Atas Nama Emansipasi dan Embel-Embelnya
Sebuah introspeksi tentang emansipasi dan hal-hal yang ada di dalamnya.
Words by Whiteboard Journal
“Aku tidak terjebak dalam badanku,
Aku terjebak dalam persepsi orang terhadapku.”
Tak ingin jadi korban, tapi terkadang aku membuat diriku seakan ingin direndahkan. Berjuang atas nama emansipasi untuk hak yang (aku yakin) tak sepenuhnya aku mengerti. Ingin dianggap sama dan setara tanpa peduli akan kompetensi.
Emansipasi tak hanya soal Hari Raya Kartini. Bukan pula permasalahan angka yang tak sama jumlahnya. Lebih dari itu, emansipasi adalah usaha untuk berhenti menjadi buta terhadap realita. Ini adalah perihal melihat wanita dari kacamata yang berbeda.
Antitesa stagnan emansipasi yang terus dihidupkan. Ada yang sepenuh hati berempati, banyak pula yang memperhitungkannya sebagai konten belaka. Stigma yang lestari dan diskriminasi yang tak henti dikonsumsi.
Warta keberhasilan Maudy Ayunda kian menjadi bukti bahwa peluang berpendidikan bukan hanya milik pria. Suatu pembuktian bahwa wanita tak hanya piawai dalam memoles warna di wajahnya. Dapur, sumur, kasur – Tiga kata yang berharmoni mematikan mimpi serta menjadi limitasi bagi kaum hawa untuk berprestasi, mencari jati diri, dan bereksplorasi harus segera disudahi.
Mereka bilang wanita tak butuh edukasi tinggi atau gelar yang terlalu panjang. Katanya, cukup tinggal di rumah untuk mengurus rumah dan menyusui. Dipaksa mengubur dalam-dalam ambisi dan fiksasi untuk berkompetisi. Tak sepenuhnya salah ketika tentu masih bisa belajar dan terus berkembang di rumah.
Namun, masih terdapat kebebasan yang terperangkap dalam diri mereka karena takut terhadap kejamnya persepsi dan asumsi masyarakat yang tak bisa dihindari. Tentu saja tak sedikit dari mereka yang akhirnya bersikeras berekspresi mencoba membebaskan diri. Ingin menjadi wanita karier yang mandiri dan tidak bergantung pada penghasilan suami. Namun, pada akhirnya harus membiasakan diri dengan setiap sanksi. Komentar dan berbagai opini negatif yang terus mengalir hingga mereka akhirnya lelah dan terpaksa beradaptasi.
Dunia terkesan melihat wanita hanya sebagai simbol estetika. Khilaf katanya kalau wanita juga mampu diajak berdialog dan berlogika dengan pikiran terbuka, tak hanya pemuas hasrat belaka. Tugas pria katanya menanggung resiko dan memikul beban yang berkali lipat beratnya. Mencari nafkah sedemikian rupa untuk keluarga.
Aku menantikan masa ketika segan dan penghormatan ada untuk semua manusia. Masa ketika melihat seorang individu sebagai seorang manusia, tak semata-mata apa jenis kelaminnya. Menghilangkan stigma akan wanita yang berada di tingkat berbeda atau menumbuhkan paradigma bahwa diskriminasi bukan hanya bahan bercanda.
Jangan berkata kasar pada wanita adalah nasihat yang salah.
Jangan berkata kasar pada wanita. Jangan berkata kasar pada pria. Jangan berkata kasar pada siapapun juga. Perlakukan manusia sebagaimana mereka layak menerimanya. Berhenti meneriakkan hak asasi manusia atau kesetaraan pria-wanita ketika kita belum memahami konsepnya.
Aku tidak akan berdiri untuk seseorang hanya karena dia wanita. Aku akan berada di belakangnya karena dia mampu dan kompeten. Apapun gendernya, semua berhak atas kesempatan yang sama. Kesempatan berkompetisi, berargumentasi, dan menyampaikan retorika.
Aku melihat sekitar yang sudah mulai membuka mata. Setelah sekian lama dibutakan budaya bahwa pemimpin haruslah pria. Majalah Magdalene jadi konsumsi mereka untuk menyelami emansipasi dan empati yang perlahan mengikis margin diskriminasi.
Sama dengan kamu dan yang lainnya, Aku juga masih belajar. Membaca satu dua buku untuk mempertajam keyakinan. “Apakah Aku berdiri untuk sesuatu yang benar?”