Biaya Mahal Jadi Ibu Baru yang Ideal
Pada submisi Column kali ini, Lela Latifa menulis tentang pandangannya mengenai tren persalinan alami, kesehatan mental para ibu serta konstruksi ibu yang ideal.
Words by Whiteboard Journal
“Mencapai konstruksi ibu ideal yang baru di era keemasan segala hal yang berbau alami dan konsekuensinya pada kesehatan mental.”
Setidaknya bagi saya—dan saya yakin akan diamini oleh banyak perempuan lain— transisi menjadi seorang ibu bukanlah hal yang mudah. Hal tersebut jadi kian rumit lantaran ada banyak belenggu konstruksi sosial yang harus “dipatuhi” perempuan agar dinilai sebagai ibu yang baik atau ideal.
Yang sudah-sudah, diskursus mengenai ibu ideal dipenuhi dengan jotos-jotosan antara isu memberi ASI langsung atau susu formula maupun melahirkan pervaginam yang kerap disebut melahirkan normal dengan melahirkan caesar yang secara tidak langsung diposisikan sebagai abnormal. Perdebatan lain tentang ibu ideal yang tak kalah panas adalah ibu penuh waktu di rumah versus ibu bekerja yang sebetulnya hulunya jelas-jelas adalah patriarkisme.
Konstruksi ibu ideal tersebut hingga kini tidak pernah hilang. Bahkan, kini eksistensinya bertambah dengan satu wacana baru, yakni tentang “kealamian”. Kini, metode-metode yang dipromosikan sebagai alami saat hamil, melahirkan, dan mengasuh anak ikut menentukan apakah seorang ibu dianggap ideal atau tidak.
Tentu saja, untuk memenuhi konstruksi tersebut butuh ongkos yang tak murah. Artinya, keistimewaan ekonomi ikut menasbihkan pengelompokkan ibu: yang lebih baik dan tidak lebih baik.
Popularitas Gentle Birth
Konstruksi ibu ideal yang baru ini tak lepas dari sebuah filosofi persalinan alami yang sedang naik daun beberapa tahun belakangan, yakni gentle birth. Mengambil nafas natural childbirth yang diperkenalkan oleh seorang dokter kandungan Inggris, Grantly Dick-Read melalui bukunya yang berjudul sama, Natural Childbirth pada tahun 1933 dan Childbirth Without Fear yang terbit sembilan tahun setelahnya, gentle birth meyakini bahwa setiap perempuan memiliki potensi untuk melahirkan secara alami selembut dan senyaman mungkin.
Gentle birth memberikan kendali penuh kepada setiap ibu untuk membaca tubuhnya sendiri. Di dalam gentle birth, ibu bisa memilih posisi persalinan yang nyaman—tidak hanya telentang di kasur, melainkan bisa dengan jongok atau berdiri. Cara ini sebetulnya sudah sejak dulu dipraktikkan oleh nenek moyang kita.
Tidak sedikit calon ibu perkotaan yang berambisi memiliki pengalaman persalinan yang dikampanyekan sebagai minim trauma ini. Itulah yang membuat mereka berbondong-bondong mengikuti berbagai kelas persiapan persalinan yang difasilitasi oleh instruktur prenatal yoga, doula/pendamping persalinan, maupun bidan yang terkenal sebagai pro-gentle birth di mana—di Jakarta—harga per pertemuannya umumnya tidak di bawah Rp. 100.000,-. Bahkan, ada paket kelas yang berharga jutaan rupiah.
Mereka membeli berbagai peralatan yang beberapa tahun sebelumnya tak dikenal dalam kehamilan dan persalinan seperti birthing ball untuk berlatih gerakan yang mampu mengoptimalkan proses persalinan. Yang punya cukup dana, mereka akan menggaji seorang atau bahkan tim doula untuk mendampingi persalinannya serta membeli kolam karet untuk berendam saat proses persalinan bila mereka memutuskan untuk melahirkan di air.
Ada juga yang sampai pergi ke Ubud, Bali demi mendapat bantuan langsung dari Robin Lim, Bidan tersohor dalam jagad persalinan alami asal Amerika yang mendirikan Yayasan Bumi Sehat. Berangkat dengan tujuan tersebut, para ibu yang tidak berdomisili di Gianyar maupun Pulau Bali ini sampai menyewa tempat tinggal di dekat Bumi Sehat—ada yang berupa rumah, kamar kos, ada juga yang berupa villa.
Mari kita buat perkiraan ongkos mereka selama tinggal di Pulau Dewata tersebut. Mereka tak tinggal di sana dalam hitungan hari! Sebab, ada perhitungan usia kandungan yang aman untuk melakukan perjalanan jauh. Maskapai penerbangan domestik di Indonesia sendiri melarang ibu dengan usia kehamilan di atas 35-36 minggu untuk melakukan perjalanan dengan pesawat. Artinya, bila mengacu pada The American College of Obstetrician and Gynecologists bahwa perkiraan kehamilan berlangsung hingga 40 minggu, artinya, ibu tersebut sudah perlu mencari tempat tinggal dengan jarak tak terlalu jauh dari Bumi Sehat sekitar 4-5 minggu sebelum Hari Perkiraan Lahir (HPL).
Setelah melahirkan pun, bayi harus menunggu cukup umur untuk menempuh perjalanan kembali ke domisili orang tuanya. Federal Aviation Association merekomendasikan usia minimal satu minggu bagi seorang bayi baru lahir untuk terbang. Akan tetapim banyak dokter yang menyarankan agar bayi perlu menunggu hingga usia 4 sampai 6 minggu untuk dibawa terbang. Ringkasnya, mereka perlu setidaknya lima sampai sebelas minggu atau hampir tiga bulan untuk menyewa tempat tinggal di bilangan Ubud, Gianyar. Hitung-hitungan tersebut tentu memperlihatkan keistimewaan ekonomi yang dimiliki oleh orang-orang yang melakoninya.
Tak hanya itu, kita juga bisa menerawang privilege lain milik keluarga tersebut, yakni ada suami yang turut tinggal di sana dari awal atau menyusul sesaat menjelang HPL. Mereka yang tinggal di sana sejak awal artinya memiliki fleksibilitas pekerjaan yang bisa dikontrol dari jarak jauh. Tak semua orang punya keistimewaan bekerja dengan sistem seperti itu karena memang belum banyak lini perusahaan yang menerapkannya. Tak hanya itu, privilege tersebut juga belum berlaku di semua level pekerjaan di Indonesia.
Tekanan Sharenting: Dari Inspirasi ke Fantasi akan Kesempurnaan
Bagaimana bisa sih, gentle birth menjadi semakin banyak dikenal belakangan? Dalam amatan saya, ini tak lepas dari peran media sosial, terutama Instagram. Cerita persalinan alami di dalam air yang dilakoni beberapa publik figur seperti Andien Aisyah, Widi Mulia, dan Ayudia Bing Slamet bermunculan, mendapat banyak like, dan dibagikan ulang. Cerita perjuangan serupa kemudian banyak muncul dari ibu-ibu kelas menengah perkotaan lainnya. Kisah motherhood dan parenthood menjadi konsumsi yang sudah tak lagi personal.
Di satu sisi, konten-konten tersebut menjadi sebuah inspirasi. Di sisi yang lain ia menjadi sebuah tekanan baru bagi para ibu. Konten-konten tersebut menjelma fantasi tentang menjadi ibu yang “baik”. Bahwa, untuk menjadi ibu yang baik, maka seorang perempuan harus memenuhi standar yang salah satunya berupa memiliki pengalaman persalinan alami.
Amy Tuteur, dokter obstetri-ginekologi yang juga banyak menulis tentang berbagai aspek perdebatan dalam natural childbirth, dalam bukunya Push Back: Gulit in the Age of Natural Parenting mengatakan bahwa ada sebuah skenario yang mengidealisasi gagasan persalinan alami sebagai sesuatu yang tidak hanya dinilai ramah, melainkan lebih dari itu, ia dipandang sebagai sebuah kesempurnaan.
Skenario itulah menurutnya yang menyebarkan fantasi bahwa cara yang dipandang “alami” seperti yang dilakoni para leluhur kita dulu dianggap lebih aman, lebih sehat, dan lebih membahagiakan. Amy juga menyebut bahwa ada banyak mispersepsi tentang anggapan bahwa tubuh perempuan ditakdirkan secara alami untuk melahirkan—bahkan tanpa bantuan medis—dengan mengesampingkan fakta tingginya angka kematian bayi dan ibu sebelum pengetahuan medis dan teknologi kesehatan terutama di bidang persalinan berkembang.
Fantasi ini menurut Amy kemudian menjadi tekanan yang menghadirkan perasaan bersalah bagi para ibu ketika tidak bisa mendapatkan pengalaman persalinan yang dianggap ideal tersebut. Ia juga menceritakan pasiennya yang kecewa hingga berhari-hari karena mendapatkan suntikan epidural. Melahirkan bayi yang sehat dan menggemaskan bahkan tak cukup bagi pemenuhan fantasi tersebut. Proses dianggap menjadi lebih penting dan bernilai bila dibandingkan dengan kehadiran si bayi itu sendiri. Kealamian itu seolah menjadi sangat sakral dan tidak boleh disangkal dengan intervensi medis. Maka, celakalah bagi perempuan yang melahirkan dengan caesar bila fantasi seperti ini terus menghantui.
Fantasi yang Di”Industri”kan: Mengingkari Ide Komunisme
Ceri-cerita tentang persalinan alami yang dibagikan di media sosial oleh beberapa ibu perkotaan ditangkap menjadi sebuah insdustri persalinan gaya baru. Tak pernah kita bayangkan di tahun-tahun sebelumnya bahwa profesi doula—bagian dari industri perinatal—menjadi populer di perkotaan. Banyaknya instruktur yoga—atau bahkan orang yang baru nyemplung—yang kemudian mengambil sertifikasi prenatal yoga juga menjadi bukti bahwa industri persalinan alami ini menjanjikan. Mereka membentuk jaringan yang tumbuh kian subur, terutama di perkotaan.
Gayung bersambut, narasi tentang kealamian ini kemudian dan dimainkan apik dan sangat smooth oleh marketing berbagai industri lain yang mengklaim diri berbau alami—mendukung persalinan serta pengasuhan alami tentunya. Misalnya saja produk makanan dan minuman sehat yang lagi-lagi diklaim “alami” untuk ibu hamil dan pascamelahirkan. Berbagai merk minyak esensial yang diklaim mampu menenangkan ibu atau meningkatkan nafsu menyusu bayi pun bermunculan, mulai dari yang berharga puluhan ribu sampai ratusan ribu—akan menjadi jutaan rupiah bila Anda membeli paket lengkap dengan perangkat difussernya.
Menghitung ongkos tak murah dari standar konstruksi ibu ideal ini, kiranya kita bisa melihat bahwa ia baru bisa diperoleh sejauh seorang perempuan dan atau keluarganya memiliki keistimewaan ekonomi tertentu. Padahal, jika menengok ke belakang, kondisi hari ini agak jauh berbeda dengan awal mula saat Lamaze diperkenalkan sebagai sebuah teknik pernapasan yang menjadi kunci dari persalinan alami—sampai sekarang—termasuk di gentle birth.
Adalah seorang Fernand Lamaze, ahli kebidanan di rumah sakit Prancis yang dikelola oleh Partai Komunis Prancis pada masa perang dingin yang memperkenalkan teknik pernapasan Lamaze untuk mengurangi rasa sakit dalam persalinan. Hingga saat ini, banyak doula maupun childbirth educator yang mengambil sertfikasi di Lamaze International untuk memulai karir profesional di bidang perinatal. Insipirasi teknik tersebut berasal dari teori pengondisian klasik dari ilmuwan Uni Soviet yang sangat populer, Ivan Pavlov.
Paula A. Michaels, dosen sejarah senior Monash University dalam The American Historical Review Vol. 115 yang terbit 2010 menyebutkan bahwa teknik Lamaze ini kemudian dipromosikan sebagai temuan sains dari ilmuwan komunis yang mampu menghilangkan rasa sakit persalinan secara gratis sehingga bisa diakses oleh perempuan dari semua kelas. Tentu saja, ini menjadi sebuah reputasi politis untuk menandingi burjois barat dengan industri farmasi mahalnya.
Stressor untuk Kesehatan Mental Ibu
Yang terjadi hari ini, tak ada lagi yang gratis dari laku persalinan alami. Ia juga tidak bisa lagi sekonyong-konyong menjadi milik semua kelas. Sebab, ada kebutuhan simbolik atas konstruksi ibu ideal yang baru—ibu yang “alami”—yang ikut dibiayai di sini. Tentu saja, nilai simbolik—dilekati dengan berbagai identitas—sering kali lebih mahal daripada nilai fungsional itu sendiri.
Konstruksi ini menghasilkan sebuah tekanan yang tentu saja tak ramah bagi kesehatan mental para ibu. Banyak yang merasa bersalah, merasa tak sempurna, dan merasa buruk saat tidak bisa mencapai konstruksi yang dianggap ideal tersebut. Mereka berisiko terjebak pada membandingkan diri sendiri dengan ibu lain. Beberapa merasa gagal menjadi ibu yang baik.
Selain itu, idealisasi atas citra ibu ideal yang baru ini memicu konflik horizontal antara satu perempuan dengan perempuan lainnya. Ya, mompetition! Cibiran seperti, “Ih, dia kok gak begini, ya”, “Ih, dia gak pakai produk alami ini, tapi malah milih minum resep dokter”, “oh dia pakai epidural”, “oh dia melahirkan caesar ternyata” yang tentu tak pernah baik bagi kesehatan mental ibu juga.