Bijak Menilai Kebijakan: Apakah Tapera Memang Kita Butuhkan?
Dalam submisi Open Column ini, Dani Kosasih mengajak kita berhati-hati dalam melangkahkan kaki ke masa depan yang dijembatani kebijakan kontroversial terbaru pemerintah RI: RUU Tapera.
Words by Whiteboard Journal
Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) adalah langkah besar dan ambisius dari pemerintah untuk menyediakan perumahan yang layak bagi seluruh rakyat Indonesia. Bagi generasi milenial dan generasi Z, program ini menawarkan harapan dan solusi untuk memiliki rumah di masa depan. Namun, seperti setiap kebijakan besar lainnya, Tapera tidak lepas dari kontroversi dan tantangan. Sebagai generasi muda yang akan menjalani masa depan, penting untuk memahami program ini secara mendalam. Memahami mekanisme, manfaat, dan tantangan Tapera akan membantu kita membuat keputusan keuangan yang lebih baik.
Saya adalah bagian dari generasi yang jumlahnya terbanyak nomor dua di Indonesia. Setidaknya demikian menurut hasil sensus penduduk Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2020. Berdasarkan catatan BPS, Gen-Z merupakan populasi paling banyak di Indonesia dengan jumlah 27,94 persen. Sedangkan kaum Milenial berada di urutan kedua dengan angka 25,87 persen. Sebagai generasi yang usianya berada di ambang batas—dibilang muda, tapi fisik selalu terasa renta—mimpi memiliki rumah pribadi selalu menjadi momok yang misterius. Beneran bisa, enggak, ya?
Mari sekilas mengenal Tapera
Senin, 25 Mei 2024, Presiden Joko Widodo menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024, yang mengatur iuran Tapera. Aturan baru ini mengharuskan karyawan untuk menyisihkan 3 persen dari pendapatan bulanan mereka untuk iuran tabungan perumahan. Mari kita jelajahi lebih dalam tentang apa itu Tapera, bagaimana cara kerjanya, dan mengapa program ini penting bagi generasi muda seperti milenial dan generasi Z.
Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) adalah dana simpanan yang disetorkan secara rutin oleh peserta. Tujuannya sederhana: menghimpun dana murah jangka panjang yang dapat digunakan untuk pembiayaan perumahan yang layak dan terjangkau bagi para peserta. Berdasarkan PP Nomor 21 Tahun 2024, dana ini hanya bisa dimanfaatkan untuk pembiayaan perumahan atau dikembalikan kepada peserta beserta hasil pemupukannya setelah kepesertaan berakhir.
Mungkin kamu bertanya-tanya, kenapa pemerintah merasa perlu membuat program seperti ini? Jawabannya terletak pada kebutuhan mendasar manusia akan tempat tinggal. Dengan harga properti yang terus melambung, banyak orang, terutama dari generasi milenial dan generasi Z, merasa sulit untuk membeli rumah. Tapera hadir untuk menjembatani kesenjangan ini, memberikan harapan dan solusi bagi generasi muda untuk memiliki rumah sendiri di masa depan, kalau tidak dikorupsi.
Peserta Tapera mencakup setiap warga negara Indonesia (WNI) dan warga negara asing yang bekerja di Indonesia setidaknya selama enam bulan dan telah membayar simpanan. Merujuk Pasal 5 ayat 2 PP Nomor 25 Tahun 2020, peserta Tapera adalah pekerja dan pekerja mandiri yang berusia minimal 20 tahun atau sudah menikah saat mendaftar.
Berikut adalah jenis-jenis pekerja yang wajib menjadi peserta; Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS), Pegawai Aparatur Sipil Negara (ASN), Prajurit Tentara Nasional Indonesia (TNI), Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, Pejabat Negara, Pekerja/buruh di badan usaha milik negara/daerah, Pekerja/buruh di badan usaha milik swasta, Pekerja yang menerima gaji dan upah.
Jika kamu termasuk salah satu dari kategori di atas, maka kamu otomatis terdaftar sebagai peserta Tapera. Bagi banyak milenial dan generasi Z yang mulai memasuki dunia kerja, ini adalah sesuatu yang perlu dipahami dan diterima sebagai bagian dari rencana keuangan masa depan.
Salah satu pertanyaan pertama yang mungkin muncul adalah, “Berapa besar potongan gaji saya untuk Tapera?”
Berdasarkan Pasal 15 PP Nomor 21 Tahun 2024, besaran simpanan Tapera ditetapkan sebesar 3 persen dari total gaji atau upah untuk peserta pekerja. Potongan ini dibagi antara pemberi kerja dan pekerja sebagai berikut: 0,5 persen dan dibayarkan pemberi kerja dan 2,5 persen dibayarkan pekerja. Untuk pekerja mandiri atau freelancer, iuran ini dibayarkan secara mandiri. Jadi, misalnya jika kamu seorang freelancer, kamu harus menyisihkan 3 persen dari penghasilanmu sendiri untuk iuran Tapera.
Iuran Tapera diklaim menawarkan sejumlah manfaat yang sangat berharga, terutama bagi mereka yang berpenghasilan rendah. Beberapa manfaat utama termasuk: Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) yang membantu peserta membeli rumah dengan suku bunga tetap yang lebih rendah dari suku bunga pasar, Kredit Bangun Rumah (KBR) yang membantu peserta yang ingin membangun rumah mereka sendiri, dan Kredit Renovasi Rumah (KRR) yang membantu peserta yang ingin merenovasi rumah mereka. Tenor panjang hingga 30 tahun dan suku bunga tetap yang lebih rendah dari suku bunga pasar membuat program ini sangat menarik. Sementara itu, bagi peserta yang tidak memanfaatkan pembiayaan perumahan, dana tersebut akan disimpan sebagai simpanan yang bisa diambil setelah kepesertaan berakhir.
Berdasarkan Pasal 20 PP Nomor 25 Tahun 2020, pemberi kerja dan pekerja mandiri wajib menyetorkan simpanan Tapera setiap bulan, paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya. Namun, untuk karyawan swasta atau formal, ada masa transisi hingga tujuh tahun sejak Badan Pengelola (BP) Tapera beroperasi. Artinya, bagi karyawan swasta, kewajiban membayar iuran Tapera baru akan dimulai pada tahun 2027.
Dana Tapera dapat dicairkan ketika masa kepesertaan berakhir. Kepesertaan Tapera berakhir dalam kondisi berikut: Telah pensiun bagi pekerja, telah mencapai usia 58 tahun bagi pekerja mandiri, peserta meninggal dunia, peserta tidak memenuhi lagi kriteria sebagai peserta selama lima tahun berturut-turut.
Benarkah TAPERA menjadi penyelamat Generasi Muda?
Netizen memiliki beragam pendapat tentang Tapera. Salah satu komentar di media sosial menyuarakan ketidaksetujuan atas kebijakan ini. “Kok bisa ya, di luar pajak, negara bikin kebijakan untuk ngurusi gajinya orang buat dipakai apa. Tanpa nanya yang punya gaji lebih dulu,” tulis @okkymadasari di media sosialnya. Stand up comedian @solehsolihun juga memberikan pandangan kritisnya, “Kalo gaji 10 juta per bulan, dipotong Tapera 3% = 300 ribu/bulan. 1 tahun = 3,6 juta. 100 tahun menabung akhirnya bisa deh dapet rumah yang harganya 360 juta. Ngitungnya gitu gak sih?”
Membaca artikel di Tirto.id bertajuk “Menelaah Aturan Tabungan Tapera & Potensi Korupsi di Dalamnya” yang terbit pada 28 Mei 2024, cukup memberikan asupan perspektif yang berbeda di kepala saya.
Di artikel itu, Zaenur Rohman, peneliti dari Pusat Kajian Antikorupsi (PUKAT) Fakultas Hukum UGM, menyoroti potensi korupsi yang mengintai dana Tapera. Dia menyebutkan bahwa dana yang dikumpulkan dari peserta tidak akan disimpan diam, melainkan diinvestasikan dalam instrumen yang diklaim aman oleh BP Tapera. Sejarah telah menunjukkan bahwa investasi seperti ini rentan terhadap penyalahgunaan. Kasus Asabri adalah contoh nyata di mana dana investasi disalahgunakan, merugikan banyak pihak. Manipulasi harga saham dan kesepakatan curang menunjukkan betapa mudahnya dana publik bisa diselewengkan.
Peneliti dari Transparency International Indonesia (TII), Alvin Nicola, turut menyampaikan kekhawatirannya. Menurut Alvin, PP 25/2020 dan PP 21/2024 sejak awal kurang didesain dengan transparansi dan akuntabilitas yang cukup. Kurangnya pengawasan terhadap Komite Tapera dan BP Tapera membuat dana ini berpotensi disalahgunakan. Kewenangan besar yang tidak disertai dengan pengawasan ketat hanya meningkatkan risiko korupsi dan penyalahgunaan dana.
Selain itu, aturan ini juga tidak menekankan pentingnya manajemen risiko dalam pemanfaatan dana kepesertaan. Pasal 27 ayat (3) huruf e hanya menyebutkan bahwa investasi akan dilakukan dengan prinsip kehati-hatian, namun tidak memberikan kejelasan mengenai tata kelolanya. Alvin menilai, kurangnya perhatian terhadap manajemen risiko investasi sangat berbahaya, karena keputusan investasi bisa saja lebih menguntungkan pihak yang memiliki konflik kepentingan atau hubungan politik, daripada untuk kepentingan peserta Tapera.
“Pada akhirnya, sulit bagi publik untuk membayangkan bahwa tata kelola Tapera yang minim akuntabilitas ini tidak akan menghasilkan praktik korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, dan kecurangan dalam jangka panjang,” ujar Alvin dalam artikel tersebut.
Mari Lebih Kritis dan Waspada
Bagi anak muda dengan gaji rendah atau pekerjaan tidak tetap, Tapera mungkin tidak membantu sebanyak yang dijanjikan. Mereka mungkin masih kesulitan memenuhi syarat untuk mendapatkan manfaat dari program ini. Selain itu, ketidakpastian masa depan pekerjaan membuat berinvestasi dalam perumahan melalui Tapera tampak seperti risiko besar. Banyak anak muda mungkin lebih memilih menyimpan uang mereka dalam bentuk yang lebih likuid dan mudah diakses.
Meskipun Tapera bertujuan untuk menyediakan perumahan yang terjangkau, masih ada kekhawatiran bahwa di daerah perkotaan seperti Jakarta dan Tangerang Selatan, menemukan perumahan yang layak dengan harga terjangkau akan tetap sulit. Tambahan lagi, mengambil kredit melalui program Tapera bisa meningkatkan jumlah hutang bagi kaum muda, menjadi beban finansial yang signifikan.
Hingga saya menulis esai ini, yang masih tersirat di balik janji-janji Tapera adalah bayangan risiko korupsi, ketidaktransparanan, dan ketidakpastian masa depan. Masih menjadi pertanyaan besar apakah program ini benar-benar solusi bagi masalah perumahan atau hanya sekedar skema lain yang rentan disalahgunakan. Bagi generasi muda, sangat penting untuk melihat semua aspek ini dengan kritis dan mempertimbangkan risiko sebelum berkomitmen pada program yang tampak menggiurkan di permukaan, namun menyimpan potensi masalah di baliknya.