Berharap Negara Peduli Kesehatan Mental Warganya, Emang Bisa?
Dalam submisi Open Column ini, Adinan Rizfauzi menyoroti problem kesehatan mental akibat paparan intensif terhadap percakapan politik yang karut-marut di media sosial belakangan ini.
Words by Whiteboard Journal
Karin (bukan nama asli), teman satu fakultas saya, sering digelayuti rasa cemas. Belakangan kecemasannya merembet ke perasaan tak berdaya ketika ia menyaksikan percakapan di media sosial mengenai isu-isu politik. Sejak berlangsungnya pemilihan presiden pada Februari lalu, Karin sudah banyak menyaksikan perdebatan politik di media sosial. Setelah pemilihan usai, ternyata percakapan mengenai isu politik terus terjadi, bahkan tambah memanas.
Walaupun Karin tak melibatkan diri dalam percakapan secara aktif, tapi ia terus-terusan terpapar perdebatan politik yang ada di media sosial. Situasi itulah yang membuatnya cemas dan tak berdaya. Perdebatan politik di media sosial yang tak kunjung mereda menyiratkan adanya persoalan yang tak sepele.
Memang, pada masa-masa pemilu lalu, seorang anak presiden inkumben berhasil maju sebagai wakil presiden setelah melewati proses yang penuh kontroversi di Mahkamah Konstitusi. Setelah pemilu usai dan para calon terpilih belum sempat dilantik, DPR membahas lima rancangan undang-undang (RUU) yang tak kalah ramai diperbincangkan publik: RUU Penyiaran, RUU MK, RUU Polri, RUU TNI, dan RUU Kementerian negara. Itu belum termasuk kebijakan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) yang ujug-ujug sudah disahkan.
Sebagai mahasiswa akhir, Karin merasa khawatir jika rentetan kebijakan yang kata orang “bermasalah” tersebut akan banyak berdampak buruk padanya. Kebijakan Tapera, misalnya, sudah jelas akan memangkas gajinya tiga persen jika kelak ia mendapat gaji minimum. Itu pun kalau ia benar-benar bisa mendapatkan gaji minimum. Sebab, Karin juga paham betul kalau saat ini pekerjaan di sektor formal makin susah didapat.
Pernyataan-pernyataan yang dilontarkan oleh pejabat publik dalam merespons isu yang dibicarakan khalayak, baru-baru ini, menurut Karin juga banyak yang tak masuk akal. Soal mahalnya pendidikan tinggi, misalnya, salah seorang pejabat di Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kemendikbudristek justru merespons isu dengan mengatakan pendidikan tinggi adalah kebutuhan tersier. Sejujurnya, Karin geram soal itu. Tetapi ia merasa tak bisa berbuat apa-apa. Karin sudah sangat lelah.
Ketakutan. Keputusasaan. Kemarahan. Benci. Kelelahan. Semua emosi yang muncul akibat perkembangan politik itu sebenarnya tak hanya dirasakan oleh Karin. Sebuah studi yang mengaitkan isu politik dan kesehatan mental yang digelar di Amerika Serikat membuat para profesional kesehatan mental di sana mesti putar otak.
Studi tersebut mengatakan sebanyak 40 persen orang Amerika menganggap isu politik sebagai biang keladi munculnya stres. Tidak hanya itu, 5 persen di antaranya bahkan mempertimbangkan bunuh diri gara-gara perkembangan politik di negaranya. Studi tersebut juga menunjukkan bahwa kaum muda berpeluang lebih tinggi terjangkit kecemasan karena isu politik.
Melihat situasi tersebut, Shelley Carson, seorang dosen Departemen Psikologi di Harvard University, menyarankan agar orang-orang berhenti menekan refresh di media sosial. Gara-gara media sosial, menurutnya, dampak kesehatan mental akibat politik menjadi berlipat ganda. Setiap pernyataan di media sosial, entah dari seorang pakar politik atau orang yang asal celoteh, yang tak terbatas jumlahnya, membuat kita merasa lelah.
Selain membatasi penggunaan media sosial, Constellation Behavioral Health menyarankan orang-orang yang sudah merasa dirinya terganggu isu-isu politik untuk membatasi konsumsi berita di media massa. Setidaknya, kita mesti benar-benar memilah satu atau dua media massa yang informasinya dapat kita percayai.
Saya tentu sepakat dengan kedua saran di atas. Mulai melepaskan diri dari keberadaan media sosial, apalagi jika kita bisa mengalihkannya ke kegiatan lain, seperti membaca novel atau sebatas mengobrol dengan orang terdekat nyatanya membuat pikiran jauh lebih baik. Mengenai membatasi konsumsi berita di media massa, itu memang segaris dengan kondisi media online kini yang memang banyak yang tak layak untuk benar-benar dibaca.
Sebab, saat ini, media online kerap menerapkan clickbait dengan memakai judul yang sengaja mengobrak-abrik emosi pembaca, informasi yang hanya diperoleh dari sumber sekunder beserta verifikasi yang tak menjanjikan, membuat kebanyakan media massa sebagai sumber masalah alih-alih sebagai agen clearing information.
Akan tetapi, apa yang bisa diharapkan dari negara yang demokrasinya sedang berjalan mundur ini. Belum juga warganya benar-benar membatasi penggunaan media sosial dan konsumsi berita di media massa untuk dirinya sendiri, kini negara seakan ingin melakukannya semata-mata untuk mengamankan kekuasaan dan polahnya sendiri.
Masih ingat dengan pernyataan Menteri Koordinator Informasi dan Informatika Budi Arie Setiadi yang berniat memblokir media sosial X hanya karena platform tersebut melegalkan konten pornografi? Alih-alih menyelesaikan persoalan, memblokir salah satu media sosial dengan pengguna terbanyak itu justru lebih tampak sebagai upaya membatasi akses informasi warga negara secara ugal-ugalan—tentu bukan hanya untuk orang seperti Karin.
Begitupun dengan keberadaan RUU Penyiaran yang memuat larangan penayangan secara eksklusif produk jurnalisme investigasi. Jika nekat disahkan oleh DPR, tak mungkin kehidupan publik akan lebih baik atau setidaknya media massa kita menjadi lebih berkualitas. Yang ada malah upaya menyingkap kejahatan—yang siapa tau dilakukan oleh negara sendiri—semakin tertutup. Siapa yang diuntungkan? Lagi-lagi, tentu bukan orang seperti Karin.
Sudahlah. Kalau memang tak berniat membuat orang-orang seperti Karin, terbebas dari masalah kesehatan mental, setidaknya negara harus mulai berperilaku waras. Itu bisa dilakukan dengan menghentikan pembahasan RUU yang minim partisipasi publik, tak memelintir hukum untuk perutnya sendiri, atau minimal mengimbau para pejabatnya mencurahkan empatinya sebelum membuat pernyataan yang sering membuat orang geleng-geleng kepala.