Berhati-hatilah terhadap Konsepsi Kebahagiaan yang Keliru
Dalam submisi open column ini, Robhi Januar mendekonstruksi arti kebahagiaan yang kerap diamini manusia modern dan memberi usul berdasarkan sudut pandang psikologis untuk menjauhkannya dari kata “semu”.
Words by Whiteboard Journal
Kebahagiaan sering kali diimajinasikan sebagai suatu hasil dari posisi atau pencapaian dalam hidup. Demikian, kebahagiaan bisa menjadi sebagai sesuatu yang dapat diperoleh di masa depan. Kebahagian dikonsepsikan sebagai suatu implikasi pada diri ketika hal yang diharapkan sudah terpenuhi.
Misalnya, seseorang percaya bahwa berhasil menaiki jabatan pekerjaan yang lebih tinggi akan membuat hidupnya bahagia. Kenaikan jabatan bagi orang tersebut adalah hal yang menghasilkan sebuah implikasi pada dirinya, yakni kebahagiaan. Kebahagiaan menjadi sebuah rasa yang didapatkan dari keberhasilannya dalam mencapai hal yang diinginkannya.
Bahagia sebagai Rasa
Bisa dikatakan bahwa kebahagiaan tidak terletak secara objektif pada sebuah objek di luar diri manusia, akan tetapi diri kitalah yang memberi makna pada objek itu sebagai sebuah perwujudan kebahagian. Dengan kata lain, kebahagiaan merupakan rasa yang dihasilkan dari kesuksesan kita dalam mengidealkan keadaan atau kondisi hidup yang mempunyai kekurangan.
Rasa itu merupakan suatu perasaan senang, puas, gembira, yang kerap orang yakini untuk timbul terus secara konstan dalam dirinya. Artinya, kebahagiaan dianggap sebagai suatu kondisi di mana perasaan positif muncul secara terus menerus, tanpa intervensi dari perasaan negatif.
Dalam kasus di atas, kenaikan jabatan menjadi solusi dari hidupnya yang tidak bahagia. Ia percaya status kariernya yang melesat akan membuat kehidupannya menjadi sebuah happy ending layaknya film-film kartun Disney, yang semula dipenuhi lara dan berakhir bahagia sentosa.
Jika dilihat dari persepsi ini, kebahagiaan diperlakukan sebagai bentuk pemulihan diri dan hidup. Dengan mencapai kebahagiaan, gejala kehidupan yang buruk diyakini akan sirna. Sehingga, perasaan positif menjadi satu-satunya yang bersemayam dalam diri.
Ada yang mempercayai kalau kehidupan suatu saat akan berubah. Kehidupan yang padat akan kegagalan dan diri yang sarat akan perasaan negatif hanya bersifat sementara. Seakan-akan, kebahagiaan adalah hasil dari proses dialektika kehidupan itu sendiri, tanpa peran aktif dari diri kita.
Tak hanya itu saja, banyak orang yang secara gamang menafsirkan rasa positif yang terikat pada satu kondisi materiil sebagai bentuk kebahagiaan. Akibatnya, banyak yang mencari kebahagiaan lewat jalur cepat, yakni dari peraihan materi.
Kenikmatan Materi dan Kebahagiaan yang Semu
Seperti sekarang ini, masyarakat sudah banyak yang sepakat kalau uang memang bisa membeli kebahagiaan. Keluarga miskin, misalnya, mempunyai masalah dalam memenuhi kebutuhan ekonomi, seperti cicilan motor bulanan , biaya pendidikan anak, sampai terbatasnya uang untuk membeli sembako. Hal ini membuat pengalaman hidup orang miskin cenderung memiliki potensi perasaan negatif yang lebih besar, dibanding yang tidak mempunyai masalah ekonomi.
Kemudian, uang sebagai alat “ajaib” yang mampu menyelesaikan segala permasalahan ekonomi orang miskin itu, akan membebaskannya dari lilitan ekonomi. Beban pikirannya pun akan hilang, hidupnya menjadi lebih diisi kepuasan. Dari sinilah kita menyimpulkan: bahwa dengan uang kita dapat membeli kebahagiaan. Akan tetapi, simpulan logika itu tidak selaras dengan kenyataan yang ada.
Seperti apa yang diungkapkan Daniel Kahnemann, seorang ahli psikologi kognitif, dalam bukunya yang berjudul Thinking, Fast and Slow (2011). Ia menjelaskan, berdasarkan survei nasional berskala besar bahwa, “miskin itu membuat menderita, dan kaya bisa meningkatkan kepuasan hidup, tapi (rata-rata) tidak menambah kesejahteraan yang dialami.”
Memang, dengan uang yang melimpah kita bisa membeli banyak kenikmatan, seperti berlibur, membeli barang mewah, dan meningkatkan kualitas hidup. Akan tetapi, fakta mengejutkannya dalam survei ini, orang yang mengalami peningkatan pendapatan, yang diindikasikan sudah mencapai kesejahteraan ekonomi, malah kenaikan rata-rata kesejahteraan emosionalnya persis nol. Atau, bisa dibilang kesejahteraan ekonomi tidak berjalan secara selaras dengan kesejahteraan emosional.
Menurut Kahnemann, ada alasan yang bisa dipercayai kenapa bisa terjadi seperti itu: pendapatan yang tinggi terikat dengan pengurangan kemampuan untuk menikmati kenikmatan kecil dalam hidup. Ketika mempunyai akses terhadap beragam kenikmatan lewat uang, misalnya, standar kita dalam merasakan kenikmatan pengalaman hidup akan menjadi lebih tinggi, dibanding ketika kita tidak mempunyai cukup uang.
Kahnemann memberikan bukti atas gagasannya itu, mahasiswa yang dipersiapkan dengan ide ‘kekayaan’, mengalami pengurangan kenikmatan yang ditunjukkan dari wajah mereka selagi makan cokelat. Contohnya, dompet kita yang berisikan uang Rp100 ribu, jika ditambahkan uang Rp10 ribu ke dalamnya, kita cenderung merasa mendapat untung yang kurang besar. Tetapi, saat kita mendapatkan uang Rp100 ribu dan memasukkannya ke dalam dompet yang berisikan Rp10 ribu, kita cenderung akan merasakan untung besar.
Imajinasi mahasiswa terhadap ‘kekayaan’ mengundang sugesti rasa yang lebih nikmat, yang membuat nikmat cokelat yang sedang dimakannya menjadi bentuk kenikmatan yang sepele. Uang Rp100 ribu di dompet kita, mengubah uang Rp10 ribu menjadi nilai yang remeh. Kita akan menghargai uang Rp10 ribu itu, ketika kita hanya mempunyai uang yang relatif lebih sedikit.
Itulah mengapa menggantungkan kebahagiaan pada pencapaian materil, hanya mendatangkan kebahagiaan semu, kebahagiaan yang muncul secara sesaat, dan tidak meningkatkan kesejahteraan emosional secara jangka panjang. Walaupun terdengar klise, wejangan kolot yang mengatakan kita harus selalu bersyukur, mempunyai kebenaran yang nyata.
Menjadikan rasa positif yang terikat dalam wujud materiil sebagai indikator kebahagiaan adalah sebuah kekeliruan, karena perasaan positif itu hanya bersifat kepuasan sementara. Mencari kebahagiaan lewat kenikmatan materi adalah proses pencarian yang sia-sia, seperti anjing yang berusaha mengejar ekornya sendiri.
Negativitas
Berpikir bahwa produk materi, akan mengakhiri pengaruh rasa negatif dalam hidup adalah sebuah pola pikir yang sesat. Alih-alih menjadi individu yang bahagia, orang malah akan ketergantungan untuk mendapatkan suatu capaian materiil yang baru. Seperti menjadikan alkohol sebagai pelarian masalah demi mendapatkan rasa bahagia yang semu dan mendistraksi orang dari sumber permasalahannya.
Tidak ada salahnya, misalkan, jika kita mempunyai keinginan untuk mendapatkan kenaikan gaji. Yang salah adalah ketika kita mempersepsikan kenaikan gaji sebagai indikator kehidupan yang bahagia, berpikir bahwa gaji yang tinggi akan menaikkan kesejahteraan emosional kita dalam jangka panjang. Gaji yang tinggi itu pada nyatanya hanya berperan sebagai peningkatan kesejahteraan ekonomi.
Seperti seseorang berpikir bahwa suatu saat akan memperoleh kebahagiaannya di masa depan, dan ketika itu juga kehidupannya hanya diwarnai oleh perasaan positif. Hal itu tak akan terjadi. Orang tidak bisa mengakhiri emosi negatifnya selagi ia masih menjalani kehidupan. Pengukuran dalam ilmu psikologi saja mengindikasikan orang yang bahagia adalah orang yang mempunyai akumulasi perasaan positif yang lebih besar dibanding perasaan negatif, bukan orang yang tidak mempunyai perasaan negatif semasa hidupnya. Karena, pada hakikatnya emosi negatif adalah bagian dari diri manusia.
Emosi negatif bukan serta-merta kondisi patologis manusia, seperti yang sering dipersepsikan oleh aliran psikologi positif–yang terlalu menyudutkan emosi negatif. Dalam kaca mata yang lebih besar, unsur emosi negatif mempunyai peran sebagai pembangun karakter, layaknya tokoh utama anime yang narasi hidupnya sering dibuat tragis.
Emosi negatif, yang merupakan efek dari peristiwa buruk hidup, akan membuat orang terseret ke dalam wilayah eksistensial yang ada pada dirinya. Di sinilah kita mengidentifikasi permasalahan diri dengan kehidupan secara esensial. Hal ini penting karena kebahagiaan didapatkan dari cara kita memberi esensi kepada kehidupan yang sedang kita jalani. Sebuah gerak kehidupan yang termaknai.
Makna sendiri datang dari hasrat dalam diri yang paling dalam, yang paling suci, tidak terkontaminasi dengan hasrat yang berpartisipasi dalam kompetisi duniawi.
Layaknya hamster yang berlari-lari di atas roda putar, berusaha melarikan diri dari perasaan negatif pada akhrinya hanya membuat lelah dan tidak akan mencapai kesudahan. Menerima bahwa hidup memang selalu menciptakan babak yang menyedihkan adalah validasi yang baik terhadap emosi negatif, yang akan mengantarkan pada kehidupan yang lebih tentram.
Kebahagiaan dan Pengalaman Hidup
Orang menganggap kebahagiaan akan menghilangkan perasaan negatif karena mengira perasaan negatif merupakan suatu anomali dalam kehidupan–sesuatu yang seharusnya tidak ada. Tak heran, perasaan negatif terkadang terasa lebih kuat dibanding perasaan positif. Ketika muncul satu peristiwa buruk, berlipat-lipat peristiwa baik pun akan terlupakan. Itulah kesalahan yang tak sadar sering kita lakukan.
Kahnemann menjelaskan hal tersebut dalam bukunya. Ia memberikan dua konsep tentang cara diri kita berelasi dengan pengalaman: diri mengingat dan diri mengalami. Diri mengingat bertanggung jawab melakukan penulusuran pada memori peristiwa kehidupan yang sudah kita lalui. Diri mengalami adalah diri kita yang berperan merasakan peristiwa yang sedang berlangsung.
Diri mengingat, tak jarang memberi evaluasi yang keliru terhadap kebahagiaan diri kita akan kehidupan saat ini. Dalam satu minggu terakhir, misalnya, kamu mempunyai hari-hari yang baik, pergi liburan dengan teman, merayakan hari jadi satu tahun dengan pacar, dan melakukan hobi yang kamu sukai. Tapi, baru saja kemarin kamu mendapat makian dari bos karena dinilai tidak becus dalam melakukan pekerjaan. Ketika ada yang menanyaimu bagaimana kehidupanmu belakangan ini, diri mengingatmu akan cenderung membuat kesimpulan bahwa kondisi hidupmu saat ini tidak bahagia. Kahnemann menyebutkan bahwa hal ini termasuk fenomena bias kognitif yang sering kita lakukan, yang dinamakannya efek puncak-akhir.
Ingatan mempunyai kelemahan dalam membuat rata-rata baik atau buruknya peristiwa masa lalu. Diri mengingat akan cenderung membuat penilaian dari rasa yang paling diingatnya, yakni satu peristiwa dengan rasa kenikmatan atau rasa sakit yang tinggi (puncak), dan bagaimana kondisi perasaan di akhir cerita.
Itulah mengapa dalam kasus di atas, orang itu akan menyimpulkan bahwa kehidupannya belakangan ini tidak bahagia. Karena hari sebelumnya diakhiri oleh peristiwa yang tidak menyenangkan. Seperti kita sedang menikmati film dengan cerita yang memuaskan dan berakhir dengan konklusi yang cacat. Kesan pengalaman kita menonton film itu menjadi terasa buruk, padahal yang buruk adalah kita dalam mengingatnya.
Oleh karena itu, menilai apakah selama ini kita mempunyai kehidupan yang bahagia, harus dilakukan dengan penilaian yang lebih rasional. Karena diri mengingat sering melakukan penilaian retrospeksi yang salah. Jangan membuat banyaknya pengalaman baik menjadi hancur karena satu peristiwa negatif. Merangkum peristiwa kehidupan yang sudah terlalui dengan lebih hati-hati akan mendekatkan kita pada kebahagiaan yang lebih paripurna.