliki aset berharga—yang diperoleh dari upah pekerjaan mandirinya selama ini. Sokongan dari orang tua yang tak ingin dianggap “anaknya gagal” akan menjadi jalan pintas untuk membuat instant affluency bagi anak-anak tadi. Mau tidak mau, kemapanan mendadak seorang anak pun masih tetap menjadi patokan keberhasilan bagi banyak orang tua.
Bagi orang tua yang melihat anaknya menjadi kurang berhasil atau mapan, mereka akan suka uring-uringan di hadapan orang tua lainnya. Saat anaknya belum menjadi pekerja tetap pada suatu perusahaan ternama, ada orang tua yang menjadi defensif—dan menghujat anak-anak berstatus pegawai tetap sebagai “penjilat manisnya sari buah stagnansi pemberian para pemilik kapital”.
Ada cerita lain ketika ditanya terkait kapan anaknya akan lulus kuliah setelah 7 tahun tak ada kabar. Pun, orang tua tadi dengan gengsi membanggakan bahwa anaknya telah mengikuti banyak kerja freelance yang berpenghasilan tinggi. Hingga masih ada orang tua yang rela membayarkan setiap cicilan gawai, kendaraan, hingga rumah atas nama kepemilikan anaknya. Lantas, apa salahnya ketika orang tua melahirkan anak yang kelak tetap sebagai sosok medioker saat beranjak dewasa? Medioker dalam artian anak tadi hidup tanpa memiliki kemampuan bakat alam jenius, berparas tidak standar industry kecantikan, atau dapat meraih posisi status sosial lebih tinggi dari pada orang tuanya
Post-power syndrome, dia tak terlalu berlaku di sini. Toh, mayoritas generasi orang tua di sini adalah kelas pekerja—yang jabatannya saat pensiun tak melebihi posisi manajer atau direktur perusahaan. Siasat bertahan hidup melalui keberhasilan anak-anaknya telah menjadi tren yang relevan untuk dilanggengkan. Pun tidak salah juga memilih untuk menyebarkan kebahagiaan atas suksesnya kehidupan sang anak. Namun, mereka juga tak perlu menggunakan cara yang selalu dipaksakan, bukan?