Bagaimana Ria Menjadi Petaka bagi Penonton di Festival Musik
Dalam submisi column ini, Argia Adhidhanendra (Noisewhore/The Store Front) menyuarakan keresahannya tentang promotor oportunis yang kerap memanfaatkan animo publik terhadap kemeriahan konser musik tanpa memberikan jaminan atas berbagai kerugian yang dialami, bobroknya ekosistem showbiz, hingga pentingnya mengetahui kredibilitas penyelenggara.
Words by Whiteboard Journal
Setelah hampir 18 bulan tanpa gelaran musik, 2022 menjadi tahun balas dendam bagi promotor, musisi dan penikmat musik untuk kembali merasakan gelaran konser. Mulai dari konser kecil hingga festival megah dengan modal yang bukan main besarnya diselenggarakan di tengah kondisi ekonomi yang tidak begitu sehat, di mana pemutusan hubungan kerja marak terjadi hingga ramainya perbincangan soal isu resesi global. Seharusnya, uang untuk kebutuhan tersier macam konser tidak semudah itu untuk didapat. Namun kenyataannya, para penggemar musik, terutama penggemar mudanya (18-25 tahun) berbondong-bondong membeli tiket konser tanpa pikir panjang.
Tentunya, dengan perbedaan skala yang ada, perhatian akan lebih tertuju pada promotor yang mengadakan acara besar, seperti festival yang bisa mengakomodir ribuan orang sekaligus, dengan minimalnya dua lusin penampil.
Sayangnya, dahaga akan konser ini tidak diimbangi dengan eksekusi yang matang dari para promotor. Hasilnya adalah rentetan konser gagal, problematik dan merugikan bagi penonton dan musisi. Dua contoh terbaru adalah Berdendang Bergoyang dan GUD Fest.
Berdendang Bergoyang sejatinya adalah festival musik yang seharusnya bergulir selama tiga hari, dari 28 hingga 30 Oktober. Sayangnya, mereka berupaya mengecoh izin yang kabarnya diajukan hanya untuk 3 ribu orang menjadi penjualan lebih dari 20 ribu tiket. Aksi akal-akalan ini (tentu saja) menghasilkan pengalaman yang buruk bagi penonton: mulai dari sulitnya berjalan dari satu panggung ke panggung lain, hingga dihentikannya satu panggung secara utuh di hari kedua setelah terbukti tidak kondusif di hari pertama. Bahkan, di hari ketiga, festival ini gagal untuk dimulai. Sulit untuk mempercayai blunder se-fundamental ini dari promotor seperti Emvrio yang sukses menggelar Berdendang Bergoyang edisi pertama beberapa tahun lalu.
GUD Fest, di sisi lain, adalah festival yang baru pertama kali muncul di hadapan publik, dibuat oleh GUD Live, event organizer yang belum cukup dikenal dalam menggelar konser musik. Riset 30 menit menunjukan bahwa orang-orang yang bertanggung jawab dalam GUD Fest juga belum memberikan kejelasan tentang pengembalian dana konser Boys Like Girls yang seharusnya digelar 20 September 2021.
Seperti yang sudah-sudah, amarah warga tertuju pada halaman sosial media festival-festival ini, mulai dari sumpah serapah hingga memanggil YLKI via mention. Sejauh saya memerhatikan polemik konser problematik sejak 2017, tidak pernah ada kasus dimana YLKI benar-benar turun tangan. Entah karena tidak ada aduan selain banyaknya mention dari warga, atau memang tidak ada yang bisa dilakukan oleh YLKI–mengingat ketentuan dalam membeli tiket juga sebenarnya sangat amat berpihak pada promotor.
Perpindahan waktu dan perubahan penampil memiliki konsekuensi yang besar. Perpindahan waktu, apalagi perpindahan tanggal, bisa berbuah pada kerugian konsumen. Tidak jarang para penikmat musik mengajukan cuti untuk menonton konser, apalagi untuk festival yang memakan satu hari penuh. Pergantian penampil merupakan langkah yang lebih fatal. Tentunya, para penonton tidak membeli tiket demi para promotor, mereka membeli tiket untuk menonton musisi favorit mereka. Ketidakhadiran sesuatu yang telah dijanjikan dan tidak adanya opsi ganti rugi yang ditawarkan merupakan suatu ketentuan yang berpihak sepenuhnya pada promotor.
Tentunya, hal paling mengenaskan yang dapat menimpa para pengunjung konser adalah pembatalan. Ticketing partner yang menjadi corong pembelian bagi konsumen seolah-olah tidak mau ikut campur setelah mendapatkan komisi 15%-20% yang akan mereka tarik dari para pembeli.
Mulai dari Loket hingga Tiket.com selalu melempar tanggung jawab pengembalian dana ke promotor. Sebagai contoh, pengembalian dana GUD Fest dijanjikan dalam waktu 30-60 hari dari promotor, namun Tiket.com sebenarnya memiliki ketentuan proses pengembalian dana yang hanya memakan waktu 14 hari. Tidak jarang proses pengembalian dana dari promotor ini hanya sekadar janji manis. Lokatara Festival yang bermasalah dan membuka opsi refund dari tahun 2019 hingga keluarnya artikel ini masih belum melunasi kewajibannya kepada penonton yang dirugikan 3 tahun lalu.
Secara praktis, konsumen tidak diberikan proteksi apapun ketika membeli tiket untuk sebuah konser. Mereka hanya bisa berharap semua berjalan dengan lancar, karena ketika ada kendala, para penontonlah yang akan merasakan getahnya.
Maraknya konser yang bermasalah tentu berakar pada promotor yang tidak becus. Hari ini, siapapun dengan modal yang kuat bisa membuat konser, bahkan festival. Contohnya adalah Fosfen Festival yang gagal di edisi pertamanya belum lama ini, merugikan penonton dan penjual F&B yang sudah membayar tiket dan slot berjualan. Gagalnya konser ini merupakan hasil dari manajemen keuangan yang buruk dari sisi promotor, berujung pada ketidakmampuan membayar kewajibannya, dari upah musisi hingga keperluan sound system.
Lebih parahnya lagi, jangan kaget jika para promotor yang gagal ini tahun depan akan kembali dengan nama berbeda dan membuat konser-konser lagi, tanpa mempedulikan pembeli yang dirugikan tahun ini.
Sekalipun pembeli ingat, jika suatu promotor bermasalah tiba-tiba datang dengan band favorit kita—menimbang jarangnya musisi internasional datang ke negara ini—apakah kita akan benar-benar melewatkan konser tersebut?
Mungkin sebagian orang masih ingat Sonic Live Asia, promotor yang gagal mendatangkan CHVRCHES, berhasil mendatangkan Paramore setelah berubah jadwal cukup lama dan mendatangkan POND setelah hampir ganti venue di hari H. Tentu bisa dikatakan sebagai promotor problematik bukan?
Hari ini, dari 5 orang yang terlibat dalam Sonic Live Asia, 3 orang masih bekerja dalam industri. Satu bekerja di Premiere Live Pro, dan dua orang bekerja di CK Entertainment. Co-Founder dan Chief of Programming-nya sekarang menjabat sebagai COO Premiere Live Pro yang rutin menjalankan acara.
Para pelaku industri ini dapat terus berkeliaran dan bekerja, sementara penonton yang membeli tiket acara Sonic Live Asia harus menanggung getahnya, secara material maupun nonmaterial. Bukan berarti orang-orang ini tidak boleh bekerja di industri lagi, namun harus ada transparansi rekam jejak yang mudah diakses penonton agar credentials suatu acara bisa dilihat secara holistik.
Tergoceknya pembeli dengan orang yang itu-itu saja kembali ke fakta bahwa penggemar musik di Indonesia memiliki ingatan yang pendek tentang sejarah konser, atau lebih muramnya, tidak memiliki pilihan lain. Banyak sekali promotor bermasalah yang tidak mendapatkan konsekuensi berarti, mulai dari Lokatara Live di 2019 yang sudah sempat saya sebutkan hingga MLive yang bermasalah dengan konser Motley Crue pada 2011. Terlepas dari amarah di 1-3 bulan pertama di kolom komentar dan tulisan beberapa media, promotor-promotor ini bebas melenggang hari ini tanpa kejelasan perihal proses pengembalian kerugian ke pembeli.
Sekalipun pembeli ingat, jika suatu promotor bermasalah tiba-tiba datang dengan band favorit kita—menimbang jarangnya musisi internasional datang ke negara ini—apakah kita akan benar-benar melewatkan konser tersebut?
Pilihannya: berjudi dengan membeli tiket dan berharap yang terbaik atau tidak membeli tiket sama sekali dan terancam tidak menonton musisi favorit kita. Tentu kebanyakan orang akan memilih opsi pertama, dengan harapan semua berjalan dengan lancar dan bisa menonton musisi favorit, terlepas adanya risiko pembatalan atau penundaan.
Di Indonesia, ada Asosiasi Promotor Musik Indonesia (APMI) yang diharapkan dapat memberikan legitimasi dan filter yang fair bagi para promotor. Nyatanya, promotor yang terdaftar sebagai anggota APMI tidak bisa dilihat masyarakat umum. Bahkan, situs APMI sampai artikel ini diterbitkan isinya masih lorem ipsum. Situasi ini dengan jelas menggambarkan muramnya lanskap promotor di Indonesia.
Mungkin para promotor di APMI kehabisan uang untuk meneruskan development situs mereka karena banyaknya refund yang harus dibayarkan promotor anggotanya. Laman Instagram APMI hari ini juga hanya diisi oleh promosi acara-acara yang kita tidak pernah tahu, apakah acara ini diselenggarakan oleh anggota APMI atau bukan. Instagram APMI lebih cocok dibilang sebagai laman media dibanding laman asosiasi. Baiknya mereka merubah handle mereka menjadi @hai.id atau @whiteboardjournal.
Lantas, jika begini, kemana penonton harus berlindung? Promotor nakal, asosiasi yang tidak jelas, ticketing partner yang melempar tanggung jawab merupakan gambaran yang muram dan nyata.
Sayangnya, tidak ada jawaban jelas. Sebaiknya kita tidak berharap pada pembenahan promotor nakal, perbaikan kepengurusan APMI atau bahkan inisiatif start-up yang menjadi ticketing partner. Meski berat, penonton harus memberikan efek jera bagi para promotor. Dimulai dari menumbuhkan komunitas dan loyalitas terhadap promotor-promotor yang becus.
Cara ini dapat dilaksanakan dalam skala kecil, promotor seperti Paguyuban Crowd Surf dan Futura Free sukses menggelar beberapa konser sekala kecil hingga menengah dengan merangkul penonton dan musisi untuk terlibat dalam pembuatan acara dan menjamin transparansi dalam prosesnya.
Lebih hebatnya, promotor-promotor menengah ini sudah lebih canggih dalam merawat hubungannya dengan penonton. Bukan hanya transparansi proses dan kepastian konser, promotor-promotor ini sudah memperhatikan faktor-faktor nonmaterial yang masih luput dalam konser-konser besar, seperti pelecehan seksual dan ruang aman untuk penonton dan musisi. Contohnya, Paguyuban Crowd Surf mengampanyekan ruang aman dalam moshpit dalam gelaran terakhir mereka.
Menurut Robby Wahyudi Onggo, salah satu pengurus Paguyuban Crowd Surf, ruang aman merupakan hal yang sudah harus dinormalisasi dan menjadi hal yang sangat penting dalam gelaran musik hari ini.
“Ruang Aman udah seharusnya kayak ruang normal pada umumnya. Tanpa ada kegelisahan bahkan sampai ketakutan. Ini karena banyak yang oportunis yang ngambil kesempatan dalam kesempitan. Malah jadi diingetin lagi, kalau ditanya sepenting apa? Sepenting peduli sama keluarga inti atau orang tua. Bisa kok kalian yang oportunis ini gak melakukan yang merugikan. Tapi ya namanya orang, mesti diingetin terus sampe budeg.”
Tentunya cara ini tidak bisa direplikasi secara paripurna dalam skala besar. Biasanya, kita melihat penampil yang menarik, tanpa peduli siapa promotornya, maka kita akan membeli tiket tanpa pikir panjang. Namun jika kita terus meneruskan praktek ini, maka promotor nakal akan terus bermunculan.
Ekstremnya, mungkin para penikmat konser sudah harus memiliki database yang berisikan promotor dengan acara bermasalah di masa lalu. Tentunya bukan untuk 100% memberikan perlakuan blacklisting. Tapi, paling tidak dapat menjadi panduan untuk berhati-hati dalam membeli tiket.