“Faqih Banci”. Kata itu tertulis di belakang tembok kamar mandi Sekolah Dasar (SD) tempatku belajar. Ditulis dengan menggunakan kapur, tulisan sebesar, kurang lebih, 50 sentimeter itu dapat dibaca oleh semua orang yang sedang melintas di jalan belakang sekolahku. Mengetahui hal itu, kakekku bertanya kepadaku, “Kamu diapakan sama teman-temanmu?”. Aku tidak mampu menjawabnya dengan kata-kata, melainkan hanya bisa menangis. Tindak perundungan yang dilakukan kepadaku itu mengafirmasi bahwa aku adalah seorang banci di mata teman-temanku. Salah seorang teman bahkan mengatakan, “Kalau sudah besar, paling kamu hanya akan menjadi pegawai salon.”
Tinggal di sebuah pedesaan yang sebagian besar masyarakatnya bekerja di sektor pertanian memang menuntutku tumbuh menjadi seorang anak laki-laki yang maskulin. Sayangnya, aku tidak mampu memenuhi ekspektasi itu. Sejak kecil, performa tubuhku cenderung feminin—orang-orang menyebutnya ngondek. Berbeda dengan teman laki-lakiku lainnya, kebanyakan dari mereka memiliki fisik yang kuat dan prima, sehingga mereka mampu membantu keluarganya menggarap sawah dan merawat ternak. Sedangkan aku sama sekali tidak berbakat dalam hal-hal semacam itu. Aku sudah mencoba berkali-kali untuk mengangkat pacul dan mengais sabit, tetapi, tetap saja aku merasa kesulitan. Orang-orang lalu melabeliku ‘bukan laki-laki’ karena tampil lemah gemulai, alih-alih gagah, tegap, dan kuat sebagaimana anak laki-laki lainnya.
Ketika duduk di bangku Sekolah Dasar (SD), aku juga sama sekali tidak bisa bermain sepak bola. Aku lebih senang bermain dengan teman-teman perempuanku ketimbang bersama teman laki-laki—aku pun tidak mengerti mengapa aku lebih nyaman demikian. Namun, untuk memenuhi standar yang diciptakan lingkunganku, pernah sesekali aku mencoba bermain sepak bola. Ketika berada di tengah lapangan, aku justru kikuk dan merasa tidak nyaman dengan permainan itu.
Peristiwa-peristiwa itu membuat harga diriku benar-benar hancur. Aku menjadi anak yang sangat pemalu, tidak berani keluar rumah, dan tidak mencintai diriku yang memiliki performa tubuh berbeda dari bayangan masyarakat heteronormatif. Selepas sekolah, aku mengurung diri di rumah: menghabiskan waktu untuk belajar, membaca buku, dan menonton televisi. Hal itu aku lakukan hampir setiap hari. Setiap kali keluar rumah, aku selalu mengenakan headset dan memutar lagu di walkman, sebab aku tidak ingin mendengar orang-orang memanggilku banci. Rasa percaya diriku benar-benar terkubur selama bertahun-tahun. Selama itu pula, aku merasa menjadi seorang anak yang tidak memiliki harga diri (low self-esteem). Aku pun terus menjalani hidup dengan kepala menunduk.
Pertemuanku dengan studi gender dan seksualitas, terutama queer studies, ketika belajar di perguruan tinggi kemudian menjadi titik sejarah paling penting dalam hidupku. Perjumpaanku dengan bidang itu membuatku mampu mengurai satu persatu pertanyaan tentang diriku yang selama belasan tahun ini mengendap. Sedikit demi sedikit, aku menemukan jawaban atas segala misteri di masa laluku. Aku kemudian mahfum bahwa apa yang pernah terjadi kepadaku bukanlah kesalahanku, juga bukan kesalahan orang-orang yang pernah merundungku. Ini semua adalah kesalahan sebuah kultur dan struktur yang telah terbentuk sedemikian hegemonik.
Di alam pikir masyarakat kita, bercokol kuat logika heteronormatif yang menganggap hubungan romantis-seksual antara laki-laki dengan perempuan sebagai satu-satunya yang absah. Sebaliknya, hubungan serupa di luar konteks heteroseksual dianggap sebagai sesuatu yang tidak normal. Bukan hanya menyangkut hubungan seksual, konstruksi heteronormatif juga membangun pemahaman yang bias, diskriminatif, dan stigmatif menyoal identitas dan ekspresi gender seseorang. Misalnya, konstruksi sosial tentang laki-laki yang harus selalu tampil maskulin, sementara perempuan dituntut untuk selalu tampil feminin. Ketika ada perempuan yang tidak tampil secara feminin, maka akan dilabeli ‘tidak normal’. Begitu pun apabila laki-laki tidak tampil maskulin, maka identitas gendernya bahkan orientasi seksualnya juga akan dipertanyakan—sebagaimana yang pernah terjadi kepadaku. Padahal aspek-aspek itu tidaklah selalu berkaitan.
Sebagai laki-laki yang performa tubuhnya tidak maskulin, aku sering dianggap sebagai lelaki gay. Padahal, aku memilki ketertarikan seksual pada perempuan yang juga mengidentifikasi dirinya heteroseksual. Perbedaan antara identitas seks, identitas gender, orientasi seksual, dan ekspresi gender atau performa kebertubuhan rupanya menjadi sesuatu yang tidak terbaca di dalam logika heteronormatif. Padahal, membedakan aspek-aspek itu penting agar kita tidak terjebak pada kesesatan dalam mendefinisikan identitas gender, orientasi seksual, dan ekspresi gender seseorang.
Memperkuat hal itu, di dalam bukunya yang berjudul Gender Trouble, Judith Butler pernah mengatakan bahwa tidak ada identitas gender di balik ekspresi gender. Menurutnya, gender hanyalah sebuah pertunjukan tubuh (performativitas) yang sama sekali tidak merepresentasikan identitas gender seseorang yang sesungguhnya. Sebagai sebuah pertunjukan, gender dipertontonkan terus-menerus sehingga ia tampak seperti aslinya: maskulin atau feminin. Tetapi, sekali lagi, pertunjukan ekspresi gender itu tidak mewakili identitas gender, apalagi identitas seksual seseorang yang sebenarnya.
Lebih jauh lagi, masyarakat kita juga hidup dalam kungkungan budaya patriarki yang meletakkan ekspresi gender maskulin atau maskulinitas (biasanya melekat pada laki-laki) pada posisi yang lebih superior dibandingkan feminitas (biasanya dilekatkan pada perempuan). Dengan kata lain, ekspresi gender yang feminin atau feminitas dianggap serba inferior. Ketika aku, seorang laki-laki heteroseksual, tampil dengan ekspresi tubuh yang cenderung feminin, tindak perundungan dan berbagai aksi peminggiran yang dilekatkan kepadaku terbilang lebih intens dibandingkan pada teman-teman perempuanku yang tampil secara maskulin. Seolah-olah, menjadi perempuan maskulin dipandang tidak sebermasalah ketika menjadi laki-laki feminin—sebenarnya, keduanya memang tidak menjadi masalah. Di lingkungan sekitarku, mungkin juga di lingkungan sebagian besar dari Anda, aku sering mendengar celetukan-celetukan yang bernada merendahkan (derogatory) terhadap ekspresi gender feminin. Semisal, “Baperan ah lo, kayak cewek”, “ogah ah pakai barang cewek”, “cowok kok bajunya kayak cewek”, dan sejenisnya. Hal-hal itu sekakan menunjukkan bahwa ada sesuatu yang ‘salah’ dengan menjadi feminin, terutama apabila yang mengekspresikan feminitas itu adalah seorang laki-laki.
Meskipun menyadari bahwa hal itu hanyalah sebuah ilusi yang dikonstruksikan secara teratur dalam waktu lama, rupanya, tidak mudah bagiku untuk dapat benar-benar ‘lepas’ dari belenggu heteronormativitas. Aku belum merasa aman dan nyaman untuk tampil sepenuhnya sebagai seorang lelaki feminin. Ketika berkumpul dengan kawan laki-lakiku yang cenderung maskulin, aku ikut merokok, mengucap kalimat-kalimat kasar, hingga minum-minuman keras. Dari dalam hatiku, aku tidak benar-benar ingin melakukannya. Hal itu aku lakukan semata-mata untuk menunjukan maskulinitasku agar dapat diterima sebagai bagian dari mereka. Sebaliknya, ketika aku berkumpul dengan kawan-kawanku yang adalah sesama lelaki feminin, aku membicarakan hal-hal yang jauh berbeda: soal perawatan kulit (skin care), resep masakan, fashion, juga soal kesataraan gender dan hak-hak kelompok LGBT.
Bagiku, tindakan tersebut adalah praktik politik pribadiku untuk bernegosiasi dengan heteronormativitas. Hal itu sekaligus menunjukkan ketidakstabilan gender dan ekspresi kebertubuhanku tubuhku: aku bisa menjadi feminin, tetapi terkadang juga bisa menjadi maskulin. Hal itu juga kembali mengingatkan mengenai makna tubuhku yang rupanya bukan lagi menjadi milikku secara individu, melainkan juga telah menjadi tubuh sosial yang ‘dimiliki’ oleh masyarakat. Tubuhku bukan hanya segumpal daging yang diberi nyawa, melainkan padanya juga dilekatkan sederet stigma, stereotipe, dan label-label yang mendisiplinkanku mengenai ‘mana yang normal dan mana yang tidak normal’. Tubuhku seperti perpustakaan yang menyimpan beragam kompartemen memori. Di dalam memori itu, tersimpan berbagai macam konstruksi yang apabila aku akses kembali sewaktu-waktu dapat menimbulkan perasaan rendah diri.
Kita adalah apa yang kita yakini, meskipun ekspresi gender yang kita punya tidak selalu fit dengan standar-standar heteronormatif. Keberagaman dan ketidakstabilan gender semacam itu perlu untuk kita rayakan bersama-sama.