Bapak Pergi Beli Jantung, Pulang-Pulang Bawa Mesin Waktu
Di submisi open column pertamanya, Sal Priadi menuliskan kegelisahannya akan perkembangan teknologi dalam cerita pendek yang imajinatif.
Words by Whiteboard Journal
“Bapak pergi dulu, beli jantung di pusat kota, nanti Bapak oleh-olehi mesin waktu” ucap Bapak sambil mengelus kepala Adik. Hal yang mungkin terdengar gila sekarang, sama seperti ketika misalnya 20 tahun lalu, kita anggap sakit jiwa seorang pria berkaos hijau payah di alun-alun kota sedang memegang papan bertuliskan “sebut yang kau mau, besok hadir di depan pintu”. Pada 2020 dia tidak lebih dari sekedar sales aplikasi belanja sayur online.
Salah satu hal terbesar yang membuat kejadian-kejadian asing di atas menjadi lumrah adalah komputerisasi. Sistem yang ditemukan manusia dalam mengolah informasi sebagai penyelesaian masalah.
Seperti Herman Hollerith yang pada tahun 1890 berhasil menciptakan sistem punch card, kertas berlubang yang menggerakkan mesin penghitung sensus di tahun 1880, mengganti cara penghitungan manual yang memakan waktu, tenaga dan biaya lebih tinggi. Sistem ini berhasil menyelamatkan kerugian jutaan dolar pemerintah Amerika pada saat itu. Keberhasilan sistem penghitung seperti ini terbaca oleh para pebisnis Amerika, dikembangkanlah sedemikian rupa, diadaptasi untuk penggunaan harian, dan hari ini salah satu produknya mudah kita kenali dengan nama kalkulator. Kini manusia punya solusi terhadap persoalan hitung menghitung. Kemudian di Tahun 1936 seorang peneliti matematika, Alan Mathison Turing mengembangkan mesin pengolah data, dengan gagasan bahwa sebagian besar permasalahan matematika dapat diselesaikan dengan algoritma. Di dalam perjalanannya menciptakan perangkat ini, dia juga disibukkan dengan memetakan komputeriasasi, mencari rumusan konsep besar yang jelas tentang ini, hingga akhirnya dia menemukan sesuatu, bahwa harusnya hal ini tidak hanya dapat menyelesaikan soal-soal aritmatik. Tidak melulu soal angka, namun juga huruf dan nilai-nilai logika lainnya. Disitulah lahirnya gagasan tentang “Kecerdasan Buatan”, mesin yang mampu berpikir layaknya manusia.
Tahun 1997 sebuah kecerdasaan buatan bernama “Deep Blue” dirancang untuk mengalahkan juara dunia catur, Gary Kasparov. dan terbukti berhasil. Tidak berhenti di tingkat kesulitan itu, peradaban teknologi bergerak mencari tingkatan yang lebih rumit, sebuah permainan Go dari Jepang yang disebut sebagai permainan dengan kemungkinan langkah yang lebih banyak dibanding catur, sekali lagi manusia berhasil ditaklukan oleh Alphago, kecerdasan buatan Google. Yang miris di tengah kita, cerita seperti pak Kasim seorang penjaga tol, terbukti kalah bersaing dengan mesin kas elektronik dan dipecat dari pekerjaannya juga nyata terasa.
Percobaan-percobaan menjadi manusia ini semakin kencang lajunya hari demi hari. Perkembangan teknologi punya kepesatan yang jauh dibanding perkembangan manusia itu sendiri. Tahun 1999 Ray Kurzweil merumuskan dalam bukunya “The Age of Spiritual Machine” sebuah teori bernama ”The Theory of Accelerating Returns” menjelaskan perkembangan teknologi tidak linear, namun bergerak exponential. Ilustrasi sederhananya adalah, jika manusia dan teknologi hanya diberi 10 giliran melangkah, maka manusia akan berjalan secara linear, yaitu dari langkah 1, 2, 3 dan seterusnya, namun teknologi berjalan exponential, langkah 1, bisa 5, lalu 11 dan seterusnya. Dan di titik ke 10 kita akan sadar bahwa langkah teknologi mampu di titik ribuan sementara kita masih saja puluhan. Komputer yang dulu sebesar aula sekolah dan butuh puluhan orang mengoperasikannya, kini mapan dalam genggaman tangan satu orang saja. Namun kita belum bisa menghilang. Benda terbang yang dulu hanya ada di bandara, kini punya rupa lain sebagai kamera. Namun kita belum juga punya kekuatan melayang. Tidak hanya sebagai bentuk, perubahan ini juga ada pada budaya, kapan terakhir kali kita turun dari mobil, menemui orang sekitar untuk bertanya arah tujuan, bertukar informasi secara lisan, sekarang mudah diselesaikan permasalahan itu lewat aplikasi dalam telepon pintar. Kekacauan dan keberhasilan upaya kita mengurai permasalahan itu secara sadar ataupun tidak, cenderung membuat kita lemah sebagai manusia. Kita pernah ada di titik kekuatan manusia berjalan ratusan kilometer mencari tempat tinggal, berburu mammoth dan menebas bukit, punya kepekaan batin membaca cuaca lewat arah angin, semua punah tergantikan mesin, kini bergerak semakin sedikit. Akankah kita pudar karena perangkat?
Hal ini membawa kita kedalam kemungkinan The Technological Singularity, istilah yang dibawa oleh Vernon Vinge, seorang professor matematika yang juga terkenal sebagai penulis science fiction.
“Within thirty years, we will have the technological means to create superhuman intelligence. Shortly after, the human era will be ended” .
Yang kemudian juga diamini oleh Ray Kurzweil sebagai sesuatu yang mungkin namun dalam rentan waktu yang terlalu optimistik. Dalam bukunya “The Singularity is Near” Kurzweil memberikan paparannya lebih mendetail tentang bagaimana ini akan terjadi. Yaitu peleburan diri dengan teknologi. Menjadi satu di langkah yang sama. Menjadi Super Intelligence Human, Sistem teknologi informasi dan biologi yang menyatu menjadikan kita sebagai manusia yang baru. Ada lonjakan intelegensi drastis seperti dari tingkatan domba ke manusia. Kemampuan kita meyakini dunia dari informasi terbuka yang kita tangkap sendiri juga akan menggeser konsep-konsep lama berkehidupan, kejadian yang mungkin pernah susah ditangkap logika akan mudah diartikan, dan makin banyak kemungkinan yang akan hadir dalam hidup. Salah satu yang terbesar adalah mengakali umur dan kematian.
“We must never forget that we are cosmic revolutionaries, not stooges conscripted to advance a natural order that kills everybody” – Alan Harrington
Tok tok tok. Bapak pulang. Senyumnya sumringah, jantungnya baru. Sesuai janjinya, dia membawa oleh-oleh mesin waktu, sudah lama kami tidak menikmatinya. Nanti malam kami akan terbang ke masa lalu. Dan sebelum kami sekeluarga terbang ke masa indah itu, pasti Bapak mengawalinya dengan berteriak “Nikmati tiap detiknya, kita pernah cerdas dan kuat tanpa dibuat buat”
Jakarta, 27 Juli 2020