Bersatu di Monas Mengecam Penjajahan di Palestina, Kenapa Tidak?
Dalam submisi Open Column ini, Tri Subarkah mengesampingkan ego serta ideologinya untuk berbaur dengan sekitar dua juta orang massa aksi bela Palestina di Monas pada Minggu (5/11) lalu—sebuah pengalaman yang memberikannya secercah hikmah.
Words by Whiteboard Journal
Solidaritas dibangun karena persamaan nasib. Dan nasib adalah kesunyian masing-masing.* Maka validlah alasan mereka yang membela Palestina karena sentimen agama. Valid pulalah mereka yang mendukung Palestina atas dasar kemanusiaan. Juga valid membela Palestina karena faktor politik dan ideologi. Semua raison d’etre membela Palestina adalah valid, sebab pada akhirnya bermuara pada satu hal: Kemerdekaan Palestina atas penjajah Israel; atas sikap negara-negara Barat—khususnya Amerika Serikat—yang tutup mata terhadap praktik apartheid serta genosida di Jalur Gaza.
Saya merasa perlu menulis paragraf di atas setelah menyaksikan diskursus yang berkembang di Tanah Air mengenai kekejaman Israel di Gaza sebagai bentuk aksi balasan atas serangan Hamas, tepat satu bulan lalu. (Saya tak akan mengutuk serangan Hamas in the first place untuk menghindari kerangka berpikir whataboutism). Sejak Israel menggempur Gaza, sudah lebih dari 10.000 orang meninggal dunia, sebagian besar adalah perempuan dan anak-anak. Mereka adalah warga biasa. Orang sipil. Bukan sekadar angka dalam statistika.
Membela Palestina adalah hal sederhana bagi saya sebagai orang Indonesia, sebagai bangsa yang pernah dijajah. Empati saya terhadap penderitaan rakyat Palestina, khususnya mereka yang tinggal di Gaza, dalam sebulan ini mengalir begitu saja. Saya cenderung aktif membagikan berita-berita (sebagian besar dari Al Jazeera) dan pendapat pribadi soal isu ini melalui akun X maupun Instagram. Puncak aktivisme saya dalam membela Palestina—sejauh ini—barangkali adalah mengikuti Aksi Akbar Aliansi Rakyat Indonesia Bela Palestina di Monumen Nasional (Monas), Jakarta, pada Minggu (5/11) lalu.
Meski diorganisir oleh institusi agama (Majelis Ulama Indonesia dan Muhammadiyah mendapat spotlight yang cukup besar), kegiatan tersebut turut melibatkan organisasi lintas agama dan komunitas lainnya. Saya berani bilang, adalah keliru jika ada yang menyamakan Aksi Akbar Alinasi Rakyat Indonesia Bela Palestina dengan Aksi 212 yang digelar 2 Desember 2016 lalu—juga digelar di lokasi yang sama, tapi dengan motivasi yang jelas-jelas berbeda.
Memang aksi pada Minggu lalu memunculkan beberapa anomali. Salah satunya kehadiran Ketua DPR RI Puan Maharani, politisi PDI Perjuangan (koalisi petahana) dan Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid, politisi Partai Keadilan Sejahtera (oposisi), dalam satu panggung yang sama, untuk menyuarakan solidaritas yang sama, untuk Palestina. Kemunculan dua sosok tersebut menandakan bahwa aksi tersebut didukung secara bipartisan, bukan monopoli kelompok Islam konservatif semata.
Kalau pun pada kenyataannya massa aksi didominasi kelompok Islam konservatif, apa salahnya? Sebagaimana dalil saya di awal, membela Palestina atas dasar sentimen agama adalah hal valid. Orang-orang yang mengenal saya pasti tahu kalau saya tidak religius sama sekali. Maka, boleh jadi kehadiran saya pada Minggu kemarin di Monas adalah anomali yang lain. Saya datang ke sana dengan kaos dan celana pendek. Beberapa kali saya juga mendapati peserta aksi perempuan tak berjilbab.
Saya hanya ingin menjadi bagian dari sebuah pernyataan besar bahwa Indonesia bersama Palestina. Oleh karena itu, saya mencoba “menanggalkan” ego ideologi pribadi secara sadar dan berbaur dengan massa aksi pada Minggu lalu yang diklaim mencapai 2 juta orang. Atas nama Palestina, saya membuang jauh-jauh sentimen negatif selama ini terhadap kelompok Islam konservatif. Barangkali merekalah yang lebih andal mengorganisir acara ketimbang kelompok kiri/progresif di Indonesia.
Kenyataan bahwa membela Palestina di Indonesia akan selalu didominasi sentimen agama bagi saya sendiri adalah sesuatu yang tak dapat dielakkan. Jadi, bangunlah dari tidur jika masih memimpikan gerakan membela Palestina di Indonesia seperti halnya di Washington DC, London, atau Sydney karena dinilai lebih “keren”, lebih “kiri”, atau lebih “progresif”. Mula-mula, mereka yang “keren”, yang “kiri”, atau yang “progresif” harus mau cuci muka, bergabung, dan banyak belajar dari berbagai golongan lain.
*) Nasib adalah kesunyian masing-masing merupakan bait dalam puisi berjudul Pemberian Tahu yang ditulis Chairil Anwar (1922–1949).