Belajar Politik Identitas dari Penamaan Warung Kekinian
Pada submisi column kali ini, Imaduddin Abdurrahman mengupas praktik di balik komersialisasi identitias pada penamaan produk di warung kekinian.
Words by Whiteboard Journal
Beberapa waktu terakhir kita sering dapati himbauan tentang bahaya dan ancaman praktik kampanye politik identitas, yang berpotensi memecah-belah kelompok dalam masyarakat serta rawan dimanfaatkan oleh sebagian pihak untuk mendulang suara dari satu kelompok tertentu pada ajang pemilihan umum. Tidak hanya di Indonesia, hal ini ditengarai juga terjadi di Amerika Serikat dan beberapa negara lain di seluruh dunia seiring dengan eskalasi ketegangan politik global.
Tidak main-main, di berbagai tempat kita saksikan konsekuensi ekstrim dari sentimen tersebut, krisis kemanusiaan Rohingya, kamp konsentrasi Uighur hingga kemunculan white supremacy merupakan sebagian diantaranya. Dan di dalam negeri yang terdiri dari beragam etnis, suku dan agama berulang kali kita temukan gesekan dan konflik yang memanas akibat perbedaan identitas tersebut. Masih segar di ingatan timeline sosial media kita, sentimen rasisme Papua dan tudingan soal kadal gurun (kadrun).
Tapi mungkin kita tidak seharusnya sepanik itu menghadapi isu tersebut. Kenyataannya ada dimensi lain dari praktik politik identitas yang sudah familiar kita jumpai sehari-hari, yang jauh dari potensi kekerasan dan beroperasi pada medium yang lebih halus. Sedemikian halusnya hingga membuatnya mudah luput dari perhatian. Dan bila sekiranya sudah terlanjur panik atas dinamika politik identitas yang semakin liar, fenomena sekitar ini sekiranya dapat kita jadikan acuan untuk sedikit belajar tentang hal tersebut. Kemunculan kedai kopi “jomblo”, mie ayam “mantan” hingga ayam geprek “pelakor”, seharusnya kita sadari sebagai praktik politisasi identitas yang tidak selamanya negatif. Meski tentunya eksploitatif, sebagai sifat dasar dari politik itu sendiri.
Cukup berjalan di kawasan kedai kuliner yang dipadati anak muda, atau scrolling di laman Go-Food, akan mudah kita jumpai berbagai nama usaha kuliner yang unik. Dan hampir bisa dipastikan, setidaknya akan kita temukan satu yang meminjam kata jomblo pada penamaannya. Manifestasi dari agregat demografi pria dan wanita kita yang masih belum seimbang, yang dirayakan dengan suka cita oleh para wirausahawan yang melihat peluang psikologis untuk dieksploitasi.
Politisasi atau lebih tepatnya komersialisasi identitas ini jelas terbukti membantu unit usaha tersebut untuk dapat diterima di antara masyarakat. Di tengah ketatnya persaingan bisnis, diferensiasi usaha dan produk menjadi strategi bisnis penting yang menentukan kesuksesan. Dan hal itu jelas tidak mudah dilakukan. Tidak mudah untuk membedakan usaha kita dengan kompetitor kita, utamanya bila barang dagangan yang kita perjual belikan nyatanya serupa. Sehingga penggunaan identitas unik sebagai nama usaha dan gimmick jelas sangat membantu unit usaha ini dalam membedakan dirinya dengan kompetitor.
Meskipun pada praktiknya penamaan kreatif untuk menciptakan diferensiasi tidak melulu berkutat dengan mengobral identitas, ada kalanya permainan kata juga dilibatkan dengan pertimbangan kemudahan penyebutan maupun kejelian permainan kata untuk menghasilkan efek tertentu. Seperti penamaan senonoh usaha kopi (contoh: Ko&thol) influencer transgender yang belakangan terjerat kasus narkotika.
Namun patut dicurigai bahwa penamaan berdasarkan identitas memiliki daya tarik sendiri. Ada potensi psikologis yang sangat berkaitan dengan komersialisasi identitas. Utamanya bila melihat bahwa aktivitas konsumsi itu sendiri perlahan mewujud menjadi upaya pencarian identitas. Kita menemukan diri kita dari barang-barang yang kita pilih untuk kita konsumsi. Menjadi maskulin dengan mengendarai motor Harley Davidson, menjadi berkelas dengan menggunakan tas Louis Vuitton dan menegaskan kejombloan dengan meminum Kopi Jomblo?
Namun apakah implikasi lebih luas dari praktik identifikasi nama usaha dengan karakter maupun kondisi sosial psikologis yang dominan di masyarakat? Apakah ini secara tidak sadar merupakan suatu bentuk advokasi atau emansipasi terhadap satu kalangan tertentu dalam anggota masyarakat? Emansipasi kaum jomblo yang tertindas secara sosial, romantisme masa lalu kelompok masyarakat yang susah move on, hingga pembenaran bagi kaum yang merebut suami orang.
Atau justru suatu kelanjutan tragis dari praktik perundungan publik terhadap kelompok masyarakat tersebut yang telah berlangsung sebelumnya. Memparodikan identitas tersebut sebagai sekadar diferensiasi gimmick belaka. Representasi semu kaum tertindas yang terpaksa dilakukan demi mendulang cuan. Mengundang orang dengan identitas yang di permukaan tampak direpresentasikan, maupun lainnya yang datang karena melihat identitas yang diperjualbelikan sebagai sekadar lelucon yang ringan untuk dikonsumsi.